Mohon tunggu...
Yongku Argandira
Yongku Argandira Mohon Tunggu... Mahasiswa

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mitos Cinta Romantis Dalam Film Dilan 1990 : Analisis Semiotika Rolands Barthes

22 Juli 2025   22:10 Diperbarui: 22 Juli 2025   22:14 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster resmi film Dilan 1990, menampilkan karakter utama Dilan dan Milea. (Sumber gambar: Wikipedia / Falcon Pictures) 

Siapa yang tidak kenal Dilan dan Milea? Dua tokoh dalam film Dilan 1990 yang kisah cintanya berhasil membuat banyak remaja (dan orang dewasa!) tersenyum, baper, bahkan berharap punya pasangan seperti Dilan. Film ini begitu populer karena tidak hanya mengisahkan cinta remaja ala tahun 90-an, tetapi juga menghadirkan sosok Dilan yang penuh rayuan manis, perhatian, dan sedikit "nakal". Namun, apakah semua ini hanyalah hiburan semata? Ataukah ada makna-makna tersembunyi di balik kata-kata manis Dilan?

Untuk menjawabnya, kita bisa menggunakan pisau analisis dari Roland Barthes, seorang tokoh penting dalam dunia semiotika. Barthes percaya bahwa di balik setiap teks --- termasuk film --- terdapat mitos sosial yang direproduksi secara simbolik. Dalam konteks ini, cinta romantis dalam Dilan 1990 bukan sekadar alur cerita, melainkan bagian dari konstruksi budaya yang terus dibentuk oleh media.

Semiotika Roland Barthes dan Konsep Mitos

Roland Barthes mengembangkan teori semiotika dengan fokus pada bagaimana tanda (sign) dan makna (meaning) dibentuk dalam kebudayaan. Menurut Barthes, mitos adalah sistem komunikasi kedua, di mana tanda awal (signifier + signified) menjadi penanda baru yang menciptakan makna ideologis.

Sebagai contoh: sepeda motor dalam Dilan 1990 bukan hanya alat transportasi. Ketika dikendarai oleh Dilan, motor itu berubah makna --- menjadi simbol kebebasan, keberanian, sekaligus daya tarik maskulin. Inilah yang disebut Barthes sebagai mitos: makna baru yang tidak natural, tapi dibuat seolah-olah alami dan wajar.

Cinta Romantis dalam Film Dilan 1990

Dalam Dilan 1990, kita menemukan banyak elemen cinta romantis yang dimitoskan. Beberapa di antaranya:

  1. Rayuan Gombal sebagai Tanda Cinta Tulus
    "Jangan rindu. Berat. Kamu nggak akan kuat. Biar aku saja."
    Kalimat ini viral dan menjadi simbol cinta ala Dilan. Namun jika dilihat secara kritis, ini adalah bentuk retorika yang manis tapi tidak memberi ruang komunikasi setara. Cinta dikonstruksi sebagai sesuatu yang mendominasi perasaan, tanpa ruang negosiasi atau kesetaraan.

  2. Cowok Nakal Tapi Setia = Pasangan Idaman
    Dilan digambarkan sebagai anak motor, tukang berkelahi, tapi perhatian dan setia. Ini adalah bentuk mitos lama yang terus diperkuat: bahwa laki-laki ideal adalah yang "keras di luar, lembut di dalam". Padahal, ini justru bisa menyamarkan potensi relasi kuasa dalam cinta remaja.

  3. Cewek Ideal = Patuh, Lembut, dan Sabar
    Milea hampir selalu menjadi tokoh yang "menunggu", bersabar, dan menerima perlakuan Dilan. Hal ini memperkuat stereotip bahwa perempuan harus pasif dalam cinta, menunggu dipilih, dan rela menerima sikap laki-laki tanpa protes.

Mitos dalam Budaya Populer

Yang menarik, semua konstruksi cinta romantis di atas tidak disadari oleh sebagian besar penonton. Justru karena Dilan 1990 disajikan dalam bentuk kisah cinta yang manis, penonton dengan mudah menerima narasi tersebut sebagai "normal" bahkan "ideal".

Barthes menyebut ini sebagai "naturalization of myth" --- proses di mana sesuatu yang dibuat manusia (cultural construct) terasa seolah-olah kodrat (natural). Dalam hal ini, cinta posesif, cowok nakal tapi manis, serta cewek sabar dianggap sebagai bagian dari cinta yang wajar dan harus diterima.

Mengapa Kita Perlu Kritis?

Bukan berarti kita tidak boleh menikmati film seperti Dilan 1990. Kita tetap bisa tertawa, baper, dan bahkan mengenang masa-masa SMA sambil menikmati gaya bicara Dilan yang puitis dan "beda". Tapi di balik semua itu, sebagai generasi muda yang hidup dalam banjir informasi dan arus media yang sangat deras, kita dituntut untuk memiliki sikap kritis.

Mengapa? Karena film, lagu, sinetron, dan iklan tidak hanya hadir untuk menghibur. Mereka juga membawa pesan-pesan tersembunyi --- atau dalam istilah Roland Barthes, mitos --- yang membentuk cara kita memandang hidup, cinta, relasi, bahkan diri kita sendiri. Tanpa kita sadari, media membentuk "standar" bagaimana cinta seharusnya dirasakan, diungkapkan, dan dijalani.

Ketika tokoh seperti Dilan dianggap sebagai gambaran pasangan ideal --- padahal sikapnya bisa tergolong posesif dan dominan --- kita perlu bertanya: apakah ini gambaran cinta yang sehat, atau hanya romantisasi yang dibungkus dengan puisi dan jaket motor? Kalau tidak kritis, bisa jadi kita menerima begitu saja bahwa cinta yang baik harus penuh drama, rasa cemburu yang berlebihan, atau kontrol terhadap pasangan.

Bersikap kritis bukan berarti anti hiburan. Justru sebaliknya: dengan berpikir kritis, kita bisa menikmati hiburan sambil memahami nilai-nilai yang tersembunyi di dalamnya. Kita tidak menolak karya seni, tapi mengajak diri untuk tidak mudah terbawa arus simbol-simbol yang bisa jadi membentuk pola pikir yang keliru.

Di era digital ini, menjadi penonton pasif bukan lagi pilihan. Kita harus menjadi pembaca aktif --- yang tidak hanya menikmati layar, tetapi juga membaca makna di baliknya.

Dengan membaca film secara semiotik, kita bisa memahami bagaimana nilai-nilai sosial direproduksi. Dan dengan kesadaran ini, kita bisa menciptakan ruang baru bagi bentuk cinta yang lebih setara, komunikatif, dan sehat --- bukan hanya berdasarkan gombalan, tapi juga kesalingan.

Penutup: Antara Fiksi dan Realitas

Film Dilan 1990 memang fiksi, tapi ia merepresentasikan realitas kultural yang lebih besar. Cinta dalam film bukan sekadar cerita --- ia membawa makna, simbol, dan ideologi. Melalui kacamata Roland Barthes, kita belajar bahwa cinta itu bukan hanya perasaan, tapi juga hasil konstruksi budaya.

Maka pertanyaannya bukan lagi "siapa yang ingin punya pacar seperti Dilan?", tapi "apa yang sedang dikatakan budaya tentang cinta melalui Dilan?". Jawabannya mungkin tidak selalu manis, tapi pasti akan membuat kita lebih sadar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun