Mohon tunggu...
Yudaningsih
Yudaningsih Mohon Tunggu... Pemerhati Bidang Sosial Budaya, Pendidikan, Politik dan Keterbukaan Informasi Publik

Akademisi dan aktivis keterbukaan informasi publik. Tenaga Ahli Komisi Informasi (KI) Prov Jabar, mantan Komisioner KPU Kab Bandung dan KI Prov Jabar. Alumni IAIN Bandung dan S2 IKom Unpad ini juga seorang mediator bersertifikat, legal drafter dan penulis di media lokal dan nasional. Aktif di ICMI, Muhammadiyah, dan 'Aisyiyah Jabar. Aktifis Persma "Suaka" 1993-1999. Kini sedang menempuh S3 SAA Prodi Media dan Agama di UIN SGD Bandung. Menulis sebagai bentuk advokasi literasi kritis terhadap amnesia sosial, kontrol publik, dan komitmen terhadap transparansi, partisipasi publik, dan demokrasi yang substantif.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tawuran Manggaran: Tradisi Kekerasan yang Butuh Diakhiri

12 Mei 2025   05:00 Diperbarui: 11 Mei 2025   21:46 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah sore yang semestinya damai, suara petasan memecah udara di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Tak lama, lemparan batu menyusul, lalu teriakan penuh amarah---dan kembali, satu fragmen kekerasan diputar ulang dalam sejarah panjang yang telah berlangsung sejak dekade 1970-an.

Tawuran di Manggarai bukan peristiwa baru. Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Ade Rahmat Idnal menyebutnya sebagai tradisi turun-temurun. Ini bukan sekadar bentrok, tetapi cerminan warisan sosial yang belum juga terurai. Seperti luka yang terus digaruk, ia berdarah ulang, setiap waktu ada pemicu kecil: petasan, senggolan, atau saling ejek di media sosial.

Yang mencemaskan, konflik ini bukan lagi milik pihak yang berseteru. Menurut Kombes Ade, kadang orang yang hanya melintas pun bisa terseret. Ini bukan lagi soal kelompok A versus B, melainkan sebuah pusaran kekerasan yang menyedot siapa pun yang ada di dekatnya.

Mengapa sebuah kawasan bisa "melegalkan" kekerasan sebagai budaya? Apakah ini sekadar soal dendam lama yang diwariskan turun-temurun? Atau ada lubang besar dalam sistem sosial yang tak kunjung ditambal?

Tawuran yang diwariskan seolah menjadi cara warga muda menunjukkan eksistensi, meluapkan frustrasi, atau bahkan mencari hiburan. Ketika ruang kreatif tak tersedia, dan perhatian dari negara hanya sesekali mampir, maka jalanan pun menjadi panggung pelampiasan.

Padahal, akar masalahnya kerap sepele. "Kadang karena petasan, kadang karena cewek," ujar Kombes Ade sebagaimana dilansir https://megapolitan.kompas.com/read/2025/05/11/20540671 .  Hal-hal kecil membesar karena tidak adanya mekanisme penyelesaian konflik yang sehat. Di sisi lain, pembiaran bertahun-tahun menjadikan tawuran seolah ritual musiman yang "biasa". 

Perlu pendekatan yang lebih manusiawi dan mendalam dari sekadar patroli polisi. Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan pendidik harus membangun ruang-ruang pertemuan damai antarkampung yang dulu saling menyerang. Forum pemuda lintas wilayah, kegiatan seni-budaya, bahkan penguatan ekonomi mikro bisa menjadi jembatan perdamaian.

Sementara itu, warga perlu berani menghentikan narasi "ini sudah biasa". Tawuran tidak pernah bisa dimaklumi. Darah, luka, trauma---semua itu tidak bisa diwariskan dengan dalih tradisi. Warga dan Pemerintah tak boleh diam melihat hal tersebut, semua pihak harus saling bahu membahu menghentikan tradisi salah kaprah tersebut.

Epilog

Manggarai layak punya identitas baru. Bukan sebagai wilayah tawuran, tetapi sebagai contoh bagaimana masyarakat urban bisa bangkit dari lingkaran kekerasan. Hari itu bisa dimulai hari ini, jika semua pihak benar-benar mau duduk bersama dan berkata, cukup sudah. Tidak ada kemuliaan dalam melempar batu. Yang mulia adalah ketika satu generasi berani memutus rantai dendam demi kehidupan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun