Mohon tunggu...
Yoza Setya Febriyanti
Yoza Setya Febriyanti Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Antusias dalam mempelajari hal baru, pengamat yang baik, dan seseorang yang ambisius

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Audit Sudah Beres? Belum Tentu Anda Siap Hadapi Serangan Nyata

11 Mei 2025   14:21 Diperbarui: 11 Mei 2025   14:21 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Audit Sudah Beres? Belum Tentu Anda Siap Hadapi Serangan Nyata (AI-Generated)

Di atas kertas, perusahaan Anda mungkin terlihat sempurna. ISO 27001? Cek. COBIT? Sudah disisipkan dalam SOP. Audit tahunan? Lulus mulus. Tapi mari kita bertanya jujur: apakah sistem TI Anda benar-benar aman, efisien, dan mendukung strategi bisnis? Atau Anda hanya sedang memoles cat pada dinding yang keropos?

Selamat datang di dunia di mana regulasi menjadi panglima, dan kepatuhan menjadi industri. Dunia di mana dokumen lebih penting dari tindakan. Dan di tengah semua itu, makna sejati dari IT Governance terkubur di bawah timbunan kertas dan paranoia audit.

Kepatuhan Telah Menjadi Tujuan, Bukan Alat

Ironi terbesar dalam praktik tata kelola TI saat ini adalah bagaimana "kepatuhan" telah menjadi tujuan utama. Bukan keamanan. Bukan efisiensi. Bukan nilai bisnis. Tapi semata mata: kepatuhan. Asal dokumen lengkap, checklist terisi, dan auditor tersenyum, maka manajemen merasa berhasil.

Framework seperti ISO, COBIT, dan NIST dibuat sebagai panduan. Tapi saat ini, mereka telah disulap menjadi daftar belanja. Organisasi mengejar sertifikasi bukan karena ingin memperbaiki diri, tetapi karena takut kalah bersaing atau kena sanksi. Yang penting punya "lencana", soal implementasi belakangan.

Auditor Jadi Raja, Risiko Jadi Formalitas

Dalam banyak organisasi, diskusi risiko TI lebih banyak dipicu oleh jadwal audit daripada realitas ancaman. Tim akan sibuk menyiapkan dokumen menjelang audit, mengatur ulang akses pengguna, menyusun kembali SOP, dan membuat notulen dadakan.

Setelah audit selesai? Semua kembali ke kebiasaan lama. Password tetap mudah ditebak. Backup tidak diuji. Log aktivitas tidak dianalisis. Karena semua itu tidak diperiksa auditor.

Inilah bukti nyata bahwa kepatuhan tidak selalu identik dengan kesiapan.

Regulasi Meningkat, Tapi Serangan Siber Juga Meningkat

Fakta menarik: dalam dua dekade terakhir, jumlah standar, peraturan, dan pedoman keamanan informasi meningkat drastis. Tapi di saat yang sama, jumlah insiden kebocoran data dan serangan siber juga meningkat tajam.

Apakah ini berarti regulasi gagal? Tidak. Tapi ini membuktikan satu hal: dokumen tidak akan pernah bisa menggantikan budaya.

Anda bisa membuat 300 halaman kebijakan keamanan, tapi jika karyawan Anda masih mengklik tautan mencurigakan, semuanya sia-sia.

Kepatuhan Tanpa Konteks = Kegagalan Terselubung

Banyak organisasi menyalin template kebijakan dari internet, menyewa konsultan untuk membuat SOP siap audit, dan membeli solusi keamanan hanya karena itu bagian dari checklist. Tapi mereka lupa bertanya: apakah semua itu relevan?

Apakah risiko kami memang ada di sana? Apakah kontrol ini memang diperlukan? Ataukah hanya kita pasang demi terlihat "mature" di mata regulator?

Governance yang sejati lahir dari pemahaman risiko dan prioritas nyata. Bukan dari kepanikan menjelang audit.

Industri Kepatuhan: Bisnis yang Menjual Rasa Aman

Mari kita buka fakta: di balik hiruk-pikuk kepatuhan ini, berdiri industri bernilai miliaran dolar lembaga sertifikasi, konsultan compliance, vendor GRC tools, pelatihan ISO dan sebagainya. Mereka punya peran penting. Tapi juga menciptakan ilusi.

Ilusi bahwa dengan membayar dan mengikuti proses, organisasi otomatis menjadi aman dan terkelola. Padahal kenyataannya, banyak yang hanya menjalankan "compliance theater" untuk menyenangkan stakeholder eksternal, tanpa perbaikan nyata di dalam.

Solusi: Ubah Mindset, Bukan Tambah Dokumen

Organisasi yang ingin benar-benar matang secara tata kelola TI harus berhenti mengejar regulasi sebagai tujuan. Fokusnya harus bergeser ke:

  • Pemahaman risiko kontekstual. Tidak semua organisasi butuh kontrol yang sama. Governance harus disesuaikan.
  • Budaya kesadaran dan pelibatan. Semua level karyawan harus paham mengapa aturan dibuat.
  • Audit berbasis diskusi, bukan intimidasi. Auditor seharusnya menjadi partner, bukan pemburu kesalahan.
  • Metrik berbasis dampak, bukan kepatuhan. Ukur apakah risiko menurun, bukan hanya apakah dokumen lengkap.
  • Pemimpin yang peduli substansi. Bukan sekadar menargetkan sertifikasi.

Regulasi Itu Penting, Tapi Tidak Cukup

Tidak ada yang salah dengan regulasi. Tapi saat kita memperlakukan mereka sebagai tujuan akhir, kita kehilangan esensi dari governance itu sendiri. Tata kelola TI seharusnya menjadi sistem hidup yang membantu organisasi membuat keputusan teknologi yang bijak, bukan sekadar alat untuk menghindari sanksi.

Kepatuhan tanpa aksi nyata adalah ilusi. Audit tanpa perbaikan adalah sandiwara. Dan organisasi yang hanya mengejar sertifikat adalah perusahaan yang sedang berjalan di atas tambalan, bukan pondasi.

Sudah waktunya kita bertanya: apakah kita mengelola teknologi, atau hanya mengelola dokumen?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun