Mohon tunggu...
Yudaningsih
Yudaningsih Mohon Tunggu... Pemerhati Bidang Sosial Budaya, Pendidikan, Politik dan Keterbukaan Informasi Publik

Akademisi dan aktivis keterbukaan informasi publik. Tenaga Ahli Komisi Informasi (KI) Prov Jabar, mantan Komisioner KPU Kab Bandung dan KI Prov Jabar. Alumni IAIN Bandung dan S2 IKom Unpad ini juga seorang mediator bersertifikat, legal drafter dan penulis di media lokal dan nasional. Aktif di ICMI, Muhammadiyah, dan 'Aisyiyah Jabar. Aktifis Persma "Suaka" 1993-1999. Kini sedang menempuh S3 SAA Prodi Media dan Agama di UIN SGD Bandung. Menulis sebagai bentuk advokasi literasi kritis terhadap amnesia sosial, kontrol publik, dan komitmen terhadap transparansi, partisipasi publik, dan demokrasi yang substantif.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Tengah Dua Matahari

25 Mei 2025   10:10 Diperbarui: 24 Mei 2025   17:47 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Dua Matahari (Sumber: https://wahananews.co/)

Aku berdiri
di antara dua matahari
yang sinarnya tak pernah saling mengerti
Yang satu hangat tapi membakar
yang satu lembut tapi membingkai kabut

Beliau
matahari masa lalu
yang berkarir sebagai guru ASN
telah purnabhakti tapi berpegang pada konservatif
Membawa luka dalam bisu
menggendong doa dalam diam
mengubur mimpi di balik daster dan jam dinding
yang tak pernah benar waktunya
"Perempuan harus tahu diri," katanya
Lalu ia tanggalkan diri itu...
untuk menjadi ibu dari diam

Anakku
matahari masa depan
yang tumbuh dari pupuk mimpi dan tanya tak habis-habis
Yang meragukan adat
dan menulis masa depan di langit-langit kamar

"Aku bukan Mamak, Bu," katanya.
"Jangan wariskan sunyi itu padaku."

Lalu aku
di antara dua matahari
terbakar dan membeku sekaligus
Ingin jadi jembatan
tapi lebih sering jadi batu loncatan
Ingin jadi suara
tapi lebih sering memilih senyap
karena takut salah langkah
dan mengulang sejarah

Namun hari ini
aku berdiri
dengan tangan gemetar menuliskan kembali
nama yang dulu kutanggalkan:
Perempuan dengan mimpi.
Ibu dengan keberanian.

Karena aku tahu kini
Menjadi ibu
bukan soal memilih siapa yang harus dikorbankan
tapi belajar menyalakan pelita
dari sisa api yang nyaris padam
agar anakku bisa terbang
dan beliau bisa sembuh...
walau terlambat

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun