Â
Di era kepemimpinan Gubernur Dedy Mulyadi yang dikenal nyeleneh tapi membumi, blak-blakan tapi berpihak pada wong cilik, birokrasi Jawa Barat dituntut lebih dari sekadar hadir---ia harus hidup, bergerak, dan menjawab langsung denyut kebutuhan rakyat. Dalam lanskap inilah, Sekretaris Daerah Jawa Barat Herman Suryatman memainkan peran kunci sebagai penyeimbang sekaligus penggerak roda birokrasi agar tetap sinergis dengan semangat kepemimpinan sang Gubernur.
Dua prinsip yang ia usung---"sabubukna" dan "sanajan"---bukan sekadar slogan, bukan sebatas gaya melainkan gairah kerja. Â Ini adalah filosofi kerja keras, kerja cerdas, dan kerja tuntas yang agile dan adaptif, membentuk wajah birokrasi modern yang responsif, bukan reaktif.
Dalam bahasa Sunda"Sabubukna" berarti menyingsingkan lengan baju, bekerja sepenuh tenaga, tidak setengah-setengah, mencerminkan semangat kerja totalitas: tanpa banyak dalih, tanpa mencari sorotan. Sementara "Sanajan" menunjukkan tekad untuk terus melangkah, meskipun kondisi tidak selalu ideal, komitmen untuk tetap hadir dan bekerja, meski dalam keterbatasan atau dalam situasi yang tidak sempurna.
Kedua pendekatan ini, bila diterapkan dalam konteks birokrasi, mencerminkan pergeseran paradigma: dari birokrasi yang statis dan menunggu, menjadi birokrasi yang aktif turun ke lapangan, mendengar langsung denyut masyarakat, dan merespons dengan cepat.
Filosofi ini sangat nyambung dengan gaya kepemimpinan Dedy Mulyadi yang sering blusukan sendirian, tanpa seremoni, dan langsung menyapa masyarakat yang membutuhkan uluran tangan pemerintah. Maka, ketika Gubernur bergerak dengan gaya populis, Sekda menjembatani dengan sistematis: mengubah arah keinginan menjadi kebijakan, dan kebijakan menjadi pelayanan.
"Birokrasi harus bisa bergerak mengikuti kecepatan dan keberanian pemimpinnya, tapi juga harus menjaga ritme agar tidak kehilangan arah dan akuntabilitas," demikian Herman pernah menyampaikan dalam satu forum internal.
Membentuk Birokrasi Agile
Herman Suryatman tidak hanya sibuk di belakang meja. Ia memilih turun langsung ke lapangan, melakukan supervisi pelayanan publik, hingga memastikan program prioritas berjalan di titik-titik terdalam. Namun di balik itu, ia tetap menjaga prinsip-prinsip birokrasi yang agile: cepat beradaptasi, data-driven, dan kolaboratif.
Namun, seagile-agilenya birokrasi, transparansi tetap kunci. Karena di era keterbukaan informasi, persepsi publik adalah realitas baru. Meski kerja lapangan masif, jika tidak terdokumentasi dan dikomunikasikan secara baik, tetap akan menimbulkan spekulasi.Â
Untuk menjawab tantangan ini, Herman menawarkan pendekatan yang progresif: digitalisasi kinerja dan dokumentasi real-time.
Papan Kinerja Digital yang menampilkan aktivitas harian pejabat kunci secara transparan.
Absensi berbasis agenda kerja, bukan sekadar kehadiran fisik.
Dashboard Kinerja Terbuka, yang bisa diakses publik dan legislatif untuk memantau perkembangan kebijakan.
Langkah ini tak hanya menjembatani persepsi antara kerja nyata dan kehadiran fisik, tapi juga menegaskan bahwa birokrasi agile tidak bisa berdiri di atas ketertutupan. Ia harus bisa dilihat, dievaluasi, dan dipercaya.
Kepemimpinan Dedy Mulyadi yang spontan, progresif, dan menyentuh langsung akar rumput---tidak akan maksimal jika tidak ditopang oleh figur birokrat seperti Herman Suryatman yang disiplin, terstruktur, dan berpikir sistem. Keduanya adalah dua kutub yang saling mengisi: politik kebijakan dan teknokrasi administrasi, gerakan massa dan reformasi birokrasi.
Di sinilah titik keseimbangan dibangun. Gubernur adalah api semangat rakyat, Sekda adalah kompas arah kebijakan. Gubernur menyalakan keberanian, Sekda memastikan keberanian itu tepat sasaran.
Kisah Sekda Jabar, Herman Suryatman dan pendekatan "sabubukna" serta "sanajan"-nya adalah contoh konkret bahwa birokrasi yang agile itu mungkin---asal ada kemauan, keberanian, dan sistem pendukung.
Bagi birokrat di seluruh Indonesia, ini bukan hanya cerita tentang Sekda Jawa Barat. Ini cermin bahwa kita semua bisa---dan harus---bergerak. Karena pada akhirnya, rakyat tidak menuntut kehadiran kita di ruang rapat. Mereka menuntut hasil nyata di ruang hidup mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI