Di era media sosial seperti sekarang, narsistik menjadi satu sisi yang mendapat ruang cukup banyak untuk tampil. Pada satu titik, ia adalah gambaran sikap percaya diri, yang bisa membawa serta suasana positif.
Tapi, ketika sisi narsistik menjadi lepas kendali, kebanggaan dan rasa percaya diri justru rawan berubah jadi arogansi, antikritik, dan sikap "tone deaf". Akibatnya, suasana positif yang awalnya hadir, pelan-pelan berubah menjadi toksik.
Fenomena ini ganjil, tapi turut mewarnai dinamika relasi, termasuk dalam sebuah komunitas seperti di Kompasiana. Di sini, saya menjumpai, seberapa parah sisi narsistik mengganggu suasana interaksi.
Meski pelakunya hanya oknum, sisi narsistik yang dihadirkan memaksa saya (dan beberapa Kompasianer lain) untuk ikut bereaksi. Bukan karena ingin terlihat keren, tapi karena sikap sang oknum sudah kelewat batas.
Ada dua momen di sini, yang pada gilirannya menjadi pemicu. Pertama, pertanyaan sang oknum pada admin Kompasiana di grup komunitas, soal artikelnya yang jarang mendapat label tertentu.
Pertanyaan seperti ini awalnya masih wajar, karena hampir semua Kompasianer punya rasa penasaran soal label artikel tersebut. Masalahnya, ketika pertanyaan itu lalu datang bertubi-tubi seperti pesan "spam", rasanya  sudah berlebihan.
Kalau kualitas tulisannya oke dan memang konsisten menekankan objektivitas atau minimal kemurnian opini, mungkin pertanyaan itu akan mendapat respon seperti seharusnya. Tanpa perlu protes pun, isi tulisan yang kita tayangkan sudah berbicara.
Jika itu sebuah artikel atau karya tulis, ratusan bahkan ribuan kata di dalamnya jelas tidak disusun tanpa maksud dan tujuan.
Pada momen ini, saya dan beberapa Kompasianer kompak merespon polah sang oknum Kompasianer senior, karena sisi narsistik (dalam takaran tidak wajar) sudah ikut ambil bagian. Ini tidak lebih dari sikap "merasa bisa atau layak" yang terlalu subjektif.
Secara pribadi, saya terpicu untuk merespon, karena sang oknum mulai menekankan posisinya sebagai senior, dan menganggap saya "anak baru yang kurang ajar pada senior". Berhubung ini termasuk serangan "bully", yang berkaitan dengan titik trauma lama, saya tidak bisa diam saja.