Mohon tunggu...
yudi howell
yudi howell Mohon Tunggu... Freelancer - Active Social Media User

Female, live in Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kakak Perempuan

25 Mei 2020   23:56 Diperbarui: 26 Mei 2020   11:28 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Yudi Howell/ dokpri

Namaku Tania Irawati. Perempuan dewasa, single dengan pekerjaan yang sangat mapan. Aku kelahiran Indonesia tetapi mengalir darah dari berbagai bangsa di tubuhku. Bapakku Indonesia, Ibu Belanda, yang merupakan anak tunggal dari pasangan Belanda dan Jerman. 

Tujuhpuluhlima persen penampilan fisikku adalah 'bule' istilah orang Indonesia untuk bangsa kulit putih tetapi berhubung lahir di Jawa, dialekku sangat medhok  Jawa. Setengah  usia hidupku memang dihabiskan di negeri ibuku tetapi sejak umur tujuhbelas tahun aku tinggal di Indonesia hingga aku dewasa sekarang.

Baru setahun lalu, aku dipindahkan ke Indonesia, untuk memimpin kantor cabang baru di Yogyakarta. Belajar mandiri di negeri maju, ketika hidup di Indonesia pun aku sudah terbiasa sendiri. 

Aku tinggal di sebuah apartemen yang lumayan bagus di Yogyakarta. Apartemen di kota ini baru mulai dikenal orang dan tampaknya akan menjadi tren baru kehidupan orang Jogja. Tak kusangka,  orang yang tinggal dan memiliki apartemen di Jogja dicitra sebagai orang dengan kelas ekonomi tinggi. Awalnya aku merasa baik-baik saja dengan berbagai label yang dilekatkan orang padaku.

Perempuan kaya,cantik,  single, dan hidup sendiri di apartemen. Menjadi single di usiaku sekarang tampaknya sering menimbulkan percakapan dari mulut ke mulut. Aku tidak tahu bahwa urusan pribadi ternyata bisa menjadi perbincangan publik yang sangat hangat di kota ini.

Bahkan di kalangan teman-teman kerjaku. Mereka sering mengatakan bahwa ada label buruk yang akan melekat jika perempuan seusiaku tidak menikah dan berkeluarga. Menjadi single di usia matang bukan merupakan pilihan hidup yang dapat diterima publik. 

"Memang label apa?" tanyaku pada temanku. Lelaki yang sepuluh tahun lebih muda dariku. Dia karyawan satu tim, yang sudah setahun ini bekerja di divisi yang sama denganku. 

"Ah...kamu tidak ingin tahu. Abaikan saja." 

"Serius, kamu minta aku mengabaikan gunjingan orang?"

Adrian, temanku ini, membuka headsetnya dan menatapku.

"Kalaupun aku lebih senang kamu kalau memiliki pasangan dan akhirnya berkeluarga, itu juga bukan karena tekanan sosial." jawabnya, "Hidup ini tidak mudah. Dunia itu kejam. Ada kalanya kita tidak akan kuat menghadapi sendiri."

"Bukannya kamu juga masih sendiri?" tanyaku serius tanpa pretensi, "Apa kabar dengan Dewi?"

Dewi adalah salah seorang teman kami juga, dia staff di bawahku. Bisa dibilang, aku atasannya. Sebagai atasan, aku sering mendatangi mejanya. Suatu ketika tak sengaja kubaca whatsapp web di komputernya yang menyala. Percakapan antara Dewi dengan Adrian. Percakapan yang cukup intim kurasa.

"Kamu membelokkan arah percakapan." kata Adrian, "Kenapa dengan Dewi? Dia baik-baik saja. Sehat. Tadi kubertemu di kantin."

"Bukannya kamu menjalin relasi personal dengan dia?" 

Adrian tertawa datar.

"Kami berteman. Mengapa menduga begitu?"

"Dia cantik loh. Masih sangat muda, tapi kerjanya bagus."

"Aku tahu," jawab Adrian, "Semua juga tahu kan?" 

"Kamu suka dia kan?"

Adrian menatapku. Dihirupnya teh panas beberapa saat lalu dia menggeser duduknya ke arahku. Sedikit berani, sih, menurutku. Bagaimana pun juga, Adrian secara struktur kepegawaian masih ada di bawahku. Tapi aku merasa ada yang akan diceritakannya tentang Dewi secara rahasia. Kebetulan, suasana kantin memang agak banyak orang. Beberapa hari terakhir ini, kantor nyaris sepi karena aku memutuskan beberapa pegawai untuk kerja di rumah. 

"Ada yang mau aku katakan padamu." katanya pelan sekali., "Memang ini seperti kurang ajar."

Aku menaikkan alisku. Arah perbincangannya sudah meleset dari apa yang kuduga.

"Kamu tahu? Media sosial sekarang ini sedang marak dengan istilah badboy atau fuckboy. Dan lelaki yang demikian katanya justru disukai banyak perempuan muda."

"Terus?"

"Aku mungkin akan menjadi fuckboy, tapi gak pa palah."

"Terus?"

Adrian meneguk lagi teh panas manis. Kali ini sampai habis. Dengan sambil beranjak berdiri dan kembali mengenakan maskernya, dia menatapku.

"Yang aku suka adalah kamu." katanya sambil berlalu meninggalkanku terbengong sendirian di kantin.

***

Manakah yang benar, aku yang badgirl atau Adrian yang fuckboy? Karena kami akhirnya berpacaran. Tidak pedulilah gunjingan orang tentang kami. Tante-tante kaya yang cari daun muda, atau cowok matrek, demi materi mengiyakan segala cara. Sebetulnya sih aku kasihan pada Adrian. Sesungguhnya kami sadar resiko ini. Tapi entahlah. 

"Abaikan apa yang dikatakan orang. Apalagi cewek-cewek." kata Adrian suatu sore. "Mereka hanya iri padamu."

Matahari di langit barat mulai tenggelam separuh. Semburat merah kecoklatan masih nampak sedikit menyeruak. Adri duduk di sampingku, menikmati sore yang lengang. Tangannya merentang ke bangku panjang sekaligus seperti menaugi tubuhku. Serius, sekalipun jauh lebih muda, aku tak pernah merasakan itu. Ia begitu dewasa. 

"Maksudmu mereka hanya iri padaku?" tanyaku menyelidik.

Adrian tersenyum di sudut bibirnya, "Karena aku memilih kamu, bukan memilih mereka."

Aku tertawa terbahak mendengarnya. Adrian juga tertawa. 

"Jadi, kamu yang memilih ya? Bukan aku?"

"Ya lah." Adrian berkelekar, " Kamu pernah dengar bisik-bisik cewek-cewek di divisi sebelah kalau kita pas lewat?"

"Apa?"

Adrian menatapku tetap dengan candanya.

"Kamu beruntung aku memilih kamu." Adrian tertawa terus merengkuh bahuku. Ia begitu seperti ingin mengatakan bahwa dia hanya bercanda.

***

Berhari-hari aku memikirkan kalimat terakhir Adrian. Betulkah aku beruntung dipilih oleh Adrian? Jadi siapa yang memiliki kekuatan? Adrian? Aku yang mestinya bilang kalau Adrian beruntung mendapatkanku. Aku punya banyak hal, yang tak Adrian punya. Apakah kemudaan dia adalah sumber utama kekuatannya dan usiaku yang lebih tua, mandiri, dan masih sendiri tapi punya segala,  justru jadi kelemahan utamaku? 

Tapi betulkah aku merasa tidak beruntung memiliki Adrian? Dari sekian puluh cewek-cewek muda nan cantik jelita, yang juga dengan lugas terbuka menawarkan perasaan cinta padanya, ternyata itu semua diabaikannya? Dan Adrian memilih aku? Bahkan Dewi, perempuan yang sudah sangat dekat dengan Adrian sebelum aku datang pun, harus melepas angannya berdua dengan Adrian. Tapi kenapa juga aku jatuh cinta kepadanya? Bukannya aku cukup punya modal untuk menawarkan cinta pada para lelaki yang bermodal lebih tinggi dari Adrian, bahkan lebih dari diriku sendiri?

Pernah suatu malam, ketika menikmati makan di taman terbuka sebuah kafe, Adrian menyampaikan pertanyaan yang tak terduga.

"Tania, saat aku bilang aku suka kamu, apakah kamu sudah menyukaiku lebih dulu cuma tidak kamu katakan?"

Cangkir tehku sudah kosong. Sembari berpikir menemukan jawabannya, kutuang lagi teh panas dari teko ke cangkirku.

"Kalau aku suka padamu kenapa aku tidak mengatakannya? Karena menurutmu perempuan tidak santun jika menyatakan suka lebih dulu?"

"Berarti kamu tidak suka padaku waktu itu?"

"Kenapa begitu?"

"Karena, kamu tidak mengatakan padaku."

Aku menelan pelan-pelan teh panas. Kehangatan mengalir lambat di leherku. Ya. Apakah aku suka Adrian sebelum dia mendului menyatakan rasa sukanya kepadaku? Atau karena justru keberanian Adrian untuk menyatakan perasaannya, aku menjadi suka padanya? Artinya, aku tidak punya perasaan suka sebelum Adrian mengungkapkannya. Atau jangan-jangan, aku sudah mulai tertekan oleh label-label sosial yang mendorongku untuk memiliki pasangan, dan kebetulan Adrian orang pertama yang mengatakan?

"Kenapa kamu mau menerima aku?" tanya Adrian lagi, "Sungguh kamu menyukai aku?"

Cangkir teh panas di tanganku kosong lagi.  Kulihat cangkir Adrian juga kosong. Sudah lama berarti kami di sini. Isi teko pun juga sudah kosong.

"Kenapa kamu juga suka aku?" tanyaku balik, "Sungguhkah kau suka aku? Tulus karena aku? Aku sepuluh tahun lebih tua dari kamu."

Adrian tertawa. Entah tertawa apa. Dia membelai kepalaku. 

"Kamu mulai berpikir bahwa aku suka kamu karena bukan dirimu? Tapi karirmu, kelas ekonomi?"

***

Percakapan malam itu meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban. Aku tidak pernah tahu alasan yang sesungguhnya Adrian menyukai aku. Demikian juga Adrian sampai kini aku tidak tahu mengapa aku menerima dia sebagai pasanganku. Mungkin ada jawabannya.

Tapi kami tidak pernah berterus terang, atau tidak berani berterus terang, atau tidak berani menerima kenyataan jika harus berterus terang. Jadi kami memendamnya bak harta karun, entah sampai kapan akan ditemukan dan dibuka isinya. 

Lima tahun sudah kini kami berpacaran. Usiaku menginjak ke empat puluh dan Adrian tigapuluh. Dan kami tetap tidak pernah ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul lima tahun lalu itu. Kami sudah cukup matang dan dewasa, terutama aku. Hahha....aku mulai menertawakan diriku sendiri.

Sebentar lagi kulitku akan mulai menampakkan garis-garis halus penanda usia. Bagiku itu tidak masalah karena itu alamiah. Sedangkan Adrian...baru gagah-gagahnya sebagai lelaki. Dewi dan cewek-cewek yang dulu pemuja Adrian sudah banyak yang menikah, termasuk Dewi. 

Apakah aku tidak takut Adrian akan pergi karena usiaku? Mestinya tidak, karena sejak awal kondisinya memang sudah begitu. Usiaku jauh lebih tinggi dari dia, karirku lebih tinggi, kelas ekonomiku lebih baik, dan tetap mandiri. Tak ada yang berubah. Lantas, untuk apa relasi ini? Buat apa juga bagi dia? Sepertinya dia juga tenang-tenang saja.

Beberapa hari lalu, baru pertama kali ini aku diajak Adrian ke rumah orang tuanya di Semarang. Selama ini cuma kutahu dari cerita-ceritanya. Bapaknya sudah tidak ada berpuluh-puluh tahun lalu. Dan Adrian adalah anak bungsu. Ada seorang kakak perempuannya dan ibunya tinggal di rumah orang tuanya.

Anehnya adalah aku tidak merasa akan diperkenalkan sebagai pacarnya, sebagai awal langkah menuju jenjang yang lebih lanjut dari sekedar pacaran. Sepanjang perjalanan, perasaanku datar, seperti biasa. Demikian juga, Adrian kurasa. 

Selama tiga jam di kendaraan, kami akhirnya sampai juga. Rumah sedikit mewah, tapi mungil dan asri. Halamannya tidak luas tetapi ada taman kecil di sudutnya. Taman yang teratur sengaja dirancang. Aku yakin, Adrian berasal dari keluarga dengan kelas ekonomi yang baik. Di ruang tamu, aku dipersilakannya duduk. Adrian masuk ke dalam memanggil ibunya. 

Kupandangi ruang tamu yang juga mungil. Hanya ada satu meja kopi dan empat kursi dengan gaya minimalis. Lemari besi dengan pintu-pintu kaca ada di sudut dengan beberapa buku tebal, patung-patung kristal, kurasa dan pigura-pigura kecil dengan foto yang bergantung rapi di tengah-tengah dinding. Ada foto keluarga berempat. Foto sendiri-sendiri. Dari bapaknya, ibuknya, Adrian dan....astaga...foto terakhir ini....

"Tania, ini ibu. Ibu ini Tania." tiba-tiba suara Adrian memecah konsentrasiku.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah ibu Adrian. Perempuan setengah baya itu menatapku tidak berkedip. Dan tiba-tiba dia menangis. Adrian cepat-cepat memapahnya duduk. Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu mengapa beliau tiba-tiba menangis.

"Ya Tuhan...nak Tania..." kata ibu tersendat-sendat "Kamu mengingatkanku pada kakaknya Adrian."

Secara refleks aku kembali mengalihkan tatapku ke foto terakhir yang aku lihat tadi. Perempuan mungkin lima tahun dibawah usiaku...wajahnya, potongan rambutnya, tinnginya, berat tubuhnya, bajunya, sepatunya...sama persis dengan yang aku pakai sekarang.  

"Itu kakak Adrian. Namanya Kania. Mirip juga dengan namamu. Dia meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan pesawat terbang. Dia seorang Pramugari." 

Kutelusuri lagi foto-foto Kania yang sebagian besar bersama dengan Adrian, adiknya. Dari mereka masih kecil,  remaja dan dewasa.  Kubuka album foto yang juga ada di situ. Ya Tuhan...hampir semua bajunya sama dengan bajuku...yang dibelikan Adrian buatku, atau yang dipilih Adrian jika aku meminta sarannya. Sepatunya, gaya rambutnya....Aku disulap Adrian seperti kakaknya. 

"Adrian sangat sayang dengan kakaknya. Mereka tidak pernah terpisah sampai kecelakaan itu terjadi. Untungnya Adrian selamat." cerita perempuan setengah baya itu.

Aku terduduk lunglai. Kali ini aku yang menangis. Bukan menangisi kakak Adrian yang sudah meninggal lima tahun lalu. Tapi karena aku menemukan alasan yang sesungguhnya  Adrian menyukai aku.  Pertanyaan yang selama ini telah terpendam menjadi harta karun kami berdua. 

***

Yogyakarta, 25 Mei 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun