Mohon tunggu...
Pena Wimagati
Pena Wimagati Mohon Tunggu... Mahasiswa dan Jurnalis

Tulis, Baca, Nyanyi dan Berolahraga.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Surga Hitam: Udeido Collective dan Adonoriesme Papua

7 Oktober 2025   15:47 Diperbarui: 7 Oktober 2025   15:47 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan Seminar Presentasi dari Dr. Fitzerald Kennedy Sitorus tentang "Adornoiesme GM" di Teater Utan Kayu (TUK), 26/12/20024. (Dok. Youtube).

Goenawan Mohamad mengaitkan pemikiran Adorno dengan konteks sosial dan politik, menunjukkan bagaimana estetika dapat memiliki implikasi yang lebih luas dalam masyarakat. Buku GM juga menganalisis berbagai karya seni dari perspektif estetika Adorno, menyoroti bagaimana karya-karya tersebut dapat mengungkapkan kritik sosial dan menawarkan alternatif terhadap keadaan yang ada. Secara keseluruhan, "Estetika Hitam" adalah upaya untuk memahami dan menghargai seni yang membebaskan diri dari komodifikasi dan menawarkan perlawanan terhadap norma-norma sosial. Buku ini menunjukkan relevansi pemikiran Adorno dalam konteks modern.

Kolektif seni: Anggota Udeido (dari kiri) Dicky Takndare, Nelson Nakitme, Yanto Gombo, Andre Takimai, Betty Adii, Constantinus Ruharusun dan Michael Y
Kolektif seni: Anggota Udeido (dari kiri) Dicky Takndare, Nelson Nakitme, Yanto Gombo, Andre Takimai, Betty Adii, Constantinus Ruharusun dan Michael Y

Udeido Collective dan Adornoiesme Papua

Selain Adorno dan GM yang melihat seni sebagai senjata perlawanan dan simbol emansipasi umat manusia dari hegemoni kapital dan kolonial, di Papua kesadaran itu sudah muncul, misalnya dalam komunitas Udeido Collective. Udeido Collective adalah sebuah kolektif seniman muda dari Papua yang berkarya dalam seni visual kontemporer. Didirikan pada tahun 2018 di Yogyakarta, kolektif ini menyuarakan isu-isu sosial, budaya, dan kemanusiaan yang terjadi di Tanah Papua melalui karya seni mereka.

Nama Udeido berasal dari bahasa suku Mee di Papua, yang merupakan bentuk jamak dari kata ude. Ude adalah sejenis daun yang dipercaya dapat menyembuhkan luka dan menghentikan pendarahan. Dengan nama ini, mereka berharap karya seni mereka dapat "menyembuhkan luka-luka Papua".

Melalui seni, mereka mencoba memantik kesadaran publik mengenai situasi sosial-politik, pelanggaran HAM, dan isu lingkungan di Papua. Mereka juga menggali konsep-konsep kearifan lokal dari tradisi nenek moyang masyarakat Papua untuk menciptakan karya seni yang relevan dengan masa kini.

Salah satu karya penting mereka yang berkaitan dengan konsep "koreri" atau "pembaruan" dalam bahasa Biak(Kolektif Udeido membahas karya "The Koreri Transfotmation",https://youtu.be/8DjD0JD-K0s?si=3MaIVEzQg_oxd8B9). Mereka juga berpartisipasi dalam pameran bergengsi seperti Biennale Jogja 2021 dan pameran Present Continuous/Sekarang Seterusnya di Museum MACAN, Jakarta (https://www.dewimagazine.com/news-art/a). Karya mural mereka juga pernah dipamerkan di Lahore Biennale, Pakistan, pada tahun 2024 untuk menyuarakan isu deforestasi dan perampasan tanah adat di Merauke, (https://jubi.id/seni-budaya/2025/).

Kolektif ini terdiri dari seniman-seniman muda yang berasal dari berbagai wilayah di Papua, termasuk Jayapura, Wamena, Timika, Fakfak, dan Nabire.Nama-nama anggota pendiri dari Udeido Collective adalah seniman-seniman muda dari berbagai daerah di Papua yang bertemu di Yogyakarta. Mereka adalah: Betty Adii, Michael Yan Devis, Yanto Gombo, Nelson Natkime, Constantinus Ruharusun, Andre Takimai, dan Dicky Takndare, (https://www.thejakartapost.com/culture/2021/12/03html).

Foto istimewa Yanto Gombo dan mahakaryanya. (Dok. FB)
Foto istimewa Yanto Gombo dan mahakaryanya. (Dok. FB)

Yanto Gombo dan Estetika dari Surga Hitam 

Dari semua anggota Udeido Collectiva yang hebat-hebat. Kami akan berfokus pada salah satu nama, yaitu Yanto Gombo. Ia adalah representasi dari kolektifnya yang dengan lantang bersuara lewat seni, yang menjadikan seni sebagai senjata perlawanan dan wahana pendidikan politik kritis yang sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun