Usia yang Sarat Ekspektasi
Usia 25 kerap diposisikan sebagai titik balik kehidupan. Banyak narasi sosial yang membebani usia ini dengan daftar panjang pencapaian: harus sudah bekerja, punya pasangan, mapan secara finansial, bahkan memiliki arah hidup yang jelas. Di media sosial, terutama TikTok, kita disuguhkan konten viral yang seolah-olah menetapkan standar absolut: usia 25 harus sudah bisa ini, punya itu, bahkan ada yang bercanda bahwa di usia ini kita seharusnya sudah bisa membangun candi. Absurd, tapi entah mengapa terasa nyata.
Saya menulis ini di usia 25. Belum bekerja, belum memiliki pencapaian yang bisa dibanggakan, dan baru saja mengalami patah hati. Tulisan ini bukan untuk menyudutkan siapa pun, melainkan sebagai refleksi dari pengalaman pribadi yang mungkin juga dirasakan oleh banyak orang di usia yang sama.
Quarter Life Crisis: Realita yang Terverifikasi
Sebagai seseorang yang percaya pada sains, saya mencoba membandingkan pengalaman emosional ini dengan data empiris. Penelitian menunjukkan bahwa rentang usia 18--25 merupakan fase rawan terhadap psychological distress---perasaan negatif yang muncul akibat pengalaman tidak menyenangkan, seperti kecemasan dan depresi, yang mengganggu rutinitas harian. Studi lain mengungkap bahwa individu berusia 25--33 tahun banyak yang merasa tidak yakin terhadap karier mereka, tertekan dalam hubungan, dan bingung dengan tujuan hidup.
Fenomena ini dikenal sebagai quarter life crisis, dan kecemasan adalah gejala paling dominan. Sebanyak 61% partisipan survei menyatakan bahwa mereka belum menemukan pekerjaan atau karier yang sesuai minat. Sementara 48% lainnya, terutama perempuan, merasa tertekan karena terus membandingkan diri dengan teman sebaya yang dianggap lebih sukses.
Saya pun merasakannya. Ketakutan, penyesalan, dan rasa gagal sering kali membayangi. Membandingkan diri dengan orang lain menjadi kebiasaan yang melelahkan dan membuat frustrasi. Maka, saya menulis ini bukan untuk mengeluh, tetapi untuk berbagi keresahan yang mungkin juga Anda rasakan.
1. Menikah, Bahagia, dan Patah Hati
Usia 25 sering kali digambarkan sebagai masa emas untuk membangun kehidupan bersama pasangan. Di media sosial, kita melihat teman-teman sebaya yang sudah menikah, memiliki anak, dan tampak bahagia. Foto prewedding, video gender reveal, dan unggahan keluarga kecil yang harmonis menjadi pemandangan yang akrab. Seolah-olah usia ini adalah titik wajib untuk mencapai stabilitas emosional dan romantis. Namun, di balik narasi kebahagiaan itu, ada sisi lain yang tak kalah nyata: fase life after breakup. Banyak dari kita justru sedang berada di titik terendah dalam hubungan. Bukan sedang merancang masa depan bersama, melainkan sedang belajar bangkit dari masa lalu yang menyakitkan. Patah hati di usia 25 terasa berbeda. Bukan sekadar kehilangan pasangan, tapi juga kehilangan rencana hidup yang sudah dirancang bersama. Di usia ini, kita tidak hanya kehilangan seseorang, tapi juga kehilangan arah. Rasa lelah untuk memulai hubungan baru, trauma dari hubungan sebelumnya, dan ketakutan akan kegagalan membuat banyak orang memilih untuk tidak jatuh cinta lagi. Bahkan Kita mulai mempertanyakan: apakah cinta memang layak diperjuangkan? Apakah hubungan baru akan berakhir sama? Apakah lebih baik sendiri daripada terluka lagi?
2. Mandiri Finansial: Antara Harapan dan Realita
Definisi sukses menurut masyarakat Indonesia sering kali dikaitkan dengan pekerjaan bergengsi, penghasilan besar, rumah, mobil, dan bebas dari utang. Namun realitanya, memiliki pekerjaan tetap saja sudah menjadi berkah. Ekspektasi sosial yang menekan untuk mencapai standar kesuksesan tertentu sering kali membuat kita merasa gagal dan tidak berguna ketika tidak mampu mencapainya. Padahal, setiap orang memiliki jalur dan waktu yang berbeda dalam meraih stabilitas finansial. Narasi ini begitu kuat, hingga menjadi standar sosial yang tidak tertulis namun sangat memengaruhi cara kita menilai diri sendiri dan orang lain.
Di media sosial, kita disuguhkan potret kehidupan ideal: anak muda yang sudah punya bisnis sendiri, membeli properti sebelum usia 25, atau traveling ke luar negeri tanpa memikirkan biaya. Tanpa sadar, kita mulai membandingkan diri, merasa tertinggal, dan mempertanyakan nilai diri kita sendiri. Hal ini sering menyebabkan kita krisis akan identitas diri sendiri. Menurut teori psikologi perkembangan Erik Erikson, usia 20-30 tahun adalah fase di mana individu berjuang membentuk identitas dan membangun keintiman. Ketika proses pembentukan identitas terganggu oleh tekanan sosial dan perbandingan yang tidak sehat, kita bisa mengalami kebingungan identitas---merasa tidak tahu siapa diri kita, apa yang kita inginkan, dan ke mana arah hidup kita sehingga hal ini berdampak pada psikologis kita seperti muncul gejala kecemasan, overthinking, bahkan depresi.
3. Menjelajah Dunia: Antara Mimpi dan Mager
- Masa kecil kita dipenuhi dengan cita-cita besar: menjadi dokter yang menyelamatkan nyawa, pramugari yang menjelajahi dunia, atau guru relawan yang mengabdi di pelosok negeri. Mimpi-mimpi itu terasa mulia, penuh semangat, dan seolah-olah tak ada batas yang bisa menghalangi.
- Namun seiring bertambahnya usia, mimpi itu mulai berhadapan dengan realita. Tanggung jawab hidup, tekanan sosial, dan kelelahan mental membuat kita lebih sering rebahan daripada berpetualang. Kita menyimpan video traveling, membayangkan suasana baru, lalu kembali scroll TikTok tanpa benar-benar bergerak. Padahal, menjelajah dunia bukan hanya soal berpindah tempat, tapi juga soal berpindah perspektif. Dunia tidak selalu harus dijelajahi dengan koper dan paspor---kadang cukup dengan keberanian untuk keluar dari pola lama dan mencoba sesuatu yang berbeda. Tapi apa arti dari semua ini? Kita lebih nyaman untuk berdiam diri dirumah seolah berada didalam penjara tak terlihat. Apakah ini tanda kita menyerah? Atau hanya jeda sementara untuk memahami ulang arah hidup?
Merayakan atau Meratapi?
Usia 25 memang tidak mudah. Tapi kita tidak menyerah---kita hanya terkejut dengan arah hidup yang tidak sesuai ekspektasi. Kita marah karena keadaan di luar kendali. Namun, semua akan baik-baik saja. Usia 25 hanya terjadi sekali. Kita bisa memilih untuk merayakannya dengan segala kompleksitasnya, atau meratapi masalah yang hanya datang satu kali.
Menangis bukan kelemahan, melainkan cara tubuh merangkul luka. Dan pada akhirnya, kita akan belajar berdamai dengan kenyataan. Meski banyak hal mengecewakan, semoga keikhlasan senantiasa menyertai langkah kita. Salam hangat dari saya, manusia yang sebentar lagi akan meninggalkan usia 25.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI