Teknologi komunikasi telah mengubah wajah masyarakat modern. Jika dulu identitas sosial seseorang terikat erat pada lingkungan fisik---tempat tinggal, pekerjaan, keluarga, atau komunitas---kini ia semakin banyak terbentuk melalui interaksi digital. Jejak digital, mulai dari status media sosial hingga partisipasi dalam grup percakapan, menjadi cermin baru siapa kita di mata orang lain.
Identitas sosial bukan sekadar label yang melekat, melainkan refleksi dari bagaimana kita ingin dipersepsikan dan bagaimana orang lain menilai keberadaan kita. Sherry Turkle, profesor MIT, menyebut fenomena ini sebagai "the tethered self", yakni identitas yang selalu terikat pada perangkat digital. Menurutnya, dunia maya membuat kita hadir secara konstan dalam berbagai ruang sosial, meski tanpa tatap muka langsung (Turkle, 2011).
Fenomena ini mudah kita lihat: di LinkedIn kita membangun citra profesional, di Instagram menampilkan sisi estetis dan gaya hidup, sementara di WhatsApp keluarga kita berperan sebagai anak, orang tua, atau saudara. Teknologi komunikasi memungkinkan fragmentasi identitas, tetapi pada saat yang sama juga menyatukan semua potret itu dalam satu benang merah: jejak digital yang tak terhapuskan.
Yang lebih menarik (atau justru mengkhawatirkan) adalah bagaimana algoritma teknologi komunikasi berperan dalam membentuk identitas sosial. Menurut penelitian Pariser (2011) tentang filter bubble, algoritma media sosial menyajikan informasi yang sesuai dengan preferensi kita, sehingga tanpa sadar mempersempit cara pandang dan memperkuat identitas kelompok.
Di Indonesia, hal ini tampak jelas pada masa Pemilu 2019 dan 2024. Polarisasi politik di media sosial membuat identitas sosial banyak orang seolah hanya ditentukan oleh pilihan politiknya. Tagar, meme, dan narasi digital membentuk label: "cebong" dan "kampret" misalnya, menjadi identitas baru yang melekat lebih kuat dibanding sekadar afiliasi partai. Dunia digital memperkuat sekat identitas sosial, bahkan merembet ke kehidupan sehari-hari.
Namun, kehadiran teknologi komunikasi juga menimbulkan paradoks. Di satu sisi, kita bisa menampilkan banyak wajah sesuai konteks. Di sisi lain, hal ini menimbulkan pertanyaan: siapakah diri kita yang sebenarnya?
Generasi muda Indonesia juga menunjukkan fenomena ini. Studi UNICEF (2022) menemukan bahwa lebih dari 70% remaja Indonesia aktif menggunakan media sosial untuk mengekspresikan diri, namun sebagian besar mengaku merasa tertekan untuk menampilkan "versi terbaik" agar diterima lingkaran sosialnya. Identitas digital menjadi sumber pengakuan sekaligus kecemasan sosial.
Manuel Castells dalam The Rise of the Network Society (2010) menekankan bahwa identitas sosial di era digital bersifat konstruksi yang cair. Identitas bisa dinegosiasikan, dimodifikasi, bahkan dikaburkan sesuai kepentingan. Artinya, dunia maya memberi ruang besar untuk kreativitas sekaligus manipulasi identitas.
Menjaga Otentisitas di Era Digital
Teknologi komunikasi memang memperluas ruang interaksi dan membuka peluang membangun identitas sosial yang lebih kaya. Namun, ada konsekuensi yang perlu diwaspadai: identitas yang terlalu tergantung pada representasi digital bisa kehilangan otentisitas.