Mohon tunggu...
Yons Achmad
Yons Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat Komunikasi

Yons Achmad.Kolumnis dan Pengamat komunikasi. CEO Komunikasyik.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Komunikasi Empati Covid-19

13 April 2020   08:22 Diperbarui: 24 Desember 2023   16:37 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pandemi Covid-19 barangkali tragedi besar tahun ini, tapi harapan selalu ada. Salah satunya solidaritas publik yang tinggi untuk saling bantu, saling jaga dan saling mengedukasi untuk memutus mata rangkai penyebaran virus yang sampai saat ini belum ditemukan penangkalnya. 

Hal ini tampak, terutama di media sosial. Kampanye cuci tangan pakai sabun, imbaunan jaga jarak sampai ajakan untuk menunda mudik ke kampung halaman menjadi contoh kampanye solidaritas publik berbasis empati yang terbangun di tengah warga (netizen).

Aspek solidaritas publik lewat komunikasi empati ini menjadi modal yang penting untuk terus dirawat dan dikembangkan. Gerakan yang awalnya spontan, menuju menjadi gerakan yang lebih terstruktur dan tepat sasaran. 

Para pemangku kebijakan (stakeholder) sudah seharusnya juga bisa melihat dengan kacamata potensi, merangkul dan mendukung setiap gerakan yang muncul demi keberhasilan atasi pandemi Covid-19  di Indonesia.

Kini pemerintah telah ambil sikap. Presiden Jokowi telah mengambil keputusan, bukan lockdown (karantina wilayah). Tapi, memilih memberlakukan pemeriksaan (tes)  virus Corona yang populer disebut Covid-19 secara cepat dan masal.  

Hal ini dilakukan untuk mendeteksi dini indikasi seseorang terpapar Covid-19 atau tidak. Kebijakan ini diambil setelah sebelumnya upaya pencegahan Covid-19 dilakukan dengan imbauan untuk melakukan pembatasan sosial (social distancing). Terakhir, di revisi lagi dengan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).


Lembaga terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga sudah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 13A/2020 tentang Penanggulangan Bencana Status Keadaan Tertentu Darurat Wabah Penyakit Akibat virus Corona di Indonesia.  

Lewat SK tersebut, BNPB memperpanjang status darurat dari 29 Februari sampai 29 Mei 2020. Menjadi pertanyaan penting, dalam rentang waktu itu, bagaimana arus informasi yang semestinya kita bangun dan jaga?

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada dokter dan paramedis yang berjibaku melawan pandemi Covid-19, langkah paling bijak tentu saja terus berikan dukungan terlepas dari keterbatasan penanganan. Bukan waktu yang tepat untuk saling menyalahkan. Terlihat klise dan sok bijak. 

Tapi harusnya memang begitu. Salah satu upayanya menjadi penting, seperti di awal saya sebutkan, kembali menyalakan komunikasi empati demi memberikan ketenangan publik. Meredam kepanikan sekaligus bisa ikut ambil peran sekecil apapun.

Komunikasi empati seperti dikutip Idi Subandy Ibrahim (2004) diartikan dengan model komunikasi yang menempatkan diri kita pada posisi orang lain. Ikut serta secara intelektual dan emosional dalam pengalaman orang lain. 

Berempati dengan demikian membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain. Berusaha melihat seperti orang lain lihat, merasakan seperti orang lain merasakannya.

Di ranah media, jurnalisme empati juga sudah mulai dipraktikan para wartawan. Hal ini merujuk kepada seruan yang disiarkan oleh Dewan Pers dalam liputan seputar pandemi Covid-19 ini. 

Diantaranya, dengan menyiarkan beragam fakta pemberitaan yang berimbang, akurat dan selalu menguji informasi. Termasuk menghindari pemuatan laporan yang hanya menambah kepanikan publik. 

Dalam praktiknya, memang tergantung kondisi situasional. Tapi, secara umum, usaha membangun jurnalisme makna dengan membangun harapan dan optimisme warga, menjadi sebuah peran penting yang perlu diapresiasi.

Sementara, komunikasi empatik warga, sepertinya tak perlu diragukan lagi. Komunikasi empati publik bisa kita saksikan secara nyata melalui media sosial. 

Warga secara sukarela saling memberikan edukasi, imbauan dan berbagi informasi mengenai beragam usaha agar pandemi Covid-19 tak terus berkembang (menular). 

Termasuk, bagaimana secara pribadi melindungi diri sendiri agar terhindar dari  virus baru ini. Solidaritas nyata publik  juga tampak dengan donasi, penggalangan dana untuk kebutuhan alat kesehatan, terutama Alat Pelindung Diri (APD), juga berbagai makanan bagi warga yang membutuhkan

Dalam situasi kekhawatiran demikian, kabar bohong (hoaks) memang tak terhindarkan. Diantaranya, dengan munculnya misinformasi yang berarti salah informasi. Informasinya sendiri salah, tapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi itu benar. 

Penyebaran informasi dilakukan untuk tujuan baik alias tak ada tendensi untuk membahayakan orang lain. Begitu juga disinformasi di mana penyebar informasi tahu kalau informasinya memang salah. Namun sengaja disebarkan untuk menipu, mengancam, bahkan membahayakan pihak lain.

Anita Wahid (2020), pegiat Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat dari seluruh hoaks terkait virus Corona yang ditemukan, hanya sekitar 27% yang ditindaklanjuti pemerintah. 

Hal ini tentu disayangkan. Sebenarnya, hoaks ini bisa diatasi jika pemerintah menyampaikan informasi secara terbuka dan lengkap, karena ada kekosongan ruang publik dari pemerintah, maka masyarakat pun membuat tafsirnya masing-masing.

Sementara, dalam psikologi komunikasi, empati ini tentu selaras dengan asal katanya Einfuhlung yang semula dipakai oleh psikolog Jerman. Dimaknai secara harafiah dengan merasa terlibat (felling into). 

Dalam praktiknya, empati ini bukan dimaknai dengan banyak bicara dan beretorika, tapi dihubungkan dengan persepsi dan kemampuan orang (terutama pejabat publik) untuk lebih banyak mendengarkan suara publik.

Kini saatnya, komunikasi empati kita diuji. Warga (publik) dan media sudah memberikan contoh yang cukup bagus dengan memberikan empati dalam wujud membangun harapan dan optimisme. 

Langkah yang sama dari pemerintah ditunggu kehadirannya. Caranya sederhana, dengan lebih banyak mendengar suara publik (warga) sehingga  beragam kebijakan terkait dengan pandemi Covid-19 juga berujung pada sebesar-besar kemaslahatan dan keselamatan publik, bukan sebaliknya. []

Yons Achmad. Praktisi Komunikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun