Mohon tunggu...
Yosi Prastiwi
Yosi Prastiwi Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga

Hobi nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Istri Berpenghasilan Tinggi, Siapa yang Diuntungkan?

12 Desember 2020   16:33 Diperbarui: 29 April 2021   10:31 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruas jalan di dusun Sidokerto jadi pasar dadakan tiap Minggu pagi sejak pandemi. Semua penjualnya perempuan. Foto pribadi.

Biaya hidup dan sekolah anak-anak ke depan semakin meningkat. Jika suami-istri sama-sama bekerja, tentu lebih ringan dijinjing cicilan dan tagihan bulanan.

Sayangnya, definisi membantu ini dimanfaatkan oknum suami untuk menjadikan istri sapi perahan. Suami seperti ini justru berleha-leha dalam bekerja. 

Miskin harta, miskin inisiatif, gengsi tinggi, pilah pilih pekerjaan dan mengandalkan gaji istri semata. Kejamnya, mereka tak tahu diri. Menghabiskan pendapatan istri untuk urusan di luar kebutuhan keluarga. Drama sekali bukan?

Ada banyak situasi dalam rumah tangga orang lain yang kita tak paham kebenarannya kecuali dari salah satu pihak aja.  Kecuali anda konselor. Anda mungkin bisa mendapatkan cerita secara utuh.

Di antara pro-kontra istri bergaji tinggi daripada suami, hari ini kita berada di situasi abnormal. Masih bekerja saja sudah beruntung. Tak peduli suami atau istri. Asal keluarga utuh dan tercukupi kebutuhannya.

Setahun ini menjadi masa adaptasi panjang bagi sebagian keluarga. Pandemi dan resesi secara perlahan membuat definisi bekerja tidak lagi dominan diperankan laki-laki atau suami. Masa bodoh soal gaji siapa yang lebih tinggi. Masih berpenghasilan saja sudah disyukuri.

Di salah satu dusun di Yogyakarta, saya menemukan para perempuan yang sebelumnya mencukupkan diri di rumah, kali ini berdaya dari rumah. Pandemi mengubah situasi ekonomi keluarga. Para suami mendapat PHK atau pekerjaannya tidak selancar sebelumnya.

Alih-alih memikirkan pekerjaan yang sesuai passion atau latar belakang pendidikan, para perempuan ini memilih bangkit. Mereka memilih mengerjakan apa saja yang baik, menghasilkan dan minim meninggalkan keluarga. Memproduksi makanan ringan dan berjualan salah satunya. Pasar tiban di Sidokerto menjadi lokasi pemasaran mereka.

Dalam situasi di atas, istri berpenghasilan lebih tinggi bukan menunjang gaya hidup siapapun. Mereka hanya menolak tumbang dan memilih berdaya. Semangat ini semoga menginspirasi para pencari nafkah keluarga.

Tak masalah penghasilan istri lebih tinggi, asal suami paham kewajiban menanggung nafkah tetap di pundaknya bukan dari tangan istri.

Baca: Agar Wanita Karir Lebih Hemat Energi Urus Rumah Tangga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun