Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggoreng Puisi untuk Rakyat

22 Juli 2022   19:36 Diperbarui: 28 September 2022   12:11 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis di acara peluncuran buku antologi puisi PDS HB Jassin. Foto: dokpri

Negara kehilangan wibawa di depan segelintir pengusaha yang menguasai jutaan hektar lahan.

Sejak September 2021 harga minyak goreng mulai merangkak. Memasuki 2022, harganya semakin gila-gilaan, jauh di atas patokan atau HET, dan saat itu pemerintah masih diam.

Puncaknya terjadi pada Februari 2022 ketika pemerintah mengucurkan subsidi Rp 3,6, tiliun kepada pengusaha agar mau menjual minyak goreng kemasan sesuai HET Rp 14.000 per liter. Duit subsidi diterima, minyak goreng kemasan hilang dari rak-rak supermarket yang ditunjuk menjadi penyalur minyak goreng kemasan.

Rakyat pun harus mengantri hanya untuk mendapatkan 1-2 liter minyak goreng. Setelah pemerintah melepas HET, seketika, hari itu juga, minyak goreng kemasan memenuhi rak-rakyat supermarket dan minimarket dengan harga dua kali lipat dari HET.

Ditambah kemudian terjadi lonjakan pada permintaan pada minyak goreng curah sehingga harganya pun melambung. Upaya pemerintah dengan menaikan HET minyak goreng curah menjadi  Rp 14.000 per liter dari semula Rp 11.000 per liter, gagal. Harga minyak goreng curah mendekat Rp 20.000 per liter.

Pemerintah kembali mengucurkan subsidi Rp 7 triliun lebih kepada pengusaha agar mau menjual produksi minyak goreng curah seharga Rp 14.000 per liter. Apa yang terjadi? Subsidi kembali menguap harga jual minyak goreng tetap melambung di atas HET.

Saat harga minyak goreng kemasan melambung, pemerntah  mengeluarkan kebijakan DMO (domestic market obligation) yang mengharuskan produsen minyak goreng menyisihkan 20 persen produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Seperti kita ketahui, kebijakan ini dimanfaatkan oleh pejabat Kementerian Perdagangan untuk kongkalikong dengan perusahaan sawit. Pemerintah pun kemudian memberlakukan larangan ekspor CPO selama sekitar 15 hari.

Saat ini minyak goreng baik kemasan maupun curah sudah melimpah di pasaran. Tetapi ingat, hal itu bukan karena dampak larang  ekspor CPO, melainkan harganya yang sudah sesuai dengan kemauan pengusaha di mana minyak goreng kemasan dari HET 13.000 menjadi rerata 24.000, dan minyak gorenga curah dari Rp 11.000 menjadi 14.000, bahkan di beberapa daerah masih di kisaran Rp 16 ribu per liter.

Pengusaha yang rakus dan licik, tentu tersenyum. Tidak perlu ada larangan ekspor jika jika harga di dalam negeri sudah sama tingginya dengan harga di Singapura, Eropa, Amerika.

Rakyat Indonesia yang perdapatan per kapitanya hanya sekian persen dari Singapura, Eropa, Jepang dan dll, dipaksa membeli produk yang diusahakan di atas tanah negara, dengan harga yang nyaris sama.

Saat ini pendaptan  per kapita Indonesia sekitar 4.026 dollar Amerika Serikat equivalen Rp 62 juta. Sedang pendapatan per kapita Singapura 59.797 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp837 juta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun