Mohon tunggu...
Yopi Ilhamsyah
Yopi Ilhamsyah Mohon Tunggu... Dosen - Herinnering

Herinnering

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kolonel Hujan di Tengah Palagan

21 April 2020   17:30 Diperbarui: 21 April 2020   17:27 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siang hari di bulan April, hujan lebat turun di pantai Ulee Lheue Banda Aceh, saya mengambil inisiatif untuk tetap memacu kendaraan meninggalkan Pelabuhan Ulee Lheue selepas mengantar keluarga yang hendak berpergian ke Pulau Weh, Sabang.

Hujan di bulan April-Mei termasuk satu dari dua periode musim hujan yang berlangsung di Aceh. Saya baru mengetahui karakteristik iklim ini ketika sekolah pertanian di Bogor. Selama ini secara umum digambarkan bahwa pada bulan Maret hingga Mei, Indonesia memasuki peralihan musim (pancaroba) dari hujan menuju kemarau.

Indonesia sendiri sejatinya memiliki karakteristik iklim berbeda-beda di setiap wilayah sehingga dirasa kurang tepat jika disebut secara umum mewakili satu geografis Indonesia yang besar.

Ditinjau dari keragaman curah hujan, Indonesia terdiri dari tiga karakteristik wilayah hujan. Ada yang berkarakter basah dikenal dengan pola Ekuator ditandai dengan dua puncak musim hujan pada April-Mei dan November-Desember. Karakteristiknya terlihat dari hujan yang mengambil pola menyerupai huruf konsonan "M". Lokasinya ada di Sumatera dan Kalimantan bagian barat.

Karakteristik hujan Muson dengan musim kemarau dan hujan yang tegas, berpola mirip huruf "V". Musim kemarau pada pola ini jatuh pada periode Juni hingga Agustus sementara musim hujan berlangsung antara Desember hingga Februari. Daerah-daerah seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara mengalami pola ini.

Karakter Lokal di mana musim hujan jatuh antara Juni-Agustus, berlangsung di Kepulauan Maluku, berpola huruf "V terbalik".

Bagaimana dengan Aceh?. Statistik curah hujan yang saya olah bersumber dari BMKG Blang Bintang Aceh Besar dalam rentang 1982-2018 (untuk mengamati kondisi normal) menunjukkan Aceh mengalami dua puncak hujan. Hujan primer jatuh pada November dengan curah hujan sebesar 250 milimeter (mm) sementara hujan sekunder berlangsung pada April-Mei dengan curah hujan sebesar 150 mm. Kondisi ini cocok dengan pola hujan Ekuator seperti digambarkan di atas. Jadi bulan April hingga awal Mei memang musim hujan di Aceh.

Sekilas saya amati keadaan pantai yang lengang. Saya menduga boleh jadi karena sedang dilanda hujan sehingga para pedagang yang biasanya menjajakan penganan di pinggir pantai belum membuka lapak dagangannya atau mungkin mereka mematuhi himbauan pemerintah daerah untuk tetap di rumah akibat pandemi Corona yang telah menjangkiti warga dunia. Syukurlah masyarakat dengan sendirinya telah menyadari bahaya yang ditimbulkan virus Corona ini. Di tengah kondisi tidak pasti seperti ini, kita memang dituntut membangun kedisplinan secara mandiri.

Saya amati kondisi laut yang tenang kala hujan mengguyur kawasan ini. Saya teringat sebuah peristiwa tempo dulu pada April 1873. Kawasan ini pernah menjadi lokasi pendaratan tentara Belanda dalam upaya memperluas pengaruh mereka di Nusantara. Daerah Aceh menjadi kepingan terakhir guna melengkapi kekuasaan mereka atas ibu pertiwi yang terbentang dari barat ke timur. Teringat lagi, catatan sejarah menyebutkan bahwa pendaratan mereka bersamaan dengan datangnya Muson yang membawa hujan. Hujan ditengarai melatarbelakangi kegagalan ekspedisi Belanda atas Aceh.

Sebelum Tsunami 2004, Pantai Ulee Lheue menjadi destinasi wisata favorit warga Banda Aceh karena lokasinya yang dekat dengan Kota. Kala itu daratan pantai masih luas ke barat laut. Kawasan pantai yang menjorok ke laut ini dikenal dengan sebutan Pantai Ceureumen (Cermin). Rumah-rumah warga yang juga berfungsi sebagai kios penjaja makanan ringan berikut air kelapa berjejer di bibir pantai. Dulu disanalah Belanda bermarkas sebelum beranjak menuju keraton kesultanan guna menguasai Aceh seutuhnya. Oh ya, saya menyebut keraton karena istilah ini merujuk terminologi Belanda kala itu dalam menyebut istana seperti halnya penyebutan istana raja di Jawa. Istana Kesultanan Aceh sendiri disebut "Dalam". Namun, pada artikel ini saya menggunakan istilah keraton.

Selepas Tsunami 2004, kawasan Pantai Cermin hancur dan telah tergenang air laut. Jejak pendaratan tentara Belanda turut terkubur ke dalam laut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun