Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membumikan Nilai-nilai Pancasila, Bisakah?

1 Juni 2019   17:55 Diperbarui: 3 Juni 2019   17:27 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Karno | Sumber gambar: https://news.detik.com 

Perbedaan, adalah simbol dari keterbatasan. Entah keterbatasan fisik, pikiran, kemampuan, meraih cita-cita, maupun lainnya. Namun, perbedaan tersebut, selain indah sekaligus mewajibkankan manusia bersatu, mengikatkan diri dengan manusia lain.

Jangan main suka-suka

Soal musyawarah juga begitu. Sejak kecil kita sudah diajar mengambil keputusan dengan memertimbangkan pendapat, saran, masukan orang lain. Membeli baju, sepatu saja kerap dibahas di rumah sebelum dibeli. Biasanya dipertimbangkan kemanfaatan, daya tahan, model yang lagi trend, dsb.

Ketika membeli motor, mobil, bahkan rumah, selalu dibicarakan bersama. Jarang ada yang main suka-suka. Selalu dirundikan guna memertimbagkan berbagai hal sebelum membeli. Semua anggota keluarga terlibat sehingga semua merasa bertaggung jawab.

Pada skala yang lebih luas, prinsip itu juga berlaku. Di DPR atau di DPRD, dalam lembaga-lembaga desa, organisasi, atau komunitas apa pun. Untuk kepentingan bersama selalu dirembuk. Keputusan dari rembukan jauh lebih kuat. Sebab, apa yang dihasilkan dari isi kepala orang banyak umumnya lebih cerdas, lebih bijak ketimbang dari satu orang.

Mungkin ada yang bilang, ah itu tidak benar. Einstein sendiri hanya satu orang, tapi bisa menghasilkan karya hebat yang menjadi rujukan dunia. Pandangan ini benar, tetapi kurang tepat. Pasalnya, kebenaran temuan Einstein tidak memerlukan perundingan. Cukup dengan proses uji coba berdasarkan kriteria-kriteria keilmuan oleh satu orang.

Yang bisa dimusyawarahkan di situ, bukan soal benar tidaknya temuan. Tapi, terbatas pada kesediaan menerima atau menolak temuan itu untuk dipakai atau diterapkan. Jadi, musyawarah terbatas pada kulit luarnya saja.

Cara berpikir itulah yang dipakai para pendiri negara. Mereka tidak memusyawarahkan kebenaran atau ketidakbenaran nilai-nilai agama yang ada. Mereka yakin, setiap agama benar menurut dogmanya masing-masing. Berdasarkan sikap ini, mereka mencegah setiap upaya menerapkan nilai-nilai teknis dari salah satu agama untuk diberlakukan kepada semua warga negara. Bila dipaksakan, mereka paham, Indonesia bisa pecah.

Solusinya, cukup memusyawarahkan dan menyepakati bagian luarnya saja. Urusan internal biarlah diurus oleh masing-masing penganut agama. Negara cukup mengakui bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut agama yang diyakininya itu. Jadi, jangan ada di antara kita yang usil, mengganggu, atau menghalang-halangi penganut agama lain beribadah hanya karena berbeda dari kita.

Untuk apa semua itu? Tidak lain, untuk meningkatkan taraf hidup tiap individu, bangsa, dan negara agar lebih maju, lebih sejahtera, lebih makmur, lebih bahagia lahir batin di dunia dan di akhirat secara adil. Wujudnya, setiap orang berhak mendapatkan dan/atau mengekspresikan hak-hak asasinya sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Umpamanya saja, adil berarti setiap orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum dalam berbagai bentuk cara. Tetapi jangan liar atau sesuka hati. Jangan sampai hak itu merampas hak orang lain. Jangan mengancam,  menekan, menghina, atau memfitnah orang lain. Karena orang lain pun berhak mendapat perlindungan atas haknya mendapatkan rasa aman dan gangguan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun