Di tengah arus modernisasi yang deras bentuk kearifan local(local wisdom) di Nusantara secara khsusus di pulau Jawa yang seringkali terpinggirkan, dilabeli sebagai "takhayul," "kuno," atau "irasional," salah satu kearifan local yang paling sering disalahpahami adalah "pamali". Pamali menurut kamus besar bahasa Indonesia(KBBI) adalah "pemali" yang berarti pantangan atau larangan yang didasarkan pada adat dan kebiasaan turun-menurun, yang jika dilanggar dipercaya akan mendatangan malapetaka atau hal yang buruk. Pamali bukanlah hukum formal yang tertulis melainkan norma tidak tertulis atau lisan dari generai ke generasi, seperti "jangan makan di depan pintu, nanti jodohnya susah," "jangan menebang pohon di dekat mata air, nanti airnya kering," "kalau nyapu yang bersih nanti jodohmu brewok," "kalau makan jangan menyisakan nasi, nanti ayamnya mati atau tidak nanti nasi menangis," "jangan keluar saat maghrib nanti diculik kalong wewe." Bagi positivistik modern, larangan-larangan seperti ini tampak tidak memiliki dasar logis dan sering dianggap sebagai sisa-sisa kepercayaan orang-orang di masa lalu. Namun hal ini berbeda dari kacamata antropologi, pamali bukan hanya sekedar superstisi yang kosong. Ia adalah sebuah fenomena sosio kultural yang kompleks dan multifungsi. Pamali merupakan representasi dari pengetahuan kolektif sebuah masyarakat yang terakumulasi selaba berabad-abad, dienkapsulasi  dalam bentuk yang mudah diingat dan disebarkan. Ia berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial, system simbolis yang memberikan makna, nilai moral, adaptasi budaya, logika mistik, dan keteratuan pada dunia. Dengan membedah pamali yang tersembunyi di baliknya dan memahami bagaimana masyarakat tradisional membangun sebuah tatanan kehidupan yang harmonis dan berkelanjutan. Ini kan menjadi tulisan untuk menganalisis pamali sebagai secara mendalam dari perspektif atau sudut pandang antropologi, menelusuri fungsinya dalam struktur social, perannya dalam menjaga keseimbangan ekologis, serta maknanya dalam jagat simbolis masyarkat pemiliknya.
      Sebelum menyelami pamali lebih jauh, penting untuk memahami konsep "kearifan lokal" itu sendiri. Pengertian kearifan lokal berasal dari 2 kata yaitu kearifan(wisdom) dan lokal(local). wisdom berarti kebijaksanan dan local  berarti setempat, local wisdom atau kearifan lokal adlaah ide-ide, gagasan, nilai, pendangan setempat (local) yang sifatnya bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh angora masyarakatnya. Kearifan lokal adalah bagian dari budaya suatu masyarakat yang tak terpisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri, biasanya diwariskan secara turun-temurun melalui cerita dari mulut ke mulut, tindakan, dan ucapara adat atau benda, ada dalam cerita masyarakat, peribahasa, lagu dan permainan rakyat dan artefak budaya.
Antropologi menyediakan beberapa pendekatan teoritis untuk menganalisis fenomena seperti ini:
- Menurut Keraf (2002), kearifan lokal mengcakup semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupannya didalam komunitas ekologis.
- Pendekatan fungionalis, pamali bisa dianggap sebagai bagian dari sistem sosial yang berfungsi untuk menjaga stablitas masyarakat.
- Pendekatan strukturalis, fenomena pamali dapat dianalisis sebagai bagian dari struktur budaya yang lebih besar.
- Pendekatan Psikologis, ini menyoroti aspek psikologis dalam fenomena pamali.
- Pendekatan kulturalisme, dari perspektif ini, pamali dipandang sebagai bagian dari kebudayaan yang berfungsi untuk mengkomunikasikan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya.
- Menurut H. Quaritch Wales, kearifan lokal adalah kemampuan budaya setempat dalam menghadapi budaya setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaam asing pada saat kedua kebudaayan itu berhubungan.
- Pedekatan fungsionalis berfokus pada fungsi sosial dari suatu fenomena dalam masyarakat. Dari perspektif ini,pamlai bisa dianggap sebagai suatu mekanisme untuk memestikan kestabilan sosial mengatur perilaku individu agar selaras dengan harapan sosial dan untuk menjaga harmoni dalam masyarakat
- Pendekatan strukturalisme, yang melihat masyarakat sebagai sistem yang terdiri dair elemen-elemen yang saling berkait dan ememliki fungsi tertentu. Dapat dianalisis sebagai simbolik dan struktur sosial yang ada didalam masyarakat.
- Menurut UU No.32/2009 tentang perlindunagn dan pengelolaan lingkungan hidup: kearifan lokal adalah nialai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat, anatra lain melindung dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Wujud kearifan lokal pamali
Kearifan lokal tidak berwujud (intangible) merupkaan kearifan lokal yang berbentuk petuah yang disampaikan secara verbal dan turun-temurun, yang berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya seperti nilai-nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi. Layaknya pamali yang menjadi kepercayaan dan tidak tertulis sebagai contoh : "jangan menebang pohon di dekat mata air, nanti airnya kering," "kalau nyapu yang bersih nanti jodohmu brewok," pamali bukanlah sebuah konsep monolitik, ia beroperasi di berbagai ranah kehidupan, dari urusan domestik hingga pengelolaan lanskap komunal. Secara umum, fungsinya dapat diuraikan ke dalam empat domain utama.
1. Pamali sebagai Mekanisme Kontrol Sosial dan Pendidikan Karakter
Fungsi paling mendasar dari pamali adalah sebagai alat kontrol sosial (social control). Dalam masyarakat yang belum mengenal sistem hukum formal tertulis secara ekstensif, adat, termasuk di dalamnya pamali, berfungsi sebagai konstitusi tak tertulis. Ia mengatur perilaku individu agar selaras dengan norma dan nilai-nilai komunal. Menurut Gorys Keraf pamali sering kali dilihat sebagai aturan atau larangan yang berkaitan dengan moralitas atau norma yang dipegang oleh masyarakat. Contoh klasik adalah larangan "jangan duduk di depan pintu." Secara fungsional-praktis, ini adalah aturan sopan santun agar tidak menghalangi jalan. Namun, sanksi simbolisnya ("sulit jodoh") jauh lebih kuat daripada sekadar teguran. Sanksi ini menginternalisasi norma tersebut ke dalam alam bawah sadar individu. Ia mendidik kaum muda untuk memposisikan diri secara sosial dengan benar, menjadi pribadi yang terbuka dan tidak menghalangi "jalan" bagi orang lain maupun "jalan" bagi rezeki dan kesempatan hidupnya sendiri.
Demikian pula pamali seperti "jangan menunjuk kuburan dengan jari telunjuk" atau "jangan melangkahi orang yang sedang tidur." Larangan ini menanamkan nilai fundamental dalam banyak kebudayaan di Indonesia: hormat (rasa hormat). Hormat tidak hanya kepada sesama yang hidup, tetapi juga kepada leluhur (yang disimbolkan oleh kuburan) dan kepada martabat tubuh manusia. Sanksi yang menyertainya seringkali berupa kesialan atau penyakit berfungsi sebagai benteng psikologis yang memastikan kepatuhan.
Dengan demikian, pamali adalah alat pedagogis yang efektif. Ia tidak memerlukan penjelasan logis-ilmiah yang panjang. Melalui narasi yang ringkas dan sanksi supranatural yang membangkitkan rasa takut dan segan, nilai-nilai etis seperti sopan santun, rasa hormat, dan kehati-hatian ditanamkan sejak dini, membentuk karakter individu sesuai dengan cetak biru budaya masyarakatnya.
2. Pamali sebagai Kearifan Ekologis dan Manajemen Sumber Daya Alam
Salah satu fungsi pamali yang paling mengesankan adalah perannya sebagai sistem manajemen lingkungan tradisional. Jauh sebelum konsep "konservasi" dan "pembangunan berkelanjutan" dirumuskan di tingkat global, banyak masyarakat adat di Nusantara telah mempraktikkannya melalui tabu-tabu ekologis. Kearifan local dalam bentuk ini sering kali berhubungan erat dengan penghormatan terhadap alam. Banayak pamali yang berfungsi untuk menjaga kelestarian alam dan ekosistem baik dalam hal berburu, berkebun, membangun rumah, maupun merusak alam.
Konservasi Hutan dan Air: Di banyak komunitas, seperti masyarakat Sunda di Jawa Barat, terdapat konsep leuweung larangan (hutan terlarang) atau leuweung titipan (hutan titipan). Area hutan ini dilindungi oleh serangkaian pamali yang melarang siapa pun untuk menebang pohon, berburu, atau bahkan memasuki area tersebut tanpa izin ritual. Salah satu pamali yang paling umum adalah larangan menebang pohon di sekitar mata air (sirah cai). Sanksinya bisa berupa penyakit, kesialan, atau keringnya mata air itu sendiri. Secara ekologis, larangan ini sangat rasional. Pepohonan di hulu sungai berfungsi sebagai "penyerap" air hujan (area resapan), menjaga stabilitas tanah, dan memastikan pasokan air yang berkelanjutan untuk pertanian dan kehidupan sehari-hari. Pamali di sini adalah bahasa budaya untuk sebuah prinsip hidrologi.
Perlindungan Keanekaragaman Hayati: Pamali juga mengatur hubungan manusia dengan fauna. Di beberapa komunitas Dayak di Kalimantan, ada larangan untuk memburu hewan tertentu yang dianggap sebagai jelmaan leluhur atau memiliki kekuatan magis. Secara biologis, hewan-hewan ini mungkin merupakan spesies kunci (keystone species) yang berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Larangan berburu pada musim kawin atau mengambil telur penyu di pantai-pantai tertentu adalah contoh lain bagaimana pamali berfungsi sebagai peraturan zonasi dan waktu untuk eksploitasi sumber daya alam, memastikan regenerasi populasi hewan.
Kearifan Maritim: Bagi masyarakat pesisir seperti Suku Bajo, pamali laut (pamali lao) mengatur praktik penangkapan ikan. Ada larangan menggunakan bom atau racun ikan karena dapat merusak terumbu karang secara permanen. Ada pula area-area laut tertentu yang dianggap sakral (taka karamat) dan terlarang untuk aktivitas penangkapan ikan, yang secara efektif berfungsi sebagai kawasan konservasi laut atau suaka perikanan (no-take zones), tempat ikan dapat berkembang biak tanpa gangguan.
Dalam perspektif ekologi budaya, pamali adalah bentuk adaptasi jangka panjang. Ia lahir dari observasi empiris terhadap hubungan sebab-akibat di alam, yang kemudian dibingkai dalam narasi supranatural untuk memastikan kepatuhan kolektif. Sanksi gaib adalah penegak hukum yang paling efektif ketika aparatur negara tidak hadir. Pamali yang mengatur aktivitas tertentu, seperti larangan untuk tidak menebang pohon sembarang, menjaga kesucian sumber air, atau tidak menangkap hewan yang dilindungi merupakan bentuk dari pengarturan ekologi yang bertujuan untuk melindungi keseimbangan alam.
3. Pamali sebagai Sistem Kesehatan Preventif Tradisional
Pamali juga beroperasi dalam domain kesehatan, terutama bagi kelompok rentan seperti ibu hamil dan bayi. Banyak larangan yang ditujukan kepada mereka tampak seperti mitos, tetapi seringkali memiliki dasar pengetahuan medis tradisional.
Seorang ibu hamil mungkin dilarang makan makanan tertentu, seperti nanas muda atau durian, karena dianggap "panas." Secara medis modern, beberapa buah tersebut mengandung zat yang dapat memicu kontraksi jika dikonsumsi berlebihan. Larangan bagi ibu hamil untuk duduk di tengah pintu atau keluar rumah saat magrib (sandekala) dapat diinterpretasikan sebagai anjuran untuk lebih banyak beristirahat dan menghindari waktu-waktu transisi (siang ke malam) yang dianggap rentan terhadap penyakit atau gangguan (misalnya, nyamuk demam berdarah yang aktif pada sore hari).
Larangan "jangan memotong kuku pada malam hari" seringkali ditertawakan. Namun, dalam konteks masyarakat pra-listrik dengan penerangan minim, larangan ini sangat praktis untuk mencegah luka dan infeksi. Sanksi mistisnya ("memperpendek umur") adalah cara untuk menekankan pentingnya kehati-hatian. Dengan demikian, pamali berfungsi sebagai panduan kesehatan masyarakat (public health guidelines) yang sederhana dan mudah dipahami, bertujuan untuk pencegahan penyakit dan pengurangan risiko.
4. Pamali sebagai Kerangka Simbolis dan Kosologis
Dari sudut pandang antropologi simbolik, fungsi terpenting pamali adalah untuk menciptakan keteraturan dan makna dalam alam semesta. Menurut Mary Douglas dalam bukunya Purity and Danger, konsep tabu (dan juga kesucian) adalah mekanisme fundamental manusia untuk mengklasifikasikan dunia. Dengan menetapkan batasan-batasan---antara yang boleh dan tidak boleh, yang aman dan berbahaya, yang suci dan duniawi---manusia membangun sebuah tatanan kosmis dari realitas yang sejatinya kacau. Kearifan local dalam banyak budaya Indonesia juga terhubung dengan kepercayaan spiritual yang mengatur perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan dunia gaib dean kekuatan-kekuatan spiritual. Pamali juga sering kali terkait dengan pantangan yang dianggap memiliki hubungan dengan dewa-dewa, roh leluhur, atau kekuatan gaib lainnya. Fenomena pamali sering kali dapat dipandang sebagai alat praktik ritual yang bertujuan untuk menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dan kekuatan spiritual. Larangan atau pantangan tertentu yang ada dalam masyarakat jauga bisa diartikan sebagai cara menjaga kesucian, kedamaian, dan  keseimbangan dengan duania yang lebih tinggi.
Pamali adalah penanda batas. Pintu, misalnya, adalah ambang batas (limen) antara ruang domestik (dalam) yang aman dan ruang publik (luar) yang tidak pasti. Duduk di ambang pintu berarti berada dalam posisi ambigu, tidak di dalam dan tidak di luar, yang secara simbolis mengganggu tatanan. Magrib adalah waktu liminal, peralihan antara siang (terang, aman) dan malam (gelap, misterius).
Lebih jauh, pamali menegaskan kosmologi sebuah masyarakat. Ia menghubungkan dunia manusia (macrocosmos) dengan dunia alam dan dunia roh (macrocosmos). Melanggar pamali tidak hanya berisiko mendatangkan sanksi sosial, tetapi juga mengganggu keseimbangan kosmis. Ini dapat membuat "penunggu" mata air marah, membuat arwah leluhur tidak berkenan, atau membuat Dewi Sri (dewi padi dalam mitologi Sunda dan Jawa) pergi. Kepercayaan ini menempatkan manusia bukan sebagai penguasa alam, melainkan sebagai salah satu elemen dalam sebuah jaringan kehidupan yang saling terhubung, di mana setiap tindakan memiliki konsekuensi kosmis.
Pamali di Era Kontemporer: modernisasi, kesehatan sosial di tengah modernisasi, teknologi.
      Merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dianalisis kerena meskipun kita hidup di dunia yang semakin modern dan global, banyak masyarakat di Indonesia terutama yang masih menjunjung tinggi niali-nilai adat tetep mempertahankan tradisi pamali dalam kehidupan sehari-hari. Era ini ditandai dengan kemajuan teknologi, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup tentu memberikan tantangan bagi eksistensi dari pamali, namun fenomena ini masih tetap relevan, bahkan beradaptasi dengan konteks zaman sekarang. Di era kontemporer, pamali juga dapat dihubungkan dengan etika sosial yang semakin berkembang di kalangan masyarakat, terutama terkait dengan isu-isu lingkingan hidup dan keberlanjutan.
Di dunia modern, eksistensi pamali menghadapi tantangan besar, seperti modernisasi, kesehatan sosial di tengah modernisasi, dan teknologi
1. Pemertahanan nailai tradisional dalam konteks modernisasi:
 Di tengah modernisasi dan globalisasi, pamali masih dapat ditemukan di komunitas adat yang menghargai betul tradisi dan norma local, namun banyak perubahan sosial yang terjadi akibat urbanisasi, yang menyebabkan beberapa pamali dilupakan. Beberapa kelompok adat terutama yang lebih terpencil masih menjalankan pamali dengan ketat, meskipun ada juga komunitas yang beradaptasi dengan cara-cara yang lebih fleksibel dalam menerapkannya. Sistem pendidikan formal mengajarkan cara berpikir logis, empiris yang seringkali bertentangan dengan penjelasan supranatural di balik pamali. Generasi muda yang terdidik secara modern cenderung melihat pamali sebagai produk pemikiran pra-ilmiah yang tidak relevan. Contoh: di kota-kota besar mungkin sebagian orang mulai menganggap pamali sebagi mitos atau kepercayaan kuno dan tidak relevan.
2. Pamali dan kesehatan sosial di tengah modernisasi:
         Dunia semakin berkembang dan akses informasi yang cepat dan gaya hidup yang serba cepat, pamali juga berperan dalam menjaga harmoni sosial dalam komunitas. Banyak pamali yang mengatur perilaku manusia dalam hubungan sosial, seperti larangan berbicara kasar, tidak menghormati orang tua, atau larangan melakukan sesuatu yang bisa mengganggu ketenteraman bersama. Paparan media global dan gaya hidup urban mengikis transmisi pengetahuan lisan antar-generasi. Figur kakek-nenek sebagai penjaga tradisi digantikan oleh figur-figur dari media massa, mempercepat pelunturan nilai-nilai lokal. Contoh: semisal, ada pamali yang melarang berbicara atau beraktivitas saat orang sedang berduka, disini pamali berperan untuk menjaga ketertiban sosial dan menghormati proses berduka yang masih sangat diharga oleh banyak komunitas adat.
3. Pamali dan teknologi:
Penggunaan teknologi membawa dampak besar terhadap cara hidup kita, termasuk dalam hal komunikasi dan interaksi sosial. Mekipun banyak kebiasaan-kebiasaan modern yang lebih bebas, pamali yang berkaitan dengan penghormatan terhadap orang tua dan etika berbicara bisa menjadi pedoman moral dalam dunia yang seba cepat ini. Contoh: media sosial, banyak orang yang cenderung berkomunikasi tanpa batasan, bahkan dengan cara yang kasar atau menyakiti peraan orang lain, disinilah pamali yang mengatur etika berbicara dapat memberikan pengingat kita misalnya mengingatkan kita untuk menghindari ujuaran kebencian atau menghormati orang yang lebih tua.
Fenomena pamali dalam era kontemporer, masih memiliki makna yang relevan dan fungsi sosial, meskipun tantangan modernitas sering kali menguji eksistensinya. Pamali yang berkaitan dengan penghormatan terhadap alam, kesejahteraan sosial, etika berbicara, dan keseimbangan lingkungan menunjjukan bahwa kearifan lokal ini tetap memiliki nilai yang penting dalam menjaga keberlanjuran budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup di tengah arus perubahan zaman ini.
Dengan deminikina semakin berkembangnya kesadaran tentang permasalahan sosial, pamali bisa diintergrasikan sebagai bagian dari praktik berkelanjutan yang mengatur kehidupan manusia dengan cara yang menghargai alam dan hubungan antara individu, dalam hal ini pamali menjadi lebih dari sekadar tabu tau larangan melainkan sebagai pedoman hidup yang dpat beradaptasi dengan konteks kontemporer.
Meskipun demikian, pamali tidak sepenuhnya lenyap. Ia menunjukkan daya tahan dan kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Beberapa pamali, terutama yang memiliki justifikasi ekologis, kini mengalami revitalisasi. Ketika ilmu pengetahuan modern "memvalidasi" kearifan di balik larangan menebang pohon di hulu sungai (pentingnya daerah resapan air) atau larangan penggunaan bom ikan (kerusakan terumbu karang), pamali mendapatkan legitimasi baru. Aktivis lingkungan dan pemerintah bahkan mulai bekerja sama dengan masyarakat adat untuk merevitalisasi pamali ekologis sebagai bagian dari program konservasi berbasis masyarakat.
Di ranah sosial, meskipun sanksi supranaturalnya mungkin telah melemah, nilai-nilai inti yang diajarkan pamali seperti sopan santun dan rasa hormat seringkali bertahan dalam bentuk etiket modern. Pamali bertransformasi dari sebuah larangan mistis menjadi sebuah pedoman etika sosial sekuler.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI