Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pertengkaran di Bus

18 November 2017   18:33 Diperbarui: 18 November 2017   18:50 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

"Yoyo! Itu taksinya sudah datang," teriak Mama dari kamar tamu.

"Iya, Ma. Suruh tunggu bentar." Saya balas berteriak dari kamar.

Dalam waktu 2 jam ke depan, saya harus sudah sampai di bandara untuk mengantar turis Indonesia ke Eropa. Perjalanan akan memakan waktu selama 3 minggu. Negara yang akan dikunjungi adalah Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Swiss dan Italia. Itu adalah paket perjalanan standar dari travel di Indonesia untuk bepergian ke Eropa.

"Yoyo pergi dulu ya, Ma." kata saya pamit dan mencium Ibu saya.

"Hati-hati ya, Yo. Kerja yang bener dan jaga nama keluarga," sahut Mama balas memeluk.

"Iya. Titip Cindy ya, Ma. Mau pamit tapi dia udah tidur. Nggak tega ngebanguninnya."

"Cindy is in the good hand. Kamu nggak usah kuatir," kata Mama lagi.

"Dadah Papa," kata saya mencium pipi Papa yang masih asyik dengan korannya.

"Iya, hati-hati," sahut Papa tanpa emosi.

"Pak Yo, daripada nganggur baca koran, mendingan kamu antar Yoyo ke bandara," kata Mama ke suaminya. Semua orang memang selalu memanggil Papa dengan panggilan Pak Yo, termasuk Mama.

"Halah, dia kan sudah besar. Biarin aja dia pergi sendiri. Kita harus mendidik anak kita supaya mandiri," jawab Papa dengan suara ketus.

"Iya, nggak apa-apa. Yoyo sendiri aja. Dadah Mama. Dadah Papa."

Peserta tour jumlahnya 22 orang. Hampir semuanya keturunan Cina, kecuali sepasang suami isteri dan dua ibu-ibu ras melayu yang terlihat sangat modis. Setiap kali membawa turis Indonesia ke Eropa, perbandingannya selalu begitu. Ras Cina selalu jauh lebih banyak dari pribumi. Kadang di dalam hati saya suka menyimpulkan bahwa orang Cina lebih pandai mengatur waktu daripada Orang Melayu. Orang Cina ketika saat bekerja, mereka bekerja dengan keras. Tapi ketika masa liburan, mereka pun berlibur bahkan sudah merencanakan tujuan liburan jauh-jauh hari sebelumnya.

Sementara Orang Melayu, ketika saat bekerja, mereka bekerja. Tapi saat liburan, mereka sering tidak pergi ke mana-mana. Mereka mengisi liburan cuma bepergian di dalam kota. Kalaupun mereka akhirnya memutuskan untuk berlibur, mereka bingung harus pergi ke mana, karena tidak direncanakan sebelumnya. Akibatnya mereka pergi ke tempat yang sama lagi, misalnya ke Bali. Tahun depannya ke Bali lagi. Kalau butuh variasi tahun depannya ke Lombok tapi sebelumnya ke Bali dulu.

Kami semua menumpang pesawat Garuda penerbangan ke Amsterdam. Sebetulnya saya lebih senang kalau pesawat ini landing di Charles de Gaulle, Paris. Sayangnya, pesawat Garuda dari Jakarta hanya mendarat di Amsterdam, jadinya kami tidak punya pilihan lain.

Buat para tour leader, Paris adalah kota paling strategis untuk menjadi base sebuah perjalanan di daratan Eropa Barat karena ada banyak sekali spot-spot menarik di kota ini untuk mengisi waktu kosong. Jadwal perjalanan yang sudah ditentukan oleh travel di Jakarta sering terkesan asal-asalan dan tidak sistematis sehingga banyak waktu kosong yang tentu saja berakibat membuat para turis merasa bosan.

Check in berjalan lancar. Bagasi juga tidak ada yang over weight. Baru saja selesai mengabsen seluruh peserta dan membagikan boarding pass, suara panggilan boarding langsung terdengar.

"Mohon perhatian Anda, para penumpang pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA-278...."

Saya mengatur member group untuk berbaris dan berjalan menuju ke arah pesawat. Setelah membantu memasukkan barang bawaan ke lemari kabin, saya cek satu persatu apakah semuanya sudah memakai seat belt. Hal ini kelihatannya sepele tapi perlu, karena banyak di antara peserta yang sudah lumayan sepuh. Sering saya mendapat pengalaman di mana para manula lupa memakai sabuk pengamannya.

Waktu berjalan menyusuri lorong antara bangku penumpang, seorang anggota group yang bernama Pak Anton sekonyong-konyong mencengkram pergelangan tangan saya.

"Ya, Pak Anton? Ada yang bisa dibantu?" tanya saya.

"Yoyo, kamu yakin pesawat ini aman?" tanyanya dengan suara terdengar gugup.

"Tenang, Pak Anton. Dari semua alat transportasi penumpang, pesawat terbanglah yang paling aman," kata saya.

"Saya takut terbang. Saya takut pesawat ini jatuh. Saya belum siap mati," kata Pak Anton lagi dengan suara panik.

Melihat kondisi Pak Anton, saya duduk di sebelahnya yang kebetulan kosong. Sambil mengenggam tangannya, saya berkata dengan lembut, "Pak Anton. Bapak punya 2 pilihan; mau cemas atau tetap tenang?"

Pak Anton tidak menjawab, rupanya dia belum menangkap ke mana arah pembicaraan saya.

"Tapi Bapak harus mengerti, apapun pilihan Bapak,  pesawat ini tetap akan terbang juga. Jadi saya anjurkan Bapak untuk memilih tenang." Saya melanjutkan.

"Iya, saya memilih tenang. Kamu bisa bantu saya, Yo?"

"Pak Anton mau saya ajarkan pernapasan segitiga? Biasanya cara ini selalu ampuh untuk memberi ketenangan."

"Mau. Ajarkan saya sekarang juga," jawab Pak Anton tidak sabar.

"Okay. Coba Bapak tarik napas dengan hidung selama 10 detik, kemudian tahan 10 detik, selanjutnya hembuskan dengan mulut juga selama 10 detik. Lakukan dengan ritme yang sama. Yuk, kita coba bareng-bareng, ya?"

Lalu kami berdua melakukan pernapasan segitiga untuk menenteramkan hati. Ternyata cara ini cukup efektif. Pak Anton mulai merasa dirinya lebih tenang. Saking senang dengan hasilnya, dengan semangat menggebu-gebu dia melakukannya berulang kali tanpa putus.

"Metode kamu ternyata ampuh juga, Yo," katanya dengan suara mantap.

"Akan lebih ampuh lagi kalau dilengkapi dengan doa, Pak Anton. Jadi ketika Bapak menghembuskan napas dari mulut, iringi dengan ucapan, "Ya Tuhan, mohon buanglah semua kecemasan dan berilah hambaMu ketenangan. Amin.'" kata saya lagi.

Percakapan dengan Pak Anton ternyata didengarkan juga oleh anggota rombongan yang lain. Tanpa diminta beberapa di antaranya mencoba mempraktikkan pernapasan segitiga ini. Saya tersenyum melihat mereka. Memang ketika usia bertambah, manusia akan menjadi lebih cemas dan lebih sensitif, itu sebabnya perlu ada orang yang selalu mensupport mereka agar masa tua bisa dijalani dengan tenteram dan nyaman.

"Wah, pakai doa ternyata  lebih manjur, " kata Pak Anton lagi. "Dari mana kamu belajar semua ini, Yo?"

"Dulu saya juga takut terbang, Pak. Teman saya sekampus yang mengajarkan metode ini," sahut saya.

"Wuuuu...! Ayo pesawat! Silakan terbang. Saya tidak takuut!!!" Saking senangnya Pak Anton berteriak cukup keras sehingga beberapa penumpang menoleh ke arah kami.

Benar saja! Ketika pesawat take off, Pak Anton mampu menghadapinya dengan tenang. Walaupun wajahnya agak sedikit pucat, ketika pesawat sudah stabil dan lampu tanda seat belt boleh dilepas, dia sudah tenang sepenuhnya. Saya lega bukan main. Semoga ini menjadi permulaan  yang baik dari rangkaian perjalanan tour kami.

Waktu penerbangan memakan waktu sekitar 15 jam dengan transit setengah jam di Dubai. Untuk membunuh waktu, saya melahap buku Pramudya Ananta Toer yang berjudul Gadis Pantai. Sebuah kisah tentang gadis di bawah umur yang dinikahi oleh seorang Bangsawan Jawa untuk dijadikan selir. Saat pernikahan, bangsawan itu sendiri tidak hadir sehingga tempatnya diwakilkan oleh sebuah keris sebagai representasi kehadiran mempelai pria. 

Keesokan harinya, kami mendarat di Amsterdam. Bandar Udara Internasional Schiphol, Amsterdam, adalah bandara utama di Belanda  yang terletak di selatan. Schiphol adalah salah satu dari bandara di Eropa yang bersaing menjadi pintu masuk utama ke benua Eropa. Pesaing beratnya adalah Bandara Heathrow di London dan Bandara Charles de Gaulle di Paris.  Pada tahun 2004, Schiphol meraih urutan ke empat di Eropa dengan jumlah penumpang lebih dari 42,5 juta orang.

"Yoyo!" Tepat di Meeting Point, sebuah suara memanggil.

"Hello Torro." Saya menghampiri orang itu dan memeluknya dengan hangat.

Torro adalah supir bus yang akan mengantar kami selama di Eropa. Dia orang Belanda keturunan imigran dari Spanyol. Usianya sudah 55 tahun tapi badannya, walaupun gemuk, masih terlihat tegap, sehat dan gesit. Setiap membawa rombongan turis, saya selalu menyewa bus darinya. Dia punya armada penyewaan bus yang bisa disewa termasuk dengan supirnya. Tapi entah kenapa, kalau saya yang menyewa, Torro selalu mengajukan diri untuk sekalian jadi supirnya.

"Where do you park your bus?" tanya saya.

Sambil merebut sebagian bawaan saya, Torro langsung berjalan, "Follow me!"

Kami tidak langsung menuju hotel karena hari masih pagi. Waktu check in di hotel dimulai pukul 2. Kalau kita memaksa untuk check in sebelum jam itu, pihak hotel akan mengenakan tambahan biaya separuh dari harga normal kamar perhari. Untuk itulah dari bandara kami langsung menuju Volendam, sebuah kampung nelayan yang sangat terkenal bagi wisatawan.

Dalam perjalanan ke Volendam, saya menceritakan sejarah berdirinya persekutuan negara-negara Eropa dalam Perjanjian Schengen. Perjanjian ini merupakan perjanjian yang sangat penting karena telah merombak tatanan yang selama ini dianut oleh negara-negara di Eropa Barat. Misalnya soal penghapusan pengawasan perbatasan antar-negara.

Yang paling menghebohkan tentu saja aturan kebijakan bersama untuk izin masuk jangka pendek yaitu satu visa untuk banyak negara; visa Schengen. Perjanjian ini juga mencakup penyelarasan kontrol perbatasan eksternal dan kerjasama polisi lintas batas.

Kenapa perjanjian ini dinamakan Perjanjian Schengen? Karena penandatanganan perjanjian tersebut dilakukan di sebuah desa kecil di Luxembourg yaitu Desa Schengen.

"Kalau tempat belanja yang bagus di mana?" Tiba-tiba Ibu Ratna, salah seorang dari ibu-ibu melayu yang modis tadi bertanya. Rupanya dia bosan mendengar topik pembicaraan saya.

"Oh, ada banyak, Bu. Tapi yang paling terkenal tentu saja Champs-lyses di Paris. Besok kita pergi ke sana," jawab saya sambil tersenyum ramah.

Satu hal lagi tentang turis Indonesia. Kebanyakan dari semua yang pernah saya antar, jarang sekali yang menyukai sejarah. Misalnya ketika menerangkan tentang menara Eiffel, saya menceritakan sejarah bagaimana Gustave Eiffel dengan jenius membuktikan bahwa kekuatan besi tidak kalah dengan baja. Saya mengira para turis akan kagum ketika mengetahui bahwa menara Eiffel itu dibuat dari besi dan bukan baja. Tapi apa reaksi mereka? Tak ada satupun yang peduli. Mereka terlalu sibuk dengan kamera dan gadgetnya untuk berselfie.

"Saya tidak hanya mau ke sana tapi juga mau ke...." Kata Ibu Ratna lagi sambil mengeluarkan catatan dan mengambil kacamata bacanya yang berlensa tebal.

Melihat tarikan muka Si Ibu, saya mulai merasa was-was dan mempunyai firasat sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi.

"Saya mau pergi ke Roermond, Bi...bicester dan La valle Village...," kata Ibu itu dengan pelafalan yang aneh. Tentu saja hal itu bisa dimengerti karena memang tak mudah melafalkan kata dari bahasa yang tidak kita kuasai.

"Ketiga tempat itu tidak ada dalam daftar tujuan perjalanan kita. Tapi nanti bisa kita pikirkan jalan ke luarnya," jawab saya.

"Harus bisa! Pokoknya saya tidak mau tau, kita harus pergi ke tempat yang saya sebutkan tadi." Tiba-tiba Si Ibu membentak saya dengan suara murka.

"Ibu tidak usah marah-marah. Saya sudah bilang kita akan cari pemecahannya."

"Heh! Kamu ngomong yang sopan, ya? Kamu tidak tau siapa saya?" bentak ibu itu lagi,

"Maaf, Ibu Ratna. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi tiga tempat yang Ibu maksud memang tidak terdaftar dalam list perjalanan kita."

"Saya tidak peduli! Saya ini anggota DPR! Kalau saya bilang mau ke sana, kita harus ke sana!"

Saya kehabisan kata-kata mendengar omongan Ibu ini. Semua penumpang juga langsung ikut tegang. Ada yang berkasak-kusuk tapi ada juga yang sibuk dengan tidurnya.

"Yoyo!" Tiba-tiba Torro memanggil saya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.

"Yes, Torro?" Torro sudah sangat sering menemani saya mengantar turis Indonesia sehingga dia bisa membaca apa yang terjadi.

"Je peux t'aider les prendre La Valle Village et Roermond. Mais Bicester? Oublie!" kata Torro berbahasa Perancis karena dia tidak ingin orang lain mengerti ucapannya.

"Merci beaucoup, Torro," sahut saya sambil menepuk lengannya yang penuh bulu.

Saya suka mempunyai Torro sebagai partner. Dia selalu menawarkan solusi setiap kali saya mempunyai masalah. Tawaran Torro membuat sebagian tuntutan Ibu ini bisa kami penuhi.

Saya menoleh pada ibu tadi, "Baiklah, Ibu. Walaupun ketiga tempat itu tidak ada dalam list tapi Pak Torro berbaik hati mau mengantarkan kita ke sana."

"Bagus! Supir aja lebih pintar dari kamu. Dia langsung kasih solusi. Nggak kayak kamu sedikit-sedikit bilang tidak bisa," kata Si Ibu itu lagi dengan suara judes.

"Tapi Pak Torro hanya akan mengantarkan kita ke Roermond dan La valle Village. Tidak ke Bicester," lanjut saya lagi.

"Kenapa tidak bisa? Kami kan sudah bayar?"

"Kita bisa ke Roermond karena tidak jauh dari sini. Tempatnya di perbatasan Jerman dan Belanda. Letaknya lebih dekat ke kota Dsseldorf, Jerman." Saya mencoba menulikan telinga saya dari suara ibu itu.

Semua orang dengan hikmad mendengarkan penjelasan saya.

"Sedangkan La valle Village ada di pinggiran kota Paris. Dengan bus ini kita bisa tempuh dalam waktu kira-kira 1 jam 20 menit dari Paris."

"Lalu Bicester kenapa tidak bisa? Bilang saja kalau kamu mau minta uang tambahan?" Dengan ketus Sang Ibu terus menyerang saya.

"Bicester letaknya di Inggris. Tepatnya di Oxfordshire, di luar kota London. Dan dalam tour ini, Inggris tidak terdaftar sebagai negara tujuan," sahut saya berusaha setenang mungkin.

"Kamu harus mengusahakan ke Bicester!" kata perempuan itu lagi dengan suara meninggi.

"Saya bisa mengusahakan tujuan yang tak ada dalam list asal tidak jauh dari rute yang kita lalui. Inggris terlalu jauh dari sini."

"Saya tidak peduli. Pokoknya kita harus ke Bicester!" kata Ibu itu ngotot.

"Sekali lagi, maaf, Ibu. Inggris yang tidak termasuk dalam keanggotaan Schengen. Jadi kalau mau ke Inggris kita semua harus punya visa Inggris dan visa itu hanya bisa diurus di Jakarta," saya berusaha membuat ibu itu mengerti dan  menerangkan panjang lebar dengan suara sabar.

"Saya mau ke Bicester!!!" pekik perempuan itu. "Kamu harus bisa mengusahakannya, saya ini anggota DPR, Tauk!!!!"

Kali ini seluruh penumpang ribut. Hampir semuanya membela saya. Tapi Ibu DPR tetap tak mau mengalah. Dia langsung memaki-maki semua orang sambil menyebut pejabat anu lalu pejabat anu lagi. Tampaknya banyak sekali pejabat yang dia kenal.

Ciiiiit! Bus berhenti. Cara berhentinya mendadak sehingga hampir semua penumpang terjerunuk ke depan.

"Waaaa...!!!" Seluruh penumpang berteriak karena mengira bus akan tabrakan.

Torro menengok ke belakang ke arah rombongan lalu nyengir dan berkata, "Sorry. And welcome to Volendam."

Kami sudah sampai di Volendam. Tentu saja saya mengerti maksud Torro. Dia sengaja menginjak rem secara mendadak sebagai strategi untuk menyudahi kegaduhan tadi.  Dan saya pun tidak mau menyia-nyiakan momentum ini untuk meredakan suasana, "Bapak-bapak dan ibu-ibu, kita sudah sampai di Volendam. Silakan turun. Mari kita menikmati Kampung Nelayan yang tekenal ini."

Dan pertengkaran pun berhenti. Semua penumpang turun dan berpencar menuju tempat-tempat yang menarik buat mereka.

Ketika melewati saya, Pak Aditya, salah seorang anggota group yang berasal dari Kalimantan bertanya dengan suara perlahan, "Mbak Yoyo, sebetulnya ketiga tempat yang ingin didatangi Ibu itu tempat apa sih?"

"Oh, Bicester, La valle Village dan Roermond adalah factory outlet, Pak Adit," jawab saya.

"Factory outlet?"

"Iya, Pak Adit. Pusat perbelanjaan seperti Champs Elyses di Paris, Fifth Avenue di New York. Kalau di Singapore kira-kira seperti Orchard Road," jelas saya lagi.

"Cuma pusat perbelanjaan saja kok ngotot banget mau ke sana? Dasar perempuan!" kata Pak Aditya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menuruni anak tangga bus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun