Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Aturan Perusahaan, Hanya untuk Pekerja?

3 Februari 2023   23:07 Diperbarui: 3 Februari 2023   23:23 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul di atas adalah pertanyaan yang muncul di pikiran saya, ketika membahas soal Aturan Perusahaan. Disadari atau tidak, pekerja (khususnya tingkat menengah ke bawah) memang jadi "bintang utama" di sini.

Tapi, kalau soal wujud dan penerapannya, aturan yang ada umumnya hanya berlaku buat pekerja. Bos tak masuk hitungan, meski secara teknis dia juga layak disebut sebagai karyawan atau pekerja.

Sebagai contoh, di satu tempat magang saya dulu, ada yang menerapkan hukuman denda potong gaji cukup besar jika terlambat masuk kerja. Suatu saat, saya mendadak kedatangan tamu di pagi hari.

Untuk mengantisipasi kemungkinan terlambat, saya melapor ke bos. Tanpa basa-basi, bos saat itu langsung memberitahu kalau saya kena potong gaji. Nominalnya tidak disebut, tapi langsung kelihatan dari kiriman di tanggal gajian yang berkurang sepuluh persen.

Potongan itu cukup besar buat saya, tapi jadi satu ganjalan, karena pada hari itu, saya justru tidak terlambat. Memang,  aturan seperti ini bagus untuk menegakkan disiplin, tapi bisa jadi kontraproduktif kalau tak diimbangi dengan objektivitas.

Selain urusan denda, sebenarnya masih banyak fenomena "ganjil" lain yang kadang muncul, seperti menahan ijazah pekerja yang memutuskan mundur atau pindah tempat kerja.

Secara etis, ini sebenarnya tidak pantas, karena bisa menghambat kesempatan kerja, khususnya yang membutuhkan ijazah.

Ada juga budaya kerja yang cenderung mengabaikan batasan-batasan seperti kehidupan pribadi dan waktu kerja wajar sesuai undang-undang yang berlaku.

Fenomena ganjil ini memang menyalahi aturan yang berlaku, tapi jadi satu kebiasaan. Kadang, ini jadi satu aturan tak tertulis, terutama pada tempat kerja yang tidak punya perjanjian kerja tertulis.

Berhubung aturan-aturan itu biasa diberlakukan bukan untuk bos atau atasan, satu-satunya yang bisa dilakukan hanya menerima. Sekalipun terasa aneh, terutama di awal, menerima adalah bagian dari sikap profesional.

Paling tidak, sikap itu layak dipertahankan sampai kita selesai bekerja di tempat itu. Setelah "lulus" dari sana, terserah.

Di sisi lain, pengalaman membingungkan itu kadang bisa membuat hubungan antara mantan bos dan pekerja jadi hambar. Maklum, aturan "aneh" yang dulu ada kadang menciptakan rasa canggung bahkan trauma, khususnya bagi yang mengalami situasi kurang mengenakkan

Makanya, meski respek kadang masih ada, jaga jarak menjadi satu sikap paling umum. Daripada jadi sasaran tembak, atau  mengalami hal kurang mengenakkan seperti dulu, lebih baik hati-hati.

Bukannya tak mau menjaga silaturahmi  ini hanyalah satu rangkaian sebab akibat. Aturan yang tidak biasa menghasilkan reaksi tidak biasa, seperti halnya aturan yang dijalani.

Kalau aturannya wajar, rasa hormat akan datang dengan sendirinya, bahkan jauh setelah pensiun, karena hubungan profesional dulu juga diikuti banyak memori berkesan, bahkan teladan yang memanusiakan.

Bekerja, disamping menjadi satu sarana mencari cuan, juga menjadi satu cermin bagaimana baik-buruknya satu hubungan, dan bagaimana menghormati batasan antara kehidupan profesional dan pribadi.

Sesuatu yang masih belum membudaya di Indonesia, di tengah masih suburnya "hustle culture" dalam dunia kerja kekinian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun