Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Melihat Klitih dan Logika Ajaib Untuknya

9 April 2022   00:59 Diperbarui: 9 April 2022   12:08 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau metode "ganti nama" ini dilakukan dengan pertimbangan budaya, seharusnya ada ritual khusus juga. Hasilnya pun mungkin akan sekeren kasus Bung Karno tadi.

Masalahnya, nama yang diganti ini adalah satu hal yang sudah berjalan sistematis sejak lama, bukan seorang bocah bernama "klitih" yang sering sakit-sakitan.

Disebut demikian, karena ada kaderisasi antarangkatan di tingkat usia remaja, yang biasa terjadi tiap tahun, dalam bentuk awal geng sekolah atau komunitas remaja sejenis, yang dalam perjalanannya menjadi cenderung makin sporadis, dan tentu saja bisa berbahaya jika terus dibiarkan.

Memang, ada upaya penertiban dari  sekolah atau pihak terkait. Salah satu yang saya masih ingat betul adalah penyeragaman seragam SMA, dengan sematan tulisan "Pelajar Kota Yogyakarta" di bagian lengan.

Soal seragam satu ini, ada kebiasaan unik yang masih saya ingat. Waktu itu, saya biasa memakai kaos oblong sebagai pakaian dalam, dan seragam biasanya langsung saya masukkan ke dalam tas, saat menjelang pulang sekolah.

Pertimbangannya, sekolah saya dulu disebut-sebut punya hubungan kurang akur dengan beberapa sekolah lain. Makanya, ada kekhawatiran kalau-kalau suatu saat sekolah diserbu, atau anak yang bukan anggota geng sekolah justru mengalami gangguan atau bahkan diserang, jika suatu saat berpapasan.

Waktu itu, saya sendiri sadar, jika terjadi apa-apa, saya tidak akan bisa melawan karena kondisi fisik saya tidak memungkinkan. Jadi, harus ada langkah pencegahan. Alhasil, sampai lulus SMA, kebiasaan ini saya lakukan, sehingga tetap nyaman dan aman, baik saat naik angkot maupun di jalanan.

Masalahnya, upaya penertiban ini tidak benar-benar mematikan. Selalu ada saja celah yang bisa diakali, sehingga mereka masih bisa eksis. Apalagi, pada masa pandemi, kontrol yang ada terlihat kurang, karena ada periode "belajar di rumah" cukup panjang.

Memang, ini berkaitan dengan citra Yogyakarta sebagai destinasi pariwisata dan pendidikan. Masalahnya, hanya mengganti nama dari sebuah sistem yang seharusnya segera diganti (kalau perlu dilenyapkan) jelas bukan langkah solutif.

Sudah bukan masanya lagi bermain logika retoris, karena kebijakan ganti nama klitih ini sudah jadi konsumsi, bahkan lelucon warganet di Indonesia.

Satu-satunya hal positif dari strategi ganti nama ini adalah, nama baru yang digunakan bukan "Klitih Far From Home" atau "(Bukan) Klitih", karena kalau memakai dua nama itu bisa kena semprit Spiderman dan Tukul Arwana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun