Di media sosial, kita disuguhkan potret kehidupan ideal: anak muda yang sudah punya bisnis sendiri, membeli properti sebelum usia 25, atau traveling ke luar negeri tanpa memikirkan biaya. Tanpa sadar, kita mulai membandingkan diri, merasa tertinggal, dan mempertanyakan nilai diri kita sendiri. Hal ini sering menyebabkan kita krisis akan identitas diri sendiri. Menurut teori psikologi perkembangan Erik Erikson, usia 20-30 tahun adalah fase di mana individu berjuang membentuk identitas dan membangun keintiman. Ketika proses pembentukan identitas terganggu oleh tekanan sosial dan perbandingan yang tidak sehat, kita bisa mengalami kebingungan identitas---merasa tidak tahu siapa diri kita, apa yang kita inginkan, dan ke mana arah hidup kita sehingga hal ini berdampak pada psikologis kita seperti muncul gejala kecemasan, overthinking, bahkan depresi.
3. Menjelajah Dunia: Antara Mimpi dan Mager
- Masa kecil kita dipenuhi dengan cita-cita besar: menjadi dokter yang menyelamatkan nyawa, pramugari yang menjelajahi dunia, atau guru relawan yang mengabdi di pelosok negeri. Mimpi-mimpi itu terasa mulia, penuh semangat, dan seolah-olah tak ada batas yang bisa menghalangi.
- Namun seiring bertambahnya usia, mimpi itu mulai berhadapan dengan realita. Tanggung jawab hidup, tekanan sosial, dan kelelahan mental membuat kita lebih sering rebahan daripada berpetualang. Kita menyimpan video traveling, membayangkan suasana baru, lalu kembali scroll TikTok tanpa benar-benar bergerak. Padahal, menjelajah dunia bukan hanya soal berpindah tempat, tapi juga soal berpindah perspektif. Dunia tidak selalu harus dijelajahi dengan koper dan paspor---kadang cukup dengan keberanian untuk keluar dari pola lama dan mencoba sesuatu yang berbeda. Tapi apa arti dari semua ini? Kita lebih nyaman untuk berdiam diri dirumah seolah berada didalam penjara tak terlihat. Apakah ini tanda kita menyerah? Atau hanya jeda sementara untuk memahami ulang arah hidup?
Merayakan atau Meratapi?
Usia 25 memang tidak mudah. Tapi kita tidak menyerah---kita hanya terkejut dengan arah hidup yang tidak sesuai ekspektasi. Kita marah karena keadaan di luar kendali. Namun, semua akan baik-baik saja. Usia 25 hanya terjadi sekali. Kita bisa memilih untuk merayakannya dengan segala kompleksitasnya, atau meratapi masalah yang hanya datang satu kali.
Menangis bukan kelemahan, melainkan cara tubuh merangkul luka. Dan pada akhirnya, kita akan belajar berdamai dengan kenyataan. Meski banyak hal mengecewakan, semoga keikhlasan senantiasa menyertai langkah kita. Salam hangat dari saya, manusia yang sebentar lagi akan meninggalkan usia 25.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI