Mimpi buruk ini seperti berkata dengan tatapan mengejek,
"Ketahuilah ketidakberdayaanmu!"
Andai aku bisa membalas, aku akan balik berkata,
"Ketahuilah keegoisanmu!"
Aku dipaksa kembali ke posisi diam, tapi jadi kambing hitam, dan bicara tapi jadi pesakitan. Bagi sebagian orang, budaya di sini terlihat sangat halus tanpa cela, tapi kehalusan itu melemahkan nurani, karena membungkam suara kritis, dan membuat kejujuran terlihat bodoh.
Jujur, ini membuatku muak.
Aku hanya butuh kejelasan, apakah harus pergi, atau bertahan. Jika harus pergi, aku tak ingin dihambat, apalagi direcoki, kecuali jika dibiayai. Seandainya bertahan, aku tak ingin ada terlalu banyak dikte.
Rumah seharusnya bukan barak militer atau penjara. Ada kedamaian yang dirindukan dan membuat betah. Jika sampai itu tak ada, ada yang salah. Entah apa.
Memang ada sebentuk warisan mimpi yang kudengar dan sedang berjalan di sini. Tapi, sepertinya aku ada di titik persimpangan, tepat menjelang bulan ketetapan hati datang.
Apapun pilihannya nanti, semoga aku bisa memilih yang terbaik, dan menjalani tanpa penyesalan, karena keputusan pulang yang tak sepenuhnya kurelakan ini ternyata masih menyisakan penyesalan dan mimpi buruk.
Semoga nanti itu tak terjadi lagi.
