Mohon tunggu...
yona listiana
yona listiana Mohon Tunggu... Desainer - penjahit

suka mancing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kampus Harus Tegas Lawan Intoleransi

23 September 2020   01:18 Diperbarui: 23 September 2020   01:21 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setahun lalu pada sebuah acara untuk Hak Azasi Manusia (HAM) yang diselenggarakan oleh Komnas HAM, salah satu Pemerintah Daerah dan salah satu NGO menampilkan salah satu narasumber dari sebuah univesitas lokal.

Jika dilihat dari segi sosiologis, universitas ini terletak di sebuah kota dengan tingkat toleransi yang tinggi karena sebagian besar masyarakatnya bersifat moderat. 

Mereka memang penganut Islam taat tetapi mereka juga tak segan untuk hidup berdampingan dengan kelompok masyarakat lain yang berbeda keyakinan. 

Beberapa daerah di pedalaman Jawa memang punya budaya akulturasi yang baik, dimana satu kelompok budaya berbaur dengan kelompok budaya pendatang, atau kelompok agama A berbaur dengan kolompok agama B.

Kita ambil contoh suku Jawa dan Cina di Jawa pesisir seperti Semarang , Rembang, Pati sampai Surabaya punya bahasa dengan langgam berbeda dengan Jawa lokal karena berakulturasi dengan China. 

Kaum yang memakai bahasa dengan langgam khas ini biasanya diawali dari kaum Cina yang berjualan di pasar atau pedagang yang berinteraksi dengan nelayan. Ini bisa kita lihat di pasar-pasar tradisional setempat. Tak hanya rukun dalam berkegiatan ekonomi, mereka juga harmni dalam keseharian dan yaris tak ada konflik yang berarti.

Pada situasi budaya dan kelompok seperti itulah universitas yang saya terangkan di awal tulisan itu tumbuh; yaitu dengan semangat toleransi dan harmoni antar kelompok yang berbeda; jauh dari sikap intoleransi dan jauh juga dari sikap radikisme.  

Narasumber dari universitas lokal itu mengatakan bahwa sebanyak 22 persen mahasiswa Universitas tempat dia bekerja terpapar radikalisme. Hal itu berdasarkan laporan studi pemetaan gerakan radikalisme yang dilakukan satu bagian di universitas tersebut.

Jika ditelaah lagi jumlah itu, menurut narsum tersebut ada 25 persennya adalah mahasiswa yang menganut radikalisme teologis yaitu setuju dengan pengkafiran, qital dan jihad. Lalu ada 20 persen mahasiswa menganut radikalisme politis yaitu setuju dengan konsep negara Islam atau khilafah.

Ini mengejutkan banyak orang karena seperti yang sudah diterangkan di atas, bahwa universitas itu terletak di daerah yang sangat moderat. Sehingga fakta paparan intoleransi pada universitas itu mengejutkan banyak pihak. 

Karena bagaimanapun, itu berbentuk ideologi yang relative sulit untuk dihilangkan begitu saja dan para mahasiswa baru bisanya menerimanya dengan struktur tertentu, sistematik dan massif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun