Mohon tunggu...
Elin Khanin
Elin Khanin Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Cerita

Membaca Buku, Menulis Cerita Romantis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Because of Pink

1 Agustus 2022   16:15 Diperbarui: 1 Agustus 2022   17:20 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jihan menatap sekilas  deretan parsel lamaran yang terserak di seluruh penjuru ruangan dengan malas. Ia pasrah dengan kuas ajaib Mbak Ninik--sang Perias pengantin yang sudah memolesnya dari jam empat dini hari. 

Make up flawless dan gaun serba putih dengan tiara yang tersemat di jilbab panjang yang ia kenakan membuatnya semakin anggun dan memesona. Bucket bunga mawar cantik sudah ia genggam dengan menghela napas panjang ketika terdengar mempelai pria telah datang. Sang pengantin pria digiring menuju musola depan rumah untuk melaksanakan akad nikah.

Wajah Jihan mendung. Suasana hatinya tak secerah blush on yang menghias pipinya. Jihan terpaksa menyetujui perjodohan ini karena ulahnya sendiri. Ia sudah berjanji jika tidak diterima menjadi Ustadzah di Yayasan Maskanul Qur'an Temanggung, ia akan setuju menikah dengan lelaki pilihan Abi-nya. 

"Kalau Jihan nggak keterima jadi Ustadzah Maskanul Qur'an siap deh nikah sama calon pilihan Abi," ucapnya optimis. 

"Itu namanya kamu sudah nadzar loh ya. Harus ditepati!" ingat Pak Rahman-Abi Jihan. Setelah jihan lulus kuliah, Pak Rahman memang sudah sering mendesak putrinya itu untuk segera menikah. 

Bu Mutia-Umi Jihan hanya diam saja mendengarkan obrolan dua orang yang paling ia cintai itu. Ia hanya bisa berdoa semoga apapun yang diharapkan sang suami dan putrinya diijabah oleh Yang Maha Kuasa. 

Pantang menikah sebelum jadi Ustadzah, itulah prinsip yang dipegang Jihan setelah boyong dari Pondok Pesantren dan lulus kuliah. Ia ingin mengabdikan diri di sebuah pesantren dengan mengajar ngaji. 

Namun takdir berkata lain, Jihan tidak diterima di Yayasan Maskanul Qur'an seperti yang ia idam-idamkan. Ia tak menyangka mimpinya kandas di tengah jalan. Padahal syarat menjadi seorang Ustadzah sudah dikantonginya semua. Lulus S1 dengan predikat cumlaude dan menuntaskan hafalan alqur'an dengan syahadah jayyid jiddan. 

"Huhuhu ... Apa aku kurang kenceng ya doanya kok sampai nggak diterima?" Keluhnya dengan mata menerawang. 

"Saya terima nikahnya Jihan Al-Magda dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai," ucap pengantin pria dengan fasih dan lantang. Suaranya menggema menciptakan suasana haru bagi siapa saja. 

Tak lama kemudian suara "sah" terdengar riuh rendah semakin meluluh lantakkan hati Jihan Al-Magda. Ia harus bersiap-siap bertemu dengan lelaki yang telah menghalalkannya. Mau tak mau ia harus bersedia menapaki rumah tangga dengan suami pilihan Abi-nya.

 Akhirnya ada sedikit penasaran yang menelisik mengenai siapa nama dan bagaimana wajah suaminya. Karena dari awal ia menyerahkan semua kepada kedua orang tuanya. Waktu acara tunangan dan lamaran pun ia malas keluar lantaran masih kecewa cita-citanya ya tak bermuara. Meskipun sang Abi promosi berkali-kali bahwa calon suaminya alim dan setampan aktor korea, ia biarkan ucapan itu menguap begitu saja. 

"Nduk, ayo siap-siap ketemu sama suamimu." 

Suara Bu Mutia membuyarkan lamunannya. Lantunan simtud duror begitu semarak membahana. Jihan menghela napas panjang dan bangkit menunggu pangeran untuk dicium tangannya. 

Ceklek. 

Pintu dibuka dan sorot kamera siap membidik momen terindah sepanjang masa. Begitu wajahnya mendongak menatap sang pria, ia begitu terkejut dengan mulut menganga. 

"Fiki?" 

Lelaki itu menyunggingkan senyum manis, semanis mangga yang masak dari pohonnya. Ia mengulurkan tangan ke arah istrinya yang cantik bagai bidarari dari Surga.

 Namun Jihan masih terpaku tak percaya, bahwa suaminya adalah teman sekelas di SMP An-Nida boarding school Banjarnegara. Walaupun terpisah beberapa tahun lamanya, tapi tentu saja memori antar keduanya sangat kuat menghujam dada. 

"Ayo salaman!" Desis Bu Mutia pada Jihan yang masih terbengong-bengong. Para sanak saudara ikut tertawa melihat Jihan dan Fiki menatap tanpa kata. 

Ragu, Jihan meraih tangan suaminya dan mengecup penuh dengan dada berdebar-debar. Cinta yang bersemayam di hati Fiki selama bertahun-tahun membuncah dalam dada. Ia begitu bahagia telah berhasil mempersunting gadis pujaannya. Ya, dia jatuh cinta pada Jihan sejak mereka duduk di bangku SMP An-Nida, sekolah berbasis pesantren modern di Banjarnegara. 

Berbeda dengan Jihan. Ia tak pernah secuil pun menaruh rasa. Baginya, Fiki hanyalah teman biasa seperti yang lainnya. Namun, insiden menyangkut warna pink membuat Jihan jengah dengan Fiki. Kenangan bersama Fiki bahkan membuat gadis berhidung mancung itu malu bila mengingatnya. 

Hening. 

Jihan dan Fiki duduk bersisihan di tepi ranjang yang sudah disulap seperti kamar Raja dan Ratu di sebuah kerajaan.

"Eeem ... Bingkisannya nggak dibuka?" Akhirnya Fiki membuka suara, memutus keheningan di antara mereka. 

Fiki beranjak dari tempat duduk dan membawa parsel cantik yang mungkin berisi perhiasan di atas meja. Bersamaan dengan itu, sebuah parsel menyerupai kupu-kupu yang berwarna serba pink menyita perhatiannya. Ia semakin badmood melihat parsel tersebut. 

Gara-Gara Fiki dan kenangan menyangkut warna itu pula, ia jadi alergi dengan warna pink. Ketika melihat warna tersebut, ingatannya terseret ke beberapa tahun silam saat masih menjadi siswi An-Nida. 

"Ma-ma'af, Jihan," ucap Fiki. Menghentikan langkah Jihan yang hendak menuju kamar mandi. Kebetulan waktu itu jam pelajaran sedang kosong. Mereka berhadapan di koridor. 

"Ya, ada apa?" 

Fiki tampak kikuk. 

"Eeeng ... Anu ... Eeeng." 

"Eng, eng apa?" 

Jihan mulai gemas. 

"Maaf, cuma mengingatkan. Aduh gimana ya?" 

"Cepetan aku dah kebelet nih." 

"Itu, cowok-cowok pada nggosipin kamu. Sebaiknya kamu ganti baju aja dulu di asrama." 

"Loh kenapa ? Ada apa dengan bajuku? Kenapa digosipin dan kenapa aku harus ganti baju?" 

Jihan tak juga sadar kalau baju tunik berwarna putih yang dikenakannya terlihat transparan sehingga baju dalamnya samar-samar kelihatan. 

"Itu ... Eeem ... Warna pink-nya kelihatan." 

Susah payah Fiki menjelaskan. 

"Pink?" 

Jihan masih saja tidak peka. Ia menatap Fiki dengan dahi mengernyit. 

"Bajumu putihnya nerawang, Jihan. Maaf, itu be... h* warna pink-mu kelihatan. Aku nggak suka cowok-cowok ngomongin kamu," ucapnya dengan penuh perjuangan. Kepalang basah, Fiki akan menerima semua akibat kalimatnya. Melihat raut muka Jihan yang kini merah padam, ia semakin siap jika mungkin saja nanti Jihan menamparnya. 

Jihan tampak kaget dan malu bukan main. Ia langsung menangkup wajah dan lari tunggang langgang. Meninggalkan Fiki yang sangat merasa bersalah. 

"Haduh, Jihan. Padahal niatku kan baik," gumam Fiki. 

Sejak kejadian itu Jihan sakit dan beberapa hari tak masuk sekolah. Malu membuatnya sengsara dan tak doyan makan, menyebabkan kondisinya ngedrop. 

Lalu keesokan harinya, Ustadzah Mufidah melakukan kroscek ke kelas Jihan. Karena ia tak begitu tahu apa sebenarnya yang membuat gadis itu hingga tak betah di pesantren. Sudah dua hari ia absen dan masih berada di rumah. Pesantren memberikan kelonggaran agar Jihan mendapat motivasi dari orang tuanya. 

"Ustadzah pengen tahu, sebenarnya Mbk Jihan kenapa sih. Kenapa sampai minta pindah?" Tanya Ustadzah Mufidah kepada teman sekelas Jihan di akhir pelajaran. 

Seluruh murid tampak saling melempar pandang. Baik yang putri maupun yang putra. Ada yang senyum-senyum geli, ada yang tenang saja, tak sedikit pula yang bisik-bisik. 

"Ayo jujur saja!" desak Ustadzah sambil mengamati satu persatu muridnya. 

"Eeeem ... Anu ... Itu us, Mbak Jihan emang gitu. Anaknya sensitif, gampang tersinggung. Dia sering mengira teman-temannya ngomongin dia, padahal ya enggak," jawab Marsya. Teman sebangku Jihan. Karena gadis itu belum masuk jadi dia duduk sendirian.

"Oooh," Ustadzah Mufidah mengangguk mengerti. 

"Kemarin Mbak Jihan sempat cerita sama Ustadzah sebelum pulang. Tapi ceritanya nggak jelas. Intinya dia nggak suka disindir dengan sebutan pink-pink gitu," lanjut Ustadzah mencoba mengingat-ingat obrolan dengan gadis berpipi kemerahan itu sebelum pulang. 

Sontak para santri terlihat menahan senyum. 

"Oooh, itu gini loh, Us ...."

Kini cowok bernama Zulfikar Maulana atau biasa dipanggil Fiki unjuk suara. Ingin menjelaskan tapi terlihat ragu dan hati-hati. Ustadzah Mufidah memasang wajah serius sambil menatap lurus ke arah Fiki. Menunggu penjelasan dari cowok macho itu. 

"Beberapa hari yang lalu kan Mbak Jihan pakai baju putih terus itunya warna pink agak kelihatan karena nerawang. Para santri putra pada lihat dan saya nggak tega. Akhirnya kusamperin dan mengingatkan agar dia ganti baju. Begitu, Us." 

Fiki menjelaskan dengan runut insiden yang membuat Jihan ngambek dan menyatakan ingin pindah pondok. Suasana kelas menjadi semakin ricuh setelah mendengar penuturan Fiki. Ustadzah Mufidah mengangguk-angguk sambil tersenyum.

"Loh, kok bisa kelihatan. Kan pakai jilbab. Kependekan ya pakai jilbabnya?" Heran Ustadzah Mufidah. 

"Ya standard sih, Us. Nggak terlalu pendek ya nggak terlalu panjang. Cuma mungkin dia posisi duduk dan jilbabnya agak ketarik jadinya kelihatan," sahut Marsya mengemukakan argumen. 

"Ya jelas malu lah ya Mbak Jihan. Apalagi yang mengingatkan Mas Fiki, cowok," terang Ustadzah sambil melirik ke arah Fiki. 

"Ya tapi saya sudah minta maaf kok, Us," ujar Fiki polos. 

"Oh sudah ya?" 

"Iya, Us. Saya minta maafnya sepuluh kali malah," ucap Fiki membela diri. Membuat seisi kelas ramai lagi. Ustadzah kembali tersenyum mendengar kejujuran Fiki. Jadi setelah tabayun ke kelas perihal Jihan, Ustadzah Mufidah mengerti dan yang perlu diluruskan memang gadis bermata lentik itu. 

Ustadzah Mufidah kemudian menelpon orang tua Jihan usai evaluasi itu. Mengatakan bahwa masalah ini hanyalah kesalahpahaman dan tak perlu dibesar-besarkan. 

Akhirnya sore itu Jihan pulang diantar oleh ayahnya dan esoknya kembali mengikuti pelajaran sebagaimana biasanya. Untung saja para Ustadzah dan orang tua sangat kompak dalam hal koordinasi mengenai masalah-masalah di sekolah maupun di pesantren. Sepele apapun para Ustadzah dengan ikhlas membantu. 

"Itu kenapa warnanya pink?" Gertak Jihan kepada Fiki menatap parsel yang berisi pernik-pernik rahasia wanita. 

Fiki menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lidahnya mendadak kelu dan kaku. 

"Kukira kamu suka warna itu." Fiki meringis. Ia salah tingkah. Entah kenapa ketika Jihan marah malah terlihat lebih cantik di matanya. 

"Ja-jadi kamu masih mengingat kejadian itu?" kedua mata Jihan melebar. 

"Ya ... Gimana ya?" lagi, Fiki menggaruk kepalanya. 

"Hiiih, sebel." 

"Heee, maaf ya?" 

Jihan tiba-tiba menarik dasi yang melingkar di leher Fiki. 

"Cekek nih!" 

"Auw, jangan, Jihan" 

"Cekek aja lah." 

"Cekek pakai yang pink-pink itu aja." 

"Hiiih, ngeres ini otak." 

Akhirnya Jihan melepaskan dasi Fiki. Lelaki itu melirik istrinya yang kini salah tingkah. Kedua pipinya bersemu merah. 

"Harusnya kamu kasih aku hadiah karena waktu itu sudah menyelamatkan kamu dari mata nakal teman-teman cowok di sekolah. Asal kamu tahu, waktu itu aku marah dan nggak terima. Makanya nyamperin kamu." 

"Kenapa marah? Kenapa nggak terima?" Tanya Jihan penasaran. 

"Ya ... Karena aku suka sama kamu." 

Wajah Jihan spontan merona mendengar pengakuan Fiki. 

Hari itu menjadi hari pertama setelah bertahun-tahun berpisah dan langsung bonus akad nikah. Jihan yang awalnya benci kini benih-benih cinta di hatinya mulai bersemi. 

Keluarga besar Jihan ikut mengantar kedua mempelai diboyong ke rumah Fiki. Seminggu kemudian keluarga Fiki mengadakan resepsi di kediaman mereka. 

Dahi Jihan mengkerut seperti tidak asing jalan dari Ungaran tempat kelahirannya menuju jalan Temanggung. 

"Loh, loh?" Tanyanya heran. 

"Ini kan jalan menuju ke Maskanul Qur'an?" 

Fiki hanya tersenyum dan menggenggam tangan istrinya yang terlihat kebingungan. 

"Loh, Gus Fiki niki kan anaknya Kiai Hamdan ketua Yayasan Maskanul Qur'an, Mbak," sahut Dani si Supir pengantin. 

Jihan terhenyak dan memandang wajah suaminya tak percaya. 

Lalu terkuaklah kalau ternyata Jihan sengaja tidak diterima sebagai Ustadzah baru dan keluarga Fiki bersekongkol dengan orang tua Jihan agar gadis itu mau segera menikah. 

"Jadi?" 

"Jadi kamu nanti ketuanya Ustadzah di Yayasan," jawab Fiki menjawab kebingungan Jihan sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Mendengar itu, mulut Jihan menganga tak percaya. Kejutan luar biasa ini membuatnya terharu, gemas, dan bahagia dalam satu waktu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun