Langit yang di bagi Deden
Karya: Rizal De Loesie
Sore itu, langit Bandung seperti melukis perpisahan dengan warna-warna yang terlalu jujur. Jingga yang sendu, semburat merah yang enggan padam, dan awan-awan tipis yang menggantung di ujung cakrawala seperti rasa yang belum sempat diucapkan.
Risma duduk di bangku taman, tempat favorit mereka sejak tiga tahun lalu. Di sana, segalanya pernah dimulai---tawa pertama, genggaman pertama, bahkan diam yang pertama kali terasa nyaman.
Ketika Deden datang, langkahnya tak lagi ringan seperti biasanya. Ia membawa berita. Bukan tentang bunga matahari yang baru mekar di rumah tetangga, atau kopi favorit yang kembali dijual di kedai dekat kampus. Tapi tentang jarak---tentang keputusan yang tak bisa mereka tolak bersama.
"Aku diterima kerja di Surabaya," katanya pelan, seolah takut ucapannya membuat langit runtuh.
Risma menoleh pelan, matanya bening namun dalam. "Kapan?"
"Sabtu ini."
Jawaban itu menggantung di udara, seperti kabut tipis yang enggan hilang. Risma tak menjawab segera. Ia hanya menatap langit, langit yang dulu mereka sebut sebagai langit yang sama---tempat mereka menitipkan doa, mimpi, dan sesekali ciuman diam-diam.
"Langitnya tetap sama, kan?" tanya Deden, mencoba tersenyum.
Risma mengangguk kecil. "Tapi yang melihatnya tak lagi berdua."