Mohon tunggu...
Yudaningsih
Yudaningsih Mohon Tunggu... Pemerhati Bidang Sosial Budaya, Pendidikan, Politik dan Keterbukaan Informasi Publik

Akademisi dan aktivis keterbukaan informasi publik. Tenaga Ahli Komisi Informasi (KI) Prov Jabar, mantan Komisioner KPU Kab Bandung dan KI Prov Jabar. Alumni IAIN Bandung dan S2 IKom Unpad ini juga seorang mediator bersertifikat, legal drafter dan penulis di media lokal dan nasional. Aktif di ICMI, Muhammadiyah, dan 'Aisyiyah Jabar. Aktifis Persma "Suaka" 1993-1999. Kini sedang menempuh S3 SAA Prodi Media dan Agama di UIN SGD Bandung. Menulis sebagai bentuk advokasi literasi kritis terhadap amnesia sosial, kontrol publik, dan komitmen terhadap transparansi, partisipasi publik, dan demokrasi yang substantif.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Teknologi Komunikasi dan Fragmentasi Identitas Sosial

19 September 2025   02:30 Diperbarui: 18 September 2025   18:54 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi teknologi komunikasi terhadap identitas sosial (Sumber: https://jurnalpost.com/)

Teknologi komunikasi telah mengubah wajah masyarakat modern. Jika dulu identitas sosial seseorang terikat erat pada lingkungan fisik---tempat tinggal, pekerjaan, keluarga, atau komunitas---kini ia semakin banyak terbentuk melalui interaksi digital. Jejak digital, mulai dari status media sosial hingga partisipasi dalam grup percakapan, menjadi cermin baru siapa kita di mata orang lain.

Identitas sosial bukan sekadar label yang melekat, melainkan refleksi dari bagaimana kita ingin dipersepsikan dan bagaimana orang lain menilai keberadaan kita. Sherry Turkle, profesor MIT, menyebut fenomena ini sebagai "the tethered self", yakni identitas yang selalu terikat pada perangkat digital. Menurutnya, dunia maya membuat kita hadir secara konstan dalam berbagai ruang sosial, meski tanpa tatap muka langsung (Turkle, 2011).

Fenomena ini mudah kita lihat: di LinkedIn kita membangun citra profesional, di Instagram menampilkan sisi estetis dan gaya hidup, sementara di WhatsApp keluarga kita berperan sebagai anak, orang tua, atau saudara. Teknologi komunikasi memungkinkan fragmentasi identitas, tetapi pada saat yang sama juga menyatukan semua potret itu dalam satu benang merah: jejak digital yang tak terhapuskan.

Yang lebih menarik (atau justru mengkhawatirkan) adalah bagaimana algoritma teknologi komunikasi berperan dalam membentuk identitas sosial. Menurut penelitian Pariser (2011) tentang filter bubble, algoritma media sosial menyajikan informasi yang sesuai dengan preferensi kita, sehingga tanpa sadar mempersempit cara pandang dan memperkuat identitas kelompok.

Di Indonesia, hal ini tampak jelas pada masa Pemilu 2019 dan 2024. Polarisasi politik di media sosial membuat identitas sosial banyak orang seolah hanya ditentukan oleh pilihan politiknya. Tagar, meme, dan narasi digital membentuk label: "cebong" dan "kampret" misalnya, menjadi identitas baru yang melekat lebih kuat dibanding sekadar afiliasi partai. Dunia digital memperkuat sekat identitas sosial, bahkan merembet ke kehidupan sehari-hari.

Namun, kehadiran teknologi komunikasi juga menimbulkan paradoks. Di satu sisi, kita bisa menampilkan banyak wajah sesuai konteks. Di sisi lain, hal ini menimbulkan pertanyaan: siapakah diri kita yang sebenarnya?

Generasi muda Indonesia juga menunjukkan fenomena ini. Studi UNICEF (2022) menemukan bahwa lebih dari 70% remaja Indonesia aktif menggunakan media sosial untuk mengekspresikan diri, namun sebagian besar mengaku merasa tertekan untuk menampilkan "versi terbaik" agar diterima lingkaran sosialnya. Identitas digital menjadi sumber pengakuan sekaligus kecemasan sosial.

Manuel Castells dalam The Rise of the Network Society (2010) menekankan bahwa identitas sosial di era digital bersifat konstruksi yang cair. Identitas bisa dinegosiasikan, dimodifikasi, bahkan dikaburkan sesuai kepentingan. Artinya, dunia maya memberi ruang besar untuk kreativitas sekaligus manipulasi identitas.

Menjaga Otentisitas di Era Digital

Teknologi komunikasi memang memperluas ruang interaksi dan membuka peluang membangun identitas sosial yang lebih kaya. Namun, ada konsekuensi yang perlu diwaspadai: identitas yang terlalu tergantung pada representasi digital bisa kehilangan otentisitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun