Tapi, ketika sisi narsistik menjadi lepas kendali, kebanggaan dan rasa percaya diri justru rawan berubah jadi arogansi, antikritik, dan sikap "tone deaf". Akibatnya, suasana positif yang awalnya hadir, pelan-pelan berubah menjadi toksik.
Fenomena ini ganjil, tapi turut mewarnai dinamika relasi, termasuk dalam sebuah komunitas seperti di Kompasiana. Di sini, saya menjumpai, seberapa parah sisi narsistik mengganggu suasana interaksi.
Meski pelakunya hanya oknum, sisi narsistik yang dihadirkan memaksa saya (dan beberapa Kompasianer lain) untuk ikut bereaksi. Bukan karena ingin terlihat keren, tapi karena sikap sang oknum sudah kelewat batas.
Ada dua momen di sini, yang pada gilirannya menjadi pemicu. Pertama, pertanyaan sang oknum pada admin Kompasiana di grup komunitas, soal artikelnya yang jarang mendapat label tertentu.
Pertanyaan seperti ini awalnya masih wajar, karena hampir semua Kompasianer punya rasa penasaran soal label artikel tersebut. Masalahnya, ketika pertanyaan itu lalu datang bertubi-tubi seperti pesan "spam", rasanya sudah berlebihan.
Kalau kualitas tulisannya oke dan memang konsisten menekankan objektivitas atau minimal kemurnian opini, mungkin pertanyaan itu akan mendapat respon seperti seharusnya. Tanpa perlu protes pun, isi tulisan yang kita tayangkan sudah berbicara.
Jika itu sebuah artikel atau karya tulis, ratusan bahkan ribuan kata di dalamnya jelas tidak disusun tanpa maksud dan tujuan.
Pada momen ini, saya dan beberapa Kompasianer kompak merespon polah sang oknum Kompasianer senior, karena sisi narsistik (dalam takaran tidak wajar) sudah ikut ambil bagian. Ini tidak lebih dari sikap "merasa bisa atau layak" yang terlalu subjektif.
Secara pribadi, saya terpicu untuk merespon, karena sang oknum mulai menekankan posisinya sebagai senior, dan menganggap saya "anak baru yang kurang ajar pada senior". Berhubung ini termasuk serangan "bully", yang berkaitan dengan titik trauma lama, saya tidak bisa diam saja.
Pada masa lalu, saya pernah kena "bully" cukup parah, dengan ciri oknum perundung, yang antara lain punya warna kepribadian mirip. Pengalaman pahit itu menciptakan titik dan reaksi trauma cukup tegas: lawan. Karena itulah, saya terpaksa merespon.
Uniknya, insiden pertama ini langsung selesai, ketika saya menampilkan tautan akun profil Kompasiana saya di grup, sambil menambahkan pesan:
"Maaf kalau akun Kompasiana saya kurang 'baru'."
Bisa jadi, akun Kompasiana saya dianggap masih baru, karena belum berumur 10 tahun. Bisa juga, saya relatif tidak dikenal karena tinggal di daerah, bukan wilayah dalam lingkaran pusat.
Situasi pun lalu tenang sejenak. Sang oknum Kompasianer senior bahkan bisa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Pada prosesnya, saya sempat diberi tahu Kompasianer senior lain, soal bagaimana kepribadian sang oknum. Dijelaskan, sang oknum memang punya kecenderungan narsistik, atau istilah keritingnya Narcissistic Personality Disorder (NPD). Kalau sampai kambuh lagi, anggap saja angin lalu.
Masukan ini lalu menjadi catatan. Tapi, saya merasa, tetap ada batas ketika respon harus diberikan, yakni saat perilaku atau perkataan sudah masuk level "keterlaluan".
Pada prosesnya, momen "keterlaluan" itu datang belum lama ini. Tepatnya, saat suasana Indonesia sedang tegang akibat demo besar-besaran di akhir bulan Agustus silam. Di sini, tanpa dinyana, sang oknum Kompasianer senior kembali berulah.
Dengan entengnya, beliau melempar pertanyaan, "dimana gawatnya?", karena merasa diri aman. Sekali lagi, saya dan beberapa Kompasianer lain terpaksa merespon, kali ini dengan rasa jengkel, karena sisi tidak peka yang ditampilkan sudah cukup keterlaluan dalam situasi seperti itu.
Secara pribadi, saya memilih ikut merespon, karena pada pagi hari, di hari yang sama, saya kebetulan mengikuti ibadah di gereja, dengan tentara menjaga gedung gereja. Dari sini saja,sudah tergambar bagaimana situasinya.
Bukan berarti takut, ini soal kewaspadaan. Ketika momen ibadah dijaga aparat militer, berarti ada kewaspadaan lebih dari biasanya. Tidak perlu punya titel profesor untuk bisa memahami hal dasar seperti ini.
Secara umum, waspada menjadi satu sikap yang logis dalam situasi seperti itu. Apalagi, demo kali ini sampai menimbulkan korban jiwa dan luka, ditambah kerusakan di sejumlah daerah.
Jadi, sudah jelas dimana gawatnya.
Sebenarnya, dua pengalaman ini benar-benar absurd. Bukan hanya karena masalah NPD seorang oknum, tapi juga karena adanya paradoks reaksi yang kadang terlupakan.
Penderita NPD memang punya keinginan besar untuk bisa terus mendapat sorotan, bahkan dalam hal remeh. Karena itu, sikap cuek kadang bisa dilihat sebagai penangkal alami.
Tapi, berhubung orang-orang dalam kondisi ini cenderung berani berkata atau bersikap kelewat batas, mendiamkan saja justru bisa membuatnya semakin menjadi-jadi.
Seperti halnya orang depresi, penderita NPD juga tidak dalam kondisi cukup baik untuk bisa memahami kondisi orang lain, apalagi lingkungan sekitar. Jadi, penting untuk kita menggunakan pendekatan lebih adaptif.
Dalam artian, ada saatnya diam dan ada saatnya juga bereaksi, khususnya jika perilaku atau perkataan sudah kelewat batas. Bukan berarti boleh terus bersikap reaktif, ini hanya sebentuk sikap menjaga diri dari hal-hal toksik, termasuk perilaku menyimpang seperti NPD, karena orang paling pertama yang bisa melindungi kita adalah diri kita sendiri.