Dalam beberapa tahun terakhir, kita banyak melihat kampanye melawan penggunaan sampah plastik di negara kita. Bentuknya pun bermacam-macam, mulai dari penerapan kebijakan kantong plastik berbayar, sampai larangan menggunakan kantong plastik sekali pakai, dan peralatan berbahan plastik, di sejumlah pusat perbelanjaan, toko, maupun perkantoran.
Tujuannya, supaya lebih ramah lingkungan, dan mengurangi penggunaan sampah plastik secara signifikan. Karena, sampah plastik dari tahun ke tahun selalu menjadi masalah yang tak kunjung beres. Bahkan, Zheng dan Sung (2019) menemukan, sejak lebih dari empat dekade terakhir produksi plastik global telah meningkat sebanyak empat kali lipat.
Secara spesifik, Jambeck et.al (2015) menemukan, Indonesia adalah negara dengan penyumbang limbah plastik terbanyak kedua dunia, dengan "kontribusi" sebesar 10,1% dari total limbah plastik global. Angka ini hanya kalah dari Tiongkok (27.7 %).
Ini jelas bukan prestasi bagus. Malah, keadaan bisa semakin buruk. Andai tak kunjung ditangani secara tepat, pemandangan suram seperti yang tersaji di film animasi  "WALL-E" (2008) bisa menjadi kenyataan.
Alhasil, penggunaan wadah plastik sekali pakai perlahan mulai tergantikan, oleh kantong nonplastik, khususnya yang berbahan kertas dan kain. Walau harganya lebih mahal, "ramah lingkungan" dan "bisa dipakai ulang berkali-kali" menjadi nilai tambah tersendiri.
Tapi, keberadaan wadah berbahan kertas dan kain ini ternyata tetap dikritisi, karena diklaim lebih berbahaya dibanding plastik, seperti dipaparkan dalam video berikut:
Di satu sisi, jika melihat tujuan awal penciptaan kantong plastik, tak ada yang salah dengannya. Sten Gustav Thulin (Swedia) menemukan dan menciptakan kantong plastik tahun 1959, untuk mengurangi penebangan pohon yang notabene bahan baku kertas. Kala itu, penggunaan kantong kertas sekali pakai memang sangat masif.
Jadi, Gustav Thulin menilai, perlu ada kantong yang bisa dipakai berkali-kali, dan kantong plastik-lah solusinya. Inilah awal berjayanya kantong plastik, sampai puluhan tahun setelahnya.
Tapi, di sisi lain, waktu justru membuktikan sebaliknya. Alih-alih menjadi penyelamat lingkungan, kantong plastik justru menjadi salah satu "biang kerok" masalah lingkungan.
Kantong plastik yang awalnya didesain untuk bisa dipakai berkali-kali, kebanyakan berakhir di tempat sampah setelah sekali pakai. Di sini, higienitas menjadi alasan paling umum. Lagipula, harga daur ulang kantong plastik masih jauh lebih mahal daripada membeli kantong plastik baru. Akibatnya, "nyampah" masih menjadi satu kebiasaan umum, termasuk di Indonesia.