Mohon tunggu...
Rizal De Loesie
Rizal De Loesie Mohon Tunggu... Seorang Lelaki Penyuka Senja

Rizal De Loesie, Terkadang Rizal De Nasution dari Nama asli Yufrizal mengalir darah Minang dan Tapanuli. Seorang Lelaki yang sering tersesat di rimba kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit Yang dibagi "Deden"

18 Juli 2025   23:11 Diperbarui: 18 Juli 2025   23:16 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit yang di bagi Deden

Karya: Rizal De Loesie

Sore itu, langit Bandung seperti melukis perpisahan dengan warna-warna yang terlalu jujur. Jingga yang sendu, semburat merah yang enggan padam, dan awan-awan tipis yang menggantung di ujung cakrawala seperti rasa yang belum sempat diucapkan.

Risma duduk di bangku taman, tempat favorit mereka sejak tiga tahun lalu. Di sana, segalanya pernah dimulai---tawa pertama, genggaman pertama, bahkan diam yang pertama kali terasa nyaman.

Ketika Deden datang, langkahnya tak lagi ringan seperti biasanya. Ia membawa berita. Bukan tentang bunga matahari yang baru mekar di rumah tetangga, atau kopi favorit yang kembali dijual di kedai dekat kampus. Tapi tentang jarak---tentang keputusan yang tak bisa mereka tolak bersama.

"Aku diterima kerja di Surabaya," katanya pelan, seolah takut ucapannya membuat langit runtuh.

Risma menoleh pelan, matanya bening namun dalam. "Kapan?"

"Sabtu ini."

Jawaban itu menggantung di udara, seperti kabut tipis yang enggan hilang. Risma tak menjawab segera. Ia hanya menatap langit, langit yang dulu mereka sebut sebagai langit yang sama---tempat mereka menitipkan doa, mimpi, dan sesekali ciuman diam-diam.

"Langitnya tetap sama, kan?" tanya Deden, mencoba tersenyum.

Risma mengangguk kecil. "Tapi yang melihatnya tak lagi berdua."

Hening.

Di bawah langit yang mulai muram, mereka saling menatap. Tak ada kalimat yang cukup mampu menampung perasaan. Rindu yang belum terjadi sudah terasa menusuk. Perpisahan itu bukan tentang pergi, tapi tentang bagaimana bertahan tanpa kehadiran yang biasa menyelamatkan hari-hari.

"Aku nggak tahu harus bilang apa," kata Deden. "Aku ingin kamu ikut. Tapi aku tahu, hidup kita belum ke arah sana."

Risma tersenyum. Senyum yang pahit, namun tulus.

"Kamu harus pergi," bisiknya. "Bukan karena aku ingin ditinggal. Tapi karena aku mencintaimu, dan cinta tidak selalu berarti menggenggam erat. Kadang, itu tentang melepaskan dengan doa."

Deden menunduk. "Aku akan sering menelepon."

"Tak perlu janji," ujar Risma, menatap matanya. "Kalau memang cinta ini kuat, dia akan pulang sendiri. Seperti burung yang tahu arah sarangnya, meski diterbangkan badai sejauh apapun."

Senja kian pudar. Waktu seolah tak tega memisahkan mereka, tapi tetap berjalan perlahan.

Sebelum beranjak pulang, Deden menuliskan sesuatu di kertas kecil dan menyelipkannya di dalam buku catatan Risma. "Buka nanti, setelah aku pergi."

Mereka berpelukan, untuk terakhir kali dalam keadaan seperti ini---utuh, dekat, dan masih dalam satu kota.

---

Tiga hari setelah kepergian Deden, Risma kembali ke taman. Ia duduk di bangku yang sama, dengan segelas kopi dan buku catatan yang kini berisi kertas kecil itu.

Ia membuka lipatan kertas perlahan. Tulisan tangan Deden terlihat sedikit tergesa, tapi tetap rapi:

> Risma,

Kalau suatu hari kamu rindu, lihatlah langit. Karena di situlah aku menyimpan semua doaku untukmu.

Aku tak pernah benar-benar pergi, hanya berpindah tempat untuk mencintaimu dari kejauhan.

Jaga langit kita, ya.

---Deden

Risma menutup mata, membiarkan angin menyapa pipinya. Ada sebutir air yang jatuh, entah dari langit atau dari matanya sendiri.

Langit di atasnya tetap sama. Hanya kali ini, ia duduk sendiri di bawahnya.

Namun ia tahu---rasa yang tulus tak akan punah oleh jarak. Ia tak lagi menunggu dengan gelisah, melainkan percaya, bahwa jika takdir mengijinkan, langit yang mereka bagi akan kembali mempertemukan dua hati yang tak pernah benar-benar berpisah.

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun