Menyebut Kwitang, seolah merujuk satu lokasi dimasa lampau, diera pra kemerdekaan yang menjadi tempat percampuran budaya.
Seperti asal-usul sejarah nama Kwitang itu sendiri yang diabsorpsi dari nama keturunan Tionghoa Kwee Tang Kiam diabad ke 17.
Bentuk asimilasi budaya yang timbul dan diwariskan adalah gerak silat Mustika Kwitang, karena Kwee Tang Kiam merupakan pendekar.
Kwitang,  saat itu adalah pusat interaksi antar budaya. Sesuai dengan sejarah  kehadiran kolonial Belanda yang menghancurkan Jayakarta, dan membangun  kantor kedudukan VOC ditahun 1619.
Setidaknya,  sebagai pusat magnitude, warga lokal Betawi kemudian bersentuhan  langsung dengan budaya kelompok pendatang. Tidak hanya penjajah Belanda,  tetapi juga para pedagang Tionghoa dan Arab.
Salah satu episode yang menyebutkan keberadaan Kwitang adalah cerita tentang kisah tragis romantika cinta Nyai Dasima.
Mengambil  setting era Batavia era Hindia-Belanda sekitar tahun 1813-an. Cerita  pilu karangan G. Francis terbitan tahun 1896, dihimpun atas kisah nyata  seorang istri simpanan pejabat kolonial Edward William bernama Dasima.
Pada  akhir kisah cinta segitiga yang diwarnai bumbu keserakahan dan cinta  terlarang, Dasime lari bersama Samiun si tukang sado. Hingga kemudian berakhir tragis ketika Nyai Dasima meregang nyawa di kali Ciliwung.
Tapi  latar Kwitang dalam cerita itu terbilang kelam, karena peran Bang Puase  si pembunuh bayaran dari Kwitang. Lokasi Kwitang memang tersohor, sebagai tempat para pendekar dan jago silat pada masanya.
Era Markas Dakwah
Waktu berganti dan kisahpun berubah. Kwitang kemudian harum dimasa bergemuruhnya periode dakwah Islam.