Di desa yang terletak di Yogyakarta, tepatnya di pesisir Gunungkidul, sedang mengalami suatu masalah yang tak kunjung henti. Para warga, terutama petani, merasa resah karena hasil pertanian yang sudah sungguh-sungguh digarap hancur di tangan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang kelaparan. Tidak dapat dipungkiri, kejadian ini sangat merugikan para petani. Tetapi, jika kita pahami lebih dalam, benarkah ini murni kesalahan monyet ekor panjang? Atau justru manusialah yang lebih dulu merampas ruang hidup mereka?
Siapa Mereka Sebenarnya?
Monyet ekor panjang merupakan primata asli Asia Tenggara yang hidupnya berkelompok dan mampu hidup di berbagai lingkungan, seperti hutan, bakau, rawa, dan tinggal di area dekat manusia. Adapun ciri fisik unik yang menjadi pembeda antara monyet ekor panjang jantan dan betina. Monyet ekor panjang jantan memiliki kumis, dan hal tersebut sudah sangat umum bagi kaum jantan, tetapi uniknya, para betina memiliki brewok yang menghiasi wajah mereka. Lalu pelengkap kantong pipi yang biasanya digunakan untuk menyimpan makanan. Dalam keadaan yang mendesak atau terburu-buru, monyet langsung mengisi kantong pipinya dengan makanan. Apabila keadaan sudah lebih tenang dan nyaman, barulah makanan tersebut dikeluarkan untuk dikunyah dan ditelan. Tak hanya itu, mereka juga memiliki bulu berwarna cokelat di bagian punggung yang bergradasi dengan warna putih di bagian perutnya. Monyet ekor panjang hidup berkoloni kurang lebih sebanyak 40 ekor monyet. Jumlah ini ditentukan oleh predator dan pertahanan terhadap sumber makanan. Agar komunikasi tetap terjaga, mereka menggunakan bermacam-macam suara dan ekspresi wajah. Kegiatan untuk menyambung hidup, yaitu mencari makan, biasanya dilakukan pada pagi hari pukul 06.00-10.00 dan sore hari pukul 15.00-17.45, dan sesekali pada siang hari pukul 13.00-14.00. Pola makan tersebut terjadi jika cuaca normal. Jika terjadi hujan dan angin kencang, maka aktivitas makan pun berubah lebih sedikit daripada biasanya. Bagi hutan, monyet ekor panjang ini membantu melestarikan lingkungan hutan. Ketika makan, monyet ekor panjang akan memakan daging buah lalu mengeluarkan lagi dengan cara meludahkan biji-biji ke tanah. Lalu mereka juga menelan biji-biji tersebut secara utuh, sehingga ditemukan biji utuh dalam kotoran mereka. Secara tidak langsung, perilaku ini akan membantu melestarikan hutan, karena biji-bijian yang disebarkan ini, nantinya akan tumbuh menjadi tumbuhan baru.
Mengapa Terjadi Konflik?
Monyet ekor panjang sering kali dianggap sebagai hama tanaman karena merusak pertanian milik warga, seperti yang terjadi di daerah Gunungkidul, Yogyakarta. Hal ini terjadi karena adanya alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman, serta adanya pembangunan jalan besar yang membuat habitat atau ruang hidup mereka menyempit. Bahkan, berkurangnya predator seperti ular dan elang karena diburu oleh manusia juga menjadi pemicu dari cepatnya populasi monyet ekor panjang berkembang. Akibatnya, tidak ada tempat untuk berlindung dan kehilangan sumber makanan karena pohon berkurang dan jumlah monyet semakin banyak. Apalagi jika sudah memasuki musim kemarau dan pasokan makanan menipis. Akhirnya, mau tidak mau, mereka turun ke perkebunan dan permukiman warga untuk mencari makanan agar dapat bertahan hidup.
Sering kali manusia menyalahkan sifat rakus monyet ekor panjang yang berakhir menyerang lahan. Padahal alasannya sangat sederhana, yaitu mereka lapar dan kekurangan sumber makanan akibat rusaknya habitat mereka. Dari sisi kesehatan pun berbahaya bagi manusia, karena terlalu berdekatan dengan monyet ekor panjang dapat meningkatkan risiko terjadinya penularan penyakit zoonosis. Singkatnya, penyakit zoonosis ini adalah penyakit infeksi yang ditularkan dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Sumber penyakit ini adalah berbagai jenis patogen, seperti jamur, virus, bakteri, dan parasit. Penularannya dapat dilakukan dengan cara kontak langsung melalui gigitan, cakaran, dan sentuhan langsung dengan hewan yang terinfeksi. Tidak hanya melalui gigitan, lebih parahnya, penularan dapat dilakukan melalui media udara dan air yang sudah terkontaminasi dengan patogen tersebut.
Manusia seharusnya terlebih dahulu menyadari bahwa tindakan monyet ekor panjang ini adalah akibat dari rusaknya habitat karena ambisi manusia. Bayangkan, sudah habitatnya dirusak, masih saja disalahkan dan dianggap rakus. Jika yang diperlakukan seperti itu adalah manusia, pastilah tersinggung dan akan membela diri. Sayangnya, mereka tidak dapat membela karena tidak tahu cara bernegosiasi seperti manusia.
Bagaimana Penyelesaian Konflik Tersebut?
Mengutip dari harianjogja.com, pemerintah setempat sudah berupaya memberikan makan, seperti ketela pohon atau singkong sekitar 85 kilogram per hari, yang disebar di beberapa titik. Akan tetapi, upaya tersebut tidak membuahkan hasil, malah populasi monyet ekor panjang tersebut meningkat dengan pesat. Para petani juga sudah melakukan perlindungan dengan memasang jaring-jaring di pertanian, tetapi hasilnya tidak sesuai harapan. Adapun kasus kecelakaan motor karena pengendara kaget melihat adanya monyet yang tiba-tiba melintas. Beberapa warga beranggapan untuk menekan populasi monyet ekor panjang dengan sterilisasi atau dibasmi, tetapi sayangnya, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan bahwa spesies ini masuk ke dalam golongan primata yang berada di ambang kepunahan pada Maret 2022. Hal ini disebabkan oleh eksploitasi, penyiksaan, dan perdagangan ilegal. Konflik ini harus segera ditangani karena sudah saling merugikan kedua pihak, yaitu monyet ekor panjang dan manusia.
Bagaimana Penyelesaian yang Tepat?