Aku berdiri
di antara dua matahari
yang sinarnya tak pernah saling mengerti
Yang satu hangat tapi membakar
yang satu lembut tapi membingkai kabut
Beliau
matahari masa lalu
yang berkarir sebagai guru ASN
telah purnabhakti tapi berpegang pada konservatif
Membawa luka dalam bisu
menggendong doa dalam diam
mengubur mimpi di balik daster dan jam dinding
yang tak pernah benar waktunya
"Perempuan harus tahu diri," katanya
Lalu ia tanggalkan diri itu...
untuk menjadi ibu dari diam
Anakku
matahari masa depan
yang tumbuh dari pupuk mimpi dan tanya tak habis-habis
Yang meragukan adat
dan menulis masa depan di langit-langit kamar
"Aku bukan Mamak, Bu," katanya.
"Jangan wariskan sunyi itu padaku."
Lalu aku
di antara dua matahari
terbakar dan membeku sekaligus
Ingin jadi jembatan
tapi lebih sering jadi batu loncatan
Ingin jadi suara
tapi lebih sering memilih senyap
karena takut salah langkah
dan mengulang sejarah
Namun hari ini
aku berdiri
dengan tangan gemetar menuliskan kembali
nama yang dulu kutanggalkan:
Perempuan dengan mimpi.
Ibu dengan keberanian.
Karena aku tahu kini
Menjadi ibu
bukan soal memilih siapa yang harus dikorbankan
tapi belajar menyalakan pelita
dari sisa api yang nyaris padam
agar anakku bisa terbang
dan beliau bisa sembuh...
walau terlambat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI