Di zaman serba digital dan serba cepat seperti sekarang, masyarakat semakin “haus” akan informasi. Mereka ingin tahu apa yang sedang dan akan dilakukan pemerintah—dan bukan hanya ingin tahu, tapi ingin tahu sekarang juga. Sayangnya, keinginan ini seringkali terbentur dengan realitas birokrasi yang kaku dan lamban. Alih-alih cepat dan transparan, urusan informasi publik sering kali terjebak dalam tumpukan prosedur dan formalitas.
Nah, di sinilah Agile Governance muncul bak angin segar. Ia bukan sekadar metode kerja, tapi semacam cara berpikir baru dalam mengelola pemerintahan—lebih gesit, responsif, dan dekat dengan kebutuhan rakyat. Gaya ini memotong jalan panjang birokrasi menjadi jalan pintas yang sah, efisien, dan tetap akuntabel.
Dengan Agile Governance, informasi publik bisa disajikan lebih cepat, tanpa harus menunggu tanda tangan berlapis atau stempel sana-sini. Sistem jadi lebih terbuka, masyarakat lebih dilibatkan, dan kepercayaan publik pun meningkat. Tak hanya itu, gaya ini juga memungkinkan pemerintah untuk lebih adaptif menghadapi perubahan—karena dunia saat ini tidak menunggu siapa pun untuk mengejar ketertinggalan.
Dalam sebuah forum diskusi yang diadakan Komisi Informasi Jawa Barat, Prof. Dr. Didin Muhafidin, pakar kebijakan publik sekaligus Rektor Universitas Al Ghifari, menyampaikan bahwa Agile Governance adalah bentuk pemerintahan yang lincah dan siap menghadapi segala perubahan. Menurutnya, negara kuat bukan hanya soal besar wilayah atau banyaknya rakyat, tapi juga soal kemampuan pemerintahnya beradaptasi dengan cepat.
Prof Didin bahkan mengingatkan bagaimana negara-negara besar seperti Uni Soviet dan Yugoslavia runtuh karena terlalu lamban membaca zaman. Bukan karena musuh dari luar, melainkan karena sistem di dalamnya tak mampu berubah.
Apa Sih Sebenarnya Agile Governance Itu?
Secara sederhana, “agile” berarti lincah atau gesit, sementara “governance” adalah tata kelola. Jadi, Agile Governance adalah cara mengelola pemerintahan yang fleksibel, cepat mengambil keputusan, dan mudah menyesuaikan diri dengan kondisi baru. Tujuannya? Tentu saja untuk menciptakan pelayanan publik yang cepat, adil, murah, dan mudah diakses oleh siapa saja.
Di Indonesia sendiri, sistem birokrasi kita masih dominan menggunakan model lama: hierarkis, penuh aturan, dan serba formal. Di negara-negara Barat, model ini mungkin masih cocok, karena didukung oleh kultur demokrasi yang kuat. Tapi di sini, kita masih berhadapan dengan budaya paternalistik—di mana jabatan dan kedekatan personal kadang lebih penting dari kompetensi.
Maka, pendekatan Agile menjadi semacam jawaban atas masalah klasik ini. Bukan mengganti total birokrasi, tapi menyuntikkan semangat baru agar sistem jadi lebih ringan melangkah.
Keterbukaan Informasi: Mengapa Harus Agile?