Pesta olahraga bisa jadi ajang politik, dan bersifat politis. Kisah jumping motor gede ala Presiden Jokowi, pada pembukaan Asian Games 2018 di Jakarta, disinyalir menjadi sarana start kampanye jelang proses politik 2019.Â
Setidaknya, atribut popularitas bisa diperoleh. Terlebih prestasi para atlet, juga mampu terdongkrak, bersamaan dengan riuhnya dukungan publik dalam negeri.Â
Tidak mengherankan, ketua pelaksana Asian Games, kemudian menapaki jalur politik menjadi ketua tim kampanye hingga berbuah kursi menteri.
Bencana Event Olahraga
Salah satu kajian yang menarik terkait dengan pelaksanaan kegiatan olahraga, termuat dalam buku Brazilian Football and Their Enemies, 2014.Â
Buku yang dilahirkan melalui rangkaian tulisan Pandit Football Indonesia tersebut, menggambarkan bagaimana negeri Samba berdarah-darah, dalam mewujudkan tontonan piala dunia 2014.
Bahkan setelah itu, spekulasinya bertambah. Rio de Janeiro lantas menjadi tempat perhelatan Olimpiade 2016.Â
Tidak sedikit ongkos yang harus dikeluarkan, untuk mengadakan dua event terbesar sejagat tersebut. Padahal pada saat bersamaan, Brasil sendiri tidak dalam performa ekonomi terbaik.
Biayanya penyelenggaraan, mulai dari pembangunan venue stadion. Penginapan atlet, hingga transportasi dan akomodasi dipersiapkan. Dengan konsekuensi penggusuran, hingga penggunaan anggaran negara diluar prioritas.Â
Kegiatan mewah bertaraf dunia hadir secara ironis, dalam siaran langsung televisi di berbagai pemukiman kumuh. Ada ongkos sosial yang harus dibayar, dari pembangunan mega proyek perhelatan olahraga tersebut.
Model serupa terlihat pada kasus Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang. Moda transportasi bertajuk Light Rail Transit -LRT Palembang, meski lebih baik dalam hal operasionalisasi, daripada LRT Jakarta yang masih mangkrak, belum mencapai titik optimum utilisasi.Â
Pasca menjadi sarana transportasi Asian Games, kegunaannya di bawah 50 persen kapasitasnya.