Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Melihat Klitih dan Logika Ajaib Untuknya

9 April 2022   00:59 Diperbarui: 9 April 2022   12:08 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi klitih (Geotimes.id)

Menyusul viralnya kasus klitih yang memakan korban jiwa di Yogyakarta baru-baru ini, ada banyak pendapat yang muncul tentangnya. Audiensnya bukan hanya di tingkat daerah, tapi sudah tingkat nasional.

Sebagai seorang ber-KTP Sleman, Yogyakarta, yang secara total sudah belasan tahun tinggal di sini, sebetulnya saya tidak kaget, bahkan cenderung malas membahasnya. Maklum, masalah satu ini sudah ada sejak lama, terjadi berulang, dan progresnya cenderung begitu-begitu saja.

Ada kasus, tapi tak ada penindakan dengan efek jera, karena para pelaku klitih masih dibawah umur. Ditambah lagi, aksi kriminal ini hanya dianggap sebagai "kenakalan remaja".

Tapi, pada akhirnya saya memutuskan untuk menulis soal masalah lawas ini, karena ada kesan tumpang tindih, antara pendapat Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan pihak terkait soal penanganan klitih.

Saya sebut demikian, karena di saat sang gubernur dengan tegas menginstruksikan tindakan sesuai hukum yang berlaku, pihak lainnya malah mencoba bermain logika, yang lebih layak disebut "logika ajaib".

Soal penindakan sesuai hukum pada pelaku klitih, pro kontra sudah pasti muncul. Maklum, ini menyangkut masa depan generasi muda.

Masalahnya, jika aksi klitih yang dilakukan sampai memakan korban jiwa, jelas harus ada tindakan tegas. Apalagi, tindakan ini dilakukan secara acak, hanya untuk unjuk eksistensi.

Jika masih dibiarkan saja, itu sama saja dengan membiarkan jiwa-jiwa berkecenderungan psikopat tumbuh subur, di tempat yang ironisnya dikenal masyarakat daerah lain, sebagai daerah dengan masyarakat berkarakter kalem.

Apa karakter kalem itu masih mau dibanggakan, jika klitih masih saja dibiarkan merajalela?

Di sisi lain, saya juga agak terheran-heran dengan "logika ajaib" yang dipakai pihak terkait, dalam hal ini Pemda dan Polda, terkait tindakan tegas untuk aksi klitih.

Logika ajaib itu bisa dilihat, dari viralnya kasus klitih baru-baru ini. Beritanya bisa langsung viral dan menasional, sampai memantik reaksi gubernur dan pihak terkait. Padahal, kasus-kasus sebelumnya tak pernah sampai seheboh ini.

Ternyata, selain karena memakan korban jiwa, korban aksi klitih ini adalah anak seorang pejabat daerah lain, yang kebetulan memang sedang studi di Yogyakarta.

Pertanyaannya simpel, apa memang harus menunggu sampai anak seorang pejabat jadi korban, baru ada respon dan tindakan tegas?

Ini jelas satu kebiasaan buruk. Kalau masih saja dilanjutkan, akan ada kecemburuan sosial, dan keraguan apakah tindakan setegas ini juga bisa diambil, jika korbannya berasal dari kalangan orang biasa.

Bukankah, konon katanya, semua sama di mata hukum?

Logika ajaib lain yang juga terlihat di sini adalah, langkah Polda dan Pemda, yang menghapus istilah klitih, dan menggantikannya dengan istilah "kejahatan jalanan pada pelajar".

Penyebabnya, dalam bahasa Jawa, kata  "klitih" sendiri pada dasarnya berarti aksi "cari angin", tapi oleh para pelaku kejahatan jalanan (meminjam istilah baru klitih) klitih menjadi akronim dari "keliling golek getih", alias aksi "keliling cari (korban) darah".

Ini mirip seperti kata "bajingan", yang dulunya identik dengan profesi kusir andong sapi, tapi bergeser jadi kata makian karena perubahan zaman membuat keberadaan andong sapi menghilang.

Tentu saja, pergantian istilah ini adalah satu permainan logika yang ajaib buat saya. Rasanya seperti melihat ritual ganti nama (dalam budaya Jawa) jika si anak sering sakit-sakitan semasa kecil.

Kasus ganti nama (dengan ritual ganti nama) paling terkenal terjadi pada seorang bocah bernama Koesno Sosrodihardjo. Kejadian ini terjadi pada awal abad ke 20 di Provinsi Jawa Timur.

Karena sering sakit-sakitan semasa kecilnya, orangtua Koesno memutuskan untuk mengadakan ritual ganti nama. Alhasil, namanya berubah menjadi Soekarno, nama yang kelak dikenal sebagai proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Indonesia.

Kalau metode "ganti nama" ini dilakukan dengan pertimbangan budaya, seharusnya ada ritual khusus juga. Hasilnya pun mungkin akan sekeren kasus Bung Karno tadi.

Masalahnya, nama yang diganti ini adalah satu hal yang sudah berjalan sistematis sejak lama, bukan seorang bocah bernama "klitih" yang sering sakit-sakitan.

Disebut demikian, karena ada kaderisasi antarangkatan di tingkat usia remaja, yang biasa terjadi tiap tahun, dalam bentuk awal geng sekolah atau komunitas remaja sejenis, yang dalam perjalanannya menjadi cenderung makin sporadis, dan tentu saja bisa berbahaya jika terus dibiarkan.

Memang, ada upaya penertiban dari  sekolah atau pihak terkait. Salah satu yang saya masih ingat betul adalah penyeragaman seragam SMA, dengan sematan tulisan "Pelajar Kota Yogyakarta" di bagian lengan.

Soal seragam satu ini, ada kebiasaan unik yang masih saya ingat. Waktu itu, saya biasa memakai kaos oblong sebagai pakaian dalam, dan seragam biasanya langsung saya masukkan ke dalam tas, saat menjelang pulang sekolah.

Pertimbangannya, sekolah saya dulu disebut-sebut punya hubungan kurang akur dengan beberapa sekolah lain. Makanya, ada kekhawatiran kalau-kalau suatu saat sekolah diserbu, atau anak yang bukan anggota geng sekolah justru mengalami gangguan atau bahkan diserang, jika suatu saat berpapasan.

Waktu itu, saya sendiri sadar, jika terjadi apa-apa, saya tidak akan bisa melawan karena kondisi fisik saya tidak memungkinkan. Jadi, harus ada langkah pencegahan. Alhasil, sampai lulus SMA, kebiasaan ini saya lakukan, sehingga tetap nyaman dan aman, baik saat naik angkot maupun di jalanan.

Masalahnya, upaya penertiban ini tidak benar-benar mematikan. Selalu ada saja celah yang bisa diakali, sehingga mereka masih bisa eksis. Apalagi, pada masa pandemi, kontrol yang ada terlihat kurang, karena ada periode "belajar di rumah" cukup panjang.

Memang, ini berkaitan dengan citra Yogyakarta sebagai destinasi pariwisata dan pendidikan. Masalahnya, hanya mengganti nama dari sebuah sistem yang seharusnya segera diganti (kalau perlu dilenyapkan) jelas bukan langkah solutif.

Sudah bukan masanya lagi bermain logika retoris, karena kebijakan ganti nama klitih ini sudah jadi konsumsi, bahkan lelucon warganet di Indonesia.

Satu-satunya hal positif dari strategi ganti nama ini adalah, nama baru yang digunakan bukan "Klitih Far From Home" atau "(Bukan) Klitih", karena kalau memakai dua nama itu bisa kena semprit Spiderman dan Tukul Arwana.

Mungkin, masih ada pihak yang menganggap masalah klitih terlalu dibesar-besarkan, tapi karena ini sudah terjadi sejak lama, bahkan beberapa kali memakan korban jiwa, maka harus ada tindakan tegas, dengan koordinasi terpadu, tidak tumpang tindih.

Langkahnya jelas tidak perlu sampai seekstrim kebijakan pemberantasan kriminalitas "Petrus" (penembakan misterius) seperti di era Orde Baru. Tapi, pemerintah daerah dan pihak terkait harus bisa memastikan, ada kebijakan dengan efek jera, yang bisa melemahkan, dan melenyapkan klitih perlahan-lahan secara sistematis.

Bukankah sesuatu yang sistematis perlu ditangani secara sistematis juga?

Dalam citra Yogyakarta sebagai destinasi wisata dan pendidikan, masalah klitih ini jelas berkaitan dengan rasa aman dan kepercayaan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sini, mereka yang mengirim keluarganya studi di Yogyakarta, atau mereka yang berwisata ke Yogyakarta.

Sudah saatnya romantisasi Jogja, termasuk soal "rindu, pulang, dan angkringan" ditepikan dulu sejenak, setidaknya sampai klitih benar-benar sudah diberantas. Begitu juga dengan kesan "murah meriah" yang selama ini getol dicitrakan, karena harga keselamatan bersama jelas jauh lebih mahal.

Karena, bisa pulang ke Jogja, belanja murah meriah, dan melepas rindu di angkringan, tapi setelahnya malah jadi korban klitih jelas tidak mengenakkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun