Mohon tunggu...
Yossie Fadlila Susanti
Yossie Fadlila Susanti Mohon Tunggu... Guru - Pendidik PAUD

Travelling susur tempat bersejarah seperti candi-candi peninggalan nenek moyang, bangunan kuno, dan mengulik sejarahnya adalah hal yang sangat saya sukai disamping profesi sebagai pendidik anak usia dini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Subuh Berdarah di Bulan Ramadan, Sebuah Catatan Pilu Masa Lalu

16 Mei 2023   19:57 Diperbarui: 20 Mei 2023   14:08 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Freepik

            "Bismillahirrahmanirrojim ..." gumam  Darmawan sambil memejamkan mata. Baru kali inilah ia memberanikan diri kembali ke desanya, setelah hampir 37 tahun ia meninggalkan desa tempat kelahirannya. Desa yang sejuk, asri, tempatnya bermain bersama teman-teman seusianya. Bermain di sawah, mencari keong, mandi di sungai atau sekedar membantu Pakde Parmo mengusir burung-burung yang memakan buliran padi yang sudah menguning di sawahnya.

            "Hoee ... hoeeee... hoeeee ... husssshh ... husshhhh ...," teriak Darwawan dan teman-temannya sambil menarik tali,  membunyikan deretan kaleng-kaleng bekas yang diikatkan pada sebuah tali panjang,  untuk mengusir burung.

            "Klonthangg ... klonthaaang ... klontaannng ....  ha ha ha .....," suara keras kaleng diikuti gelak tawa Darwawan dan teman-temannya yang masih anak-anak kala itu riang. Prio, Sholeh, Dullah, Asnawi, Hamdani, dan Reno, mereka adalah sahabat masa kecil Darmawan

            "Astaghfirullahal adziiim !!!" Darmawan berteriak sambil menutupkan kedua belah telapak tangannya ke wajahnya.

            Tetiba, ia kembali peristiwa itu!  Darmawan tak kuasa mengendalikan ingatannya saat sebuah rel kereta api tepat berada di depan mobilnya.

            Diin ... diiinn .. diin ... terdengar riuh suara klakson motor dan mobil dari arah belakang. Beberapa kendaraan tertahan tepat di belakang mobil  Darmawan, gegara ia berhenti mendadak di depan perlintasan rel kereta api. Saat itu bukanlah jadwal kereta api melintas di area itu. Jadi palang pintu perlintasan dibiarkan terbuka.

            "Pak, ada apa? Apa ada yang perlu dibantu?" seorang penjaga perlintasan menghampiri mobil  Darmawan.

            "Mas, Mas ... yuk jalan lagi, itu kendaraan di belakang kita sudah tak sabar untuk melewati rel ini," ucap Septia lembut. Ia tak mau suaminya makin gugup dengan situasi saat itu.

            "Eh, iya maa .. maaf Pak, tidak ... tidak ada masalah dengan mobil saya kok," jawab  Darmawan kepada penjaga palang pintu terbata. 

             Ia berusaha menenangkan dirinya. Dan kembali melanjutkan perjalanan melewati rel kereta api yang melintasi desa itu.

            "Mah, aku ingat, di depan sekira 200 meter lagi ada sebuah mushala kecil, kita berhenti dan shalat di situ saja ya," ucap  Darmawan kepada Septia, istrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun