Mohon tunggu...
Yopi Ilhamsyah
Yopi Ilhamsyah Mohon Tunggu... Dosen - Herinnering

Herinnering

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kolonel Hujan di Tengah Palagan

21 April 2020   17:30 Diperbarui: 21 April 2020   17:27 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menurut sumber sejarah, Belanda mendarat di pantai Cermin Ulee Lheue (kini Pelabuhan Ulee Lheue) tanggal 06 April 1873. Jelang pendaratan, tercatat enam kapal perang yaitu Djambi, Marnix, Coehoorm, Soerabaya, Siak dan Bronbeek melabuh jangkar di tengah perairan Ulee Lheue. Keenam kapal uap tua ini ikut bergabung dengan dua kapal perang uap dan satu kapal "kompeni" (kapal layar tua) yang telah berada di sana sejak 22 Maret 1873 (catatan sejarah Paul van't Veer tahun 1985 dalam Perang Aceh: Kisah kegagalan Snouck Hurgronje).

Salah satu diantaranya Kapal Citadel van Antwerpen yang ditumpangi F.N. Niuwenhuyzen, wakil Belanda yang mendeklarasikan perang terhadap Kesultanan Aceh tanggal 26 Maret 1873. Berikutnya tercatat lima kapal barkas, delapan kapal ronda, lima kapal layar, satu kapal komando, enam kapal pengangkut sewaan dari perusahaan Inggris turut membuang sauh di lepas pantai Ulee Lheue.

Pada 06 April 1873, beberapa regu pengintai diturunkan untuk mengamati kondisi lapang serta menghitung kekuatan pasukan Aceh di pesisir. Namun, gerak regu ini berhasil dihalau oleh laskar Aceh. Pagi hari tanggal 08 April 1873, di bawah komando panglima tertinggi Belanda dalam ekspedisi Aceh, J.H.R Kohler, pasukan berkekuatan besar dalam sejarah perang kolonial mulai didaratkan. Kohler sendiri mendapat promosi kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal kala mengemban tugas ini setelah sebelumnya berpangkat Kolonel yang dijalaninya selama 8 tahun. Bertindak sebagai wakil panglima adalah Kolonel E.C. van Daalen yang juga dilantik sebagai komandan infanteri.

Meriam mulai ditembakkan dari kapal untuk melindungi pasukan infanteri yang turun ke darat menggunakan sekoci. Tercatat sebanyak 3.198 prajurit tamtama dan bintara diterjunkan, 1.098 orang diantaranya beretnik Eropa sedangkan 2.100 prajurit lainnya berasal dari kalangan pribumi. Pasukan besar ini masing-masing dipimpin 140 dan 28 perwira Eropa dan pribumi.

Dalam eskpedisi Aceh ini sebagian pasukan telah dipersenjatai dengan senapan laras panjang baru. Senjata bermerek Beaumont ini dilengkapi bayonet yang terhunus pada moncong senapan.

Beberapa saat kemudian, fron pesisir pecah kala Belanda berupaya merebut dua benteng yang berlokasi di Ulee Lheue yang dipertahankan laskar Aceh. Seorang Uleebalang yaitu Teuku Nek yang menjadi penguasa di sebuah mukim pesisir bernama Meuraksa, bersebelahan dengan Ulee Lheue dan pengikutnya beraliansi dengan Belanda. Kalah dalam jumlah, pejuang Aceh meninggalkan benteng pesisir dan mundur ke Mesjid Raya guna memperkuat pertahanan luar keraton.


Orang-orang pendukung ekspedisi mulai turun ke darat, terdiri dari 1000 orang pekerja paksa sebagai kuli, 300 laki-laki pelayan perwira serta 220 perempuan dari Jawa untuk pekerjaan dapur. Sebanyak 180 ekor kuda dengan 31 ekor diantaranya diperuntukkan bagi perwira ikut didaratkan. Mereka mendirikan pangkalan dan mengendalikan komando penyerangan dari sini (Ulee Lheue) hingga 23 April 1873. Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun