Melalui tulisan-tulisannya GM juga terlihat pakar dalam alam pemikiran kiri kritis, selain marxisme, ia juga memiliki bacaan filsafat yang mumpuni. Banyak pemikir kiri yang ia kenal corak dasar pemikirannya. Terakhir GM akrab dengan pemikiran-pemikiran dari para filsuf politik besar prancis seperti Albert Camus, Slavoj Sizek, Deridda, Foulcault, dan Ranciera, juga pemikir estetika kritis lainnya. Untuk membedah ini hadir Romo A. Setyo Wibowo dengan naskah materinya yang berjudul "Menjaga Gairah Emansipasi GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere", (Presentasi A. Setyo Wibowo, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO). Romo A. Setyo Wibowo membahas kecakapan GM dalam membaca dan mengunyah teks-teks antik. Romo Setyo membahasa bagaimana GM membaca dan menafsirkan salah satu epos tua bernama Zarathustra, judul seminarnya "Tafsir GM Atas Zarathustra". (Presentasi A. Setyo Wibowo, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).
Selain oleh Karl Marx, salah satu pemikir yang menjadi pilar besar pemikiran dan refleksi filosofis GM adalah Nietzche, Yulius Tandyanto dengan seminarnya yang berjudul "Siapa Nietzche-nya GM?". Dalam materi ini Tandyanto yang cukup jeli melahap habis karya dan pemikiran Nietzche dari bangku s1, s2 di SFT Driyarkara, dan kini studi s3-nya di Jerman, rasanya relevan ia menjadi salah satu pelukis wajah GM dengan kuas dan cat pemikiran Nietzche, (Presentasi Yulius Tandyanto, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).
Terakhir ada Fitzerald K. Sitorus yang akan menalar GM dan habitus barunya, yaitu melukis. Bertolak dari Adorno, Sitorus akan memperlihatkan irisan antara Adorno dan GM dalam mencerap seni dan menghayatinya dalam semedi kehidupan dan perlawanan simbol, untuk materi Sitorus berjudul "Adornoiesme GM", (Presentasi Fitzerald K. Sitorus,) https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).Â
Kami sengaja mengangkat seri kuliah umum filsafat "Membaca Goenawan Mohamad" di atas sebagai percikan rangsangan awal untuk memahami gejolak perang simbol yang sudah, sedang, dan senantiasa bergulir di bumi Papua. Inspirasi kami adalah tulisan Sitorus tentang "Adornoiesme GM". Kami akan mencoba melihat perjuangan Udeido Collective, khususnya Yanto Gombo dalam pancaran filsafat seni Adorno dan GM. Adorno melihat seni sebagai senjata perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme demikian GM pun salam bukunya "Estetika Hitam" mencoba mengekspos pemikiran kritis Adorno atas seni. Di Papua, rupanya pandangan bahwa seni adalah kekuatan dan senjata perjuangan kira sudah muncul sejak era Mimi Fatahan, Mambesak, Black Brothers, Black Sweet, hingga kini pada Udeido Collective.Â
Tulisan ini terbagi ke dalam beberapa bagian, pertama adalah pengantar ke dalam filsafat seni Adorno, kedua GM dan Estetika Hitamnya, ketiga Udeido Collective dan Adornoiesme Papua, keempat atau yang terakhir Yanto Gombo dan Estetika dari Surga Hitam.Â
Filsafat Seni Adorno
Adorno lahir dengan nama lengkap Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno di Frankfurt, Jerman, pada 11 September 1903. Ayahnya adalah seorang pedagang anggur Yahudi, dan ibunya adalah seorang penyanyi opera Katolik keturunan Italia. Adorno menerima pendidikan yang sangat baik, termasuk pelajaran musik dari bibinya dan komposisi dari Alban Berg (1885-1935), seorang komposer besar abad 21 dari Wina. Berg terkenal dan dikenang karena telah membawa banyak "nilai-nilai kemanusiaan" ke sistem dua belas nada (dodekafoni), karyanya dianggap lebih "emosional" daripada karya Arnold Schonberg (1874-1951), gurunya yang juga merupakan seorang komposer besar asal Austria. Musik memainkan peranan penting dalam hidup pribadi dan kelak dalam ide filosofis Adorno. Ia lulus dalam bidang filsafat dari Universitas Frankfurt pada tahun 1924 dan menyelesaikan gelar doktornya pada tahun 1931. Karena berdarah Yahudi, Adorno terpaksa mengasingkan diri dari Jerman setelah Hitler berkuasa. Ia tinggal di London dan kemudian di Amerika Serikat, di mana ia bekerja di Institut Penelitian Sosial yang direlokasi. Pada tahun 1949, Adorno kembali ke Frankfurt bersama Max Horkheimer untuk membangun kembali Institut Penelitian Sosial dan menghidupkan kembali Mazhab Frankfurt.
Bersama para pemikir Mazhab Frankfurt lainnya seperti Max Horkheimer, Hebert Marcuse, dan Walter Benjamin, Adorno mengembangkan Teori Kritis, yang menentang teori tradisional dengan menjadikan masyarakat sebagai objek kritik dan menolak gagasan produksi budaya yang terlepas dari tatanan sosial. Ia menciptakan istilah "industri budaya" untuk menggambarkan eksploitasi sistematis dan terprogram terhadap barang-barang budaya demi keuntungan. Menurut Adorno, industri ini merendahkan karya seni menjadi komoditas, sehingga menghilangkan potensi kritis dan perlawanannya. Adorno mengkritik rasionalisme instrumental yang ia yakini telah menyebabkan dominasi alam dan manusia, yang berpuncak pada totalitarianisme dan fasisme. Filosofinya seringkali ditandai dengan nada pesimistis, menyoroti tema kemerosotan dan dekomposisi dalam seni, filsafat, dan masyarakat. Selama masa hidupnya Adorno banyak menghasilkan karya-karya besar, misalnya: Dialektika Pencerahan (bersama Max Horkheimer, 1944); Filsafat Musik Baru (1949); Dialektika Negatif (1966); Teori Estetika (1970). Adorno meninggal dunia pada 6 Agustus 1969 di Visp, Swiss, pada usia 65 tahun, (Theodor W. Adorno dqlam Ensiklopedia Filsafat Stanford, https://share.google/KNAJqEUqz4zO5tK6Z).
Dalam materi seminar filsafat yang dipaparkan oleh Dr. Fitzerald Kennedy Sitorus tentu kita bisa ringkas menjadi beberapa pokok berikut sebagai gambaran umum dari gagasan filosofis Adorno tentang seni: