Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Negeri di Ujung Pelangi

24 November 2017   08:32 Diperbarui: 24 November 2017   09:01 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mita bersandar pada tiang besi di sisi pintu bus sembari membuka tas dan mengeluarkan sebuah novel yang baru saja didapatkan dari toko buku bekas langganannya di bilangan Jakarta Pusat. Ia membolak balik buku yang tidak terlalu tebal itu, mengecek kondisinya. Secara keseluruhan masih cukup rapi meskipun dari sisi samping dapat terlihat lembaran-lembaran kertas di dalamnya sudah usang kekuningan.

Gambar sampulnya bagus. Sebuah garis lengkung besar yang terdiri dari warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu membentang lebar di tengah halaman. Di ujung akhir lengkungan warna warni itu terdapat siluet sesosok bangunan istana nan megah. Mirip seperti tempat tinggal tokoh putri raja dalam kisah-kisah dongeng. Ilustrasi yang memberikan penggambaran tersurat dari kalimat yang tertera di bagian atas sampul. Negeri Di Ujung Pelangi, gumam Mita sembari meraba permukaan huruf-huruf yang dicetak dengan tinta perak  berkerlip-kerlip itu. Ia membuka sampul depan dan mulai membaca.

Jakarta, Mei 1997 - Cetakan Pertama

Jalanan masih saja macet dan Mita baru sampai di halaman enam ketika sebuah suara bertanya dari arah belakangnya, "Bagus nggak, ceritanya ?"

Mita menoleh. Seorang cowok berwajah lumayan cakep sedang ikut membaca. Entah sejak kapan.

"Emm ... sepertinya sih bagus. Aku juga baru mulai baca," jawab Mita ramah.

"Aku pernah punya buku ini. Tapi belum sempat kubaca. Keburu disingkirkan oleh ibuku."

"Wah, kenapa ? Ibu kamu nggak suka buku ?"

"Bukan. Soalnya beliau pikir aku tidak akan membaca buku-buku itu lagi."

"Oh begitu," Mita mengangguk sambil memperhatikan penampilan cowok itu. Rapi, sedikit old school, tapi keren.

"Oh iya, aku Hardi," ia mengulurkan tangan, "Nama kamu siapa ?"

Wah, namanyapun old school, batin Mita sambil balas menjabat dan menyebutkan nama. 

"Pulang kuliah ya Mit ?"

"Iya. Kamu ?  Pulang kuliah juga ?"

"Oh nggak. Aku cuma jalan-jalan saja kok. Eh, kamu turun dimana ?"

"Halte berikutnya, sebentar lagi tuh. Kamu turun dimana Har ?"

"Aku ... setelah kamu turun saja deh."

"Lho kok begitu ? Memangnya kamu mau kemana ? Nggak mau pulang ?"

"Belum," Hardi menjawab singkat dan tersenyum.

Agak misterius, komentar Mita dalam hati.

"Eh, ini kan halte kamu ?" Hardi melihat keluar jendela.

"Wah, iya !" Mita segera bergeser mendekati pintu keluar.

"Hati-hati ya Mit, lihat kiri kanan dulu sebelum turun," pesan Hardi.

"Iya," Mita mengangguk.

"Sampai ketemu !" Hardi melambai.

***

"Fiuh ... penuh sekali ya busnya hari ini," keluh Hardi setelah berhasil mencari jalan melalui celah-celah sempit diantara tubuh para penumpang bus untuk mendekat ke tempat Mita berdiri. 

"Sudah tahu busnya penuh," Mita terkikik geli, "Kenapa kamu harus susah-susah pindah dari sana ke sini segala ?"

"Iya juga ya," Hardi tampak sedikit tersipu, "Emm ... itu, soalnya aku mau tanya tentang buku yang kemarin. Sudah baca sampai halaman berapa ?"

"Oh, iya, bagus lho. Aku bawa lagi kok nih bukunya, di dalam tas. Jadi, ceritanya itu  tentang petualangan dua orang sahabat penghuni rumah yatim piatu dalam rangka mencari sebuah negeri yang bernama Negeri Di Ujung Pelangi. Tempat dimana tidak ada kesedihan, kesusahan, penyesalan, dan hal-hal tidak mengenakkan lainnya. Anak perempuan yang bernama Ara sangat mempercayai keberadaan negeri itu, karena mendiang neneknya dulu selalu bercerita tentang tempat tersebut semenjak ia masih kecil. Sementara menurut anak laki-laki yang bernama Ody, dongeng yang didengar Ara dari neneknya itu hanyalah mitos. Hanya sebuah perumpamaan untuk manusia supaya selalu berpikir positif. Bukan berarti benar-benar ada sebuah negeri yang terletak di ujung pelangi. Dan akhirnya pada suatu hari ketika sesaat selepas hujan lebat mereka melihat sebuah bentangan pelangi nan indah yang selama beberapa jam tidak juga menghilang dari pandangan, sesuai dengan ciri-ciri pelangi istimewa yang bisa membawa manusia menuju ke negeri tersebut, mereka berdua sepakat untuk pergi diam-diam dari rumah yatim piatu. Berpetualang menyusuri pelangi."

"Wah, seru ya," Hardi terlihat antusias.

"Iya, seru. Kamu juga suka jenis cerita seperti ini ya ?"

"Suka."

"Kalau kamu mau baca, boleh kok. Nanti kalau aku sudah selesai, aku pinjami kamu deh. Yang penting jangan rusak atau kena coretan yah."

"Oh, kamu nggak suka ya Mit, kalau buku ada coretannya ?"

"Nggak suka. Kelihatan kotor jadinya."

"Aku juga sih. Tapi biasanya aku selalu menulis nama dan alamat serta nomor teleponku di halaman terakhir. Yah, sebagai tanda saja kalau buku itu milikku."

"Oh, kalau cuma seperti itu sih, nggak apa-apa. Jadi bagaimana, kamu mau pinjam nggak Har ?"

"Emm ... nggak usah deh. Kamu saja yang ceritakan lanjutannya ke aku ya ?"

"Lho ?  Tapi itu kan kalau kita kebetulan bertemu disini. Kalau nggak, bagaimana ?"

"Kamu setiap hari pulang naik bus ini kan ?  Di jam yang sama ?"

"Iya sih. Tapi memangnya kamu nggak ada kegiatan lain selain jalan-jalan begini ?"

"Nggak ada," jawab Hardi kalem.

Sebenarnya pekerjaan cowok ini apa sih, pikir Mita. Pengangguran yang sedang menunggu panggilan kerja ?  Atau mahasiswa yang sekedar malas masuk kuliah ?  Atau penjahat yang mengincar korbannya dengan cara pendekatan akrab ?  Eh, kok jahat sekali aku, menuduh orang sembarangan. Mita merasa malu sendiri sudah mengkhayal yang aneh-aneh.

"Kamu keberatan ya Mit, mengobrol seperti ini ?" tanya Hardi, "Aku memang penasaran dengan isi buku itu karena belum sempat membacanya. Tapi kalau kamu merasa keberatan ..."

"Eh, nggak kok, nggak," sergah Mita buru-buru, tak tega melihat wajah kecewa Hardi.

"Ya sudah, beres kalau begitu," Hardi tersenyum.

Mita merasakan pipinya memerah.

"Eh, sudah sampai halte kamu nih," Hardi menyadarkan Mita dari lamunan sesaatnya, "Hati-hati ya Mit turunnya. Lihat kiri kanan dulu !"

"Oke Har," Mita melambai dan beranjak turun.

"Sampai ketemu !"  seru Hardi.

***

Mita mengipas-ngipas dengan lembaran kertas fotokopi yang baru saja dibagikan siang tadi di kelas.  Cuaca panas membuat tenggorokannya terasa kering. Hembusan AC yang seharusnya terasa dingin tak mampu melawan udara pengap akibat berdesaknya para penumpang. Sementara Hardi berdiri santai di sebelahnya, nampak tak terlalu terganggu dengan situasi di dalam bus.

"Kamu nggak apa-apa Har, setiap hari ngobrol sambil berdiri begini ?" tanya Mita, "Kalau kamu mau, kita cari saja tempat lain yang lebih nyaman untuk membahas isi buku ini."

"Nggak apa-apa kok, aku sudah biasa begini setiap hari," sahut Hardi tenang, "Eh iya, lalu bagaimana Ara dan Ody ?  Sudah sampai mana mereka ?"

"Aku semalam hanya sempat melanjutkan sedikit sih, maklum banyak tugas," Mita mulai bercerita, "Ody yang pemikirannya sangat ilmiah, setiap saat terus saja mengukur jarak pandang mereka terhadap ujung pelangi yang setelah beberapa hari berlalu tetap tak ada perubahan. Mereka tak juga mendekat ke ujungnya. Menurutnya, hal itu membuktikan bahwa pelangi yang mereka telusuri itu hanyalah sebuah ilusi optik yang tak bisa disentuh. Bukan benda padat seperti jembatan atau jalan untuk ditapaki. Maka tidak mungkin ada sebuah negeri apapun di ujungnya. Ody juga mengatakan bahwa Negeri Di Ujung Pelangi itu pastilah hanya khayalan orang-orang yang memiliki banyak masalah dan tak sanggup menyelesaikannya sehingga mencari pelarian. Sementara Ara melawan teori Ody dengan menguatkan kenyataan bahwa justru karena pelangi tersebut tidak hilang juga meskipun mereka sudah berjalan beberapa hari, berarti memang pelangi itu adalah pelangi istimewa yang ia cari. Satu-satunya alasan mengapa mereka tak kunjung sampai di ujungnya adalah karena mereka terus-terusan merasa ragu. Terutama Ody yang memang sejak awal menolak untuk percaya. Menurut Ara, mereka berdua harus sama-sama yakin agar dapat menemukannya."

"Tapi Mit," potong Hardy, "Kalau memang negeri itu tidak ada, ya pasti tidak akan diketemukan sampai kapanpun juga kan, meskipun mereka berharap sekuat tenaga ?  Memangnya harapan bisa menyulap sesuatu yang tidak ada menjadi ada ?"

"Menurutku bisa," jawab Mita percaya diri, "Aku setuju dengan Ara. Dengan harapan yang kuat, tidak ada yang tidak mungkin."

"Jadi, kamu percaya ada sebuah negeri seperti itu ? Tempat dimana tidak ada kesusahan, kesedihan dan penyesalan ?"

"Percaya."

"Tempat dimana semua orang berbahagia ?"

"Iya. Aku yakin tempat itu ada."

"Hmm ..." Hardi mengerutkan keningnya.

"Nah, berhubung hari  ini nggak ada tugas dari dosen, mungkin nanti malam bisa aku selesaikan membacanya. Besok aku ceritakan ke kamu ya, bagaimana endingnya. Sekarang aku turun dulu ya Har," pamit Mita.

"Oke Mit, hati-hati ya !  Lihat kiri kanan dulu !  Sampai ketemu !"

Mita mengangguk dan melambai.

***

"Sudah selesai ? Oke. Aku siap mendengarkan," Hardi berdiri di hadapan Mita dengan wajah penasaran.

Mita tertawa melihat ekspresi tak sabaran Hardi.

"Baik. Aku mulai. Jadi, setelah berhari-hari Ara dan Ody berjalan bersama dengan perbedaan keyakinan diantara mereka, pada akhirnya, ternyata ... ," Mita sedikit melonjak kegirangan, "Ara lah yang benar !" 

"Benar ?" Hardi membelalakkan mata, "Negeri itu benar-benar ada ?"

"Iya benar Har !  Aku sampai merasa ikut gembira lho, semalaman. Mereka betul-betul tiba di sana. Negeri Di Ujung Pelangi," Mita tersenyum puas.

"Lalu ... apakah benar yang dikatakan oleh nenek Ara ? Bahwa tidak ada kesedihan dan kesusahan disana ?  Semua orang berbahagia ?"

"Semua benar. Ara pun bertemu dengan neneknya disana. Benar apa yang dikatakan oleh nenek Ara, bahwa manusia yang memiliki pengharapan yang sangat kuat untuk bisa bahagia, pasti akan menemukannya.Ody pun merasa sangat berterimakasih pada Ara yang tak putus asa meyakinkannya tentang keberadaan negeri itu. Lalu di akhir cerita, tertera kalimat ini : 'Bayangkanlah semua hal yang indah tanpa ragu, dan yakinilah. Maka kau pasti akan mendapatkannya.' "

"Wah ... sebuah kalimat yang indah," desah Hardi.

"Iya benar, indah sekali," ucap Mita.

Beberapa menit setelahnya, Hardi hanya berdiam diri sambil memandang keluar bus. Wajahnya menyiratkan suatu pemikiran yang amat dalam. 

Mita juga ikut berpikir dalam diam. Ia merasa khawatir apakah besok masih akan bertemu dengan Hardi lagi karena sekarang sesudah ia tamat membaca dan menceritakannya, urusan mereka berdua soal buku ini secara tak resmi telah selesai. Sejujurnya ia mulai menikmati pertemuan-pertemuan singkat mereka selama beberapa hari ini.

Sampai akhirnya bus yang dinaikinya hampir tiba di halte tujuan.

"Terimakasih banyak ya Mit, kamu sudah mau membacakan isi buku itu untukku. Aku senang bisa ketemu kamu," ucap Hardi.

"Iya, sama-sama Har," jawab Mita.

"Karena kamu, aku sekarang tidak takut lagi Mit. Sekarang aku sudah yakin," senyum kelegaan terpancar dari wajah Hardi.

"Mm ... yakin soal apa ya, Har ?" tanya Mita bingung.

"Ah, bukan apa-apa kok," Hardi menggeleng, "Oh ya, nanti sampai dirumah, kamu lihat lagi ya, halaman terakhir buku itu," pesannya.

"Eh ?  Halaman terakhir ?"

"Iya," Hardi mengangguk, "Tuh sudah sampai di halte kamu. Hati-hati ya Mit, jaga diri kamu selalu."

Hardi melambai.

Mita balas melambai dan turun dari bus.

Tumben hari  ini Hardi nggak bilang 'sampai ketemu' lagi, pikir Mita sedih.

Dalam perjalanan menuju kerumah, Mita mengambil bukunya dari dalam tas dan membuka langsung ke halaman paling akhir, satu lembar kosong sebelum sampul belakang.

Tercetak sebuah tulisan tangan rapi yang semalam luput dari perhatiannya.

Hardi -- November 1997

Kebayoran Baru ( 021-73937** )

***

Mita meletakkan vas kecil berisi rangkaian bunga mawar merah dan mawar putih diatas tanah coklat kering yang terbingkai oleh susunan batu alam berbentuk persegi panjang itu. 

Ia teringat percakapan di telepon kemarin malam.

"Selamat siang Bu, apa benar ini rumahnya Hardi ?"

"Ha ... Hardi ... ?  I ... iya benar.  Ini ... dengan siapa ya ?"

"Saya Mita, temannya Hardi."

"Mita ?  Teman apa ya ? Teman sekolah ?  Teman kuliah ?  Duh, maaf ya, Ibu agak kaget nih, soalnya sudah lama sekali tidak ada teman Hardi yang telepon kesini sejak dia meninggal dua puluh tahun yang lalu."

"Hah ?  M ... meninggal ?"

"Iya. Memangnya ... Mita nggak dengar kabarnya waktu Hardi meninggal ?  Dia kecelakaan sepulang kuliah. Tertabrak motor yang ngebut saat turun dari bus yang biasa dia naiki setiap hari. Mungkin  dia sedang kecapekan karena sibuk mengurus sidang skripsinya, makanya jadi kurang hati-hati. Kasihan Hardi, semua cita-citanya kandas ditengah jalan ..."

Mita mengusap lembut permukaan halus nisan batu di hadapannya.

Aku senang sempat kenal dengan kamu, Har.

Aku senang bisa menceritakan isi buku milikmu yang belum sempat kamu baca itu.

Aku senang dapat meyakinkanmu untuk memberanikan diri melanjutkan perjalanan.

Dan aku senang kamu sekarang sudah tiba disana.

Karena manusia yang memiliki pengharapan yang sangat kuat untuk bisa bahagia, pasti akan menemukannya.

Negeri Di Ujung Pelangi, tempatnya semua orang berbahagia.

***

Bayangkanlah semua hal yang indah tanpa ragu, dan yakinilah. Maka kau pasti akan mendapatkannya.

***

 

END.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun