Mohon tunggu...
Pena Wimagati
Pena Wimagati Mohon Tunggu... Mahasiswa dan Jurnalis

Tulis, Baca, Nyanyi dan Berolahraga.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Selamat Jalan Mama Orang Baik

6 Oktober 2025   17:29 Diperbarui: 6 Oktober 2025   17:49 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret turut belasungkawa atas wafatnya Ibu Imel. (Dokpri).

Oleh: Degei Siorus

Ada hari-hari yang terasa lebih berat dari biasanya. Hari di mana kabar datang bukan sebagai tamu, melainkan sebagai hantaman. Minggu, 5 Oktober 2025, menjadi hari seperti itu bagiku. Dari jauh, kabar berpulangnya Ibu Imelda atau yang kami panggil dengan penuh kasih, Mama Imel mendarat pelan di telinga, tapi menimbulkan gelombang besar di dalam hati.

Aku terdiam lama. Kata-kata tidak mau keluar. Hanya kenangan yang satu per satu datang, membentuk arus panjang dari masa lalu. Dalam diam itu, aku kembali melihat wajah lembutnya, senyumnya yang ramah, dan matanya yang teduh menatap Mama ketika mereka masih bekerja bersama di Dinas Perikanan dan Kelautan Nabire. 

Kakak, Guru, dan Sahabat bagi Mama

Kami biasa memanggilnya 'Ibu Imel'. Ia adalah senior Mama di kantor. Bukan hanya atasan, tapi juga kakak, guru, sekaligus sahabat yang selalu hadir dalam setiap suka dan duka. Aku masih ingat bagaimana Mama sering menyebut namanya di rumah, bersama satu nama lain yang juga sangat berarti: Nene Hanna.

Dua nama itu adalah dua pilar dalam kehidupan Mama selama bekerja. Mama sering berkata, "Kalau bukan karena Nene Hanna dan Ibu Imel, mungkin Mama tidak akan sekuat ini." Aku selalu mendengar kisah mereka bertiga kisah perempuan-perempuan tangguh yang saling menopang di tengah kerasnya hidup dan sistem yang tidak selalu berpihak pada mereka.

Hubungan mereka bukan hubungan biasa antara kepala ruangan dan staf. Mereka sudah seperti keluarga. Mama sering bercerita, bagaimana mereka bisa tertawa bersama di sela-sela pekerjaan, saling membantu saat beban kerja menumpuk, dan saling mengunjungi di luar jam kantor. Mereka berbagi cerita tentang keluarga, anak-anak, bahkan doa-doa kecil yang tumbuh dari keletihan hari-hari.

Suatu kali Mama bercerita:

 "Waktu dulu Mama lagi stres karena laporan belum selesai, Ibu Imel datang ke meja Mama dan cuma bilang, 'Santai saja, De. Kita kerjakan sama-sama.' Dari situ Mama tahu, dia bukan hanya atasan, tapi saudara." Ujar mamaku. 

Kata-kata sederhana seperti itu, bagi Mama, sudah menjadi penopang besar. Dalam dunia kerja yang sering keras, Ibu Imel membawa kelembutan. Ia bisa tegas, tapi tidak pernah menyakiti. Ia bisa memimpin, tapi tetap merangkul. Itulah mengapa Mama selalu menaruh hormat yang tulus padanya.

Bahkan, saking dekatnya, nama Imelda tidak hanya berhenti sebagai kenangan di kantor tapi menjadi bagian dari keluarga kami. Mama memberikan nama itu kepada adik perempuanku yang kedua, sama seperti ia memberi nama Rossina (nama tengah Nene Hanna) kepada adik bungsu kami. Nama-nama itu menjadi simbol kasih dan persaudaraan yang terjalin bukan karena darah, tapi karena cinta.

Namun, yang paling membekas di hatiku adalah masa ketika keluarga kami berada di titik terendah. Aku masih kecil waktu itu. Rumah tangga Mama dan Bapa kami tidak lagi berjalan baik. Ada pertengkaran, ada diam panjang, dan akhirnya ada perpisahan. Mama memilih pergi bukan karena benci, tapi karena ingin bertahan.

Ia keluar dari rumah tanpa membawa banyak barang, hanya beberapa pakaian, dokumen penting, dan keberanian. Ia menumpang di sebuah gubuk tua, beratap seng bocor, berdinding papan yang sudah lapuk, dan hanya ada satu lilin kecil yang menjadi penerang di malam hari.

Aku masih ingat wajah Mama waktu itu letih, tapi tegar. Ia tidak meneteskan air mata di depan kami, tapi aku tahu hatinya sedang berperang.

Keesokan harinya, Mama pergi ke kantor dan bercerita apa adanya kepada dua orang yang paling ia percaya: Nene Hanna dan Ibu Imel. Tidak ada rahasia, tidak ada kebohongan. Ia hanya bercerita, dengan suara yang serak dan mata yang merah, tentang rumah tangganya yang retak dan tekadnya untuk memulai hidup baru.

Kata Mama, waktu itu Ibu Imel memeluknya.

 "Kau perempuan kuat, De. Tuhan tidak akan biarkan kau sendirian," katanya.

Dari hari itu, mereka bukan lagi sekadar rekan kerja. Mereka menjadi keluarga. Ibu Imel dan Nene Hanna menolong Mama, bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata. Mereka datang ke rumah, membantu Mama mengurus administrasi, memberi semangat, dan bahkan ikut membantu mencarikan solusi agar Mama bisa membeli sebidang tanah melalui kredit kantor.

Membangun dari Nol

Tanah itu tidak luas, tapi bagi kami waktu itu, tanah itu adalah secercah harapan. Di atasnya berdiri pondasi rumah tua yang hampir roboh. Mama membeli tanah itu dengan dua kali kredit besar  keputusan yang sangat berani bagi seorang pegawai biasa dengan gaji terbatas. Tapi Mama berkata,

"Kalau tidak ada rumah, anak-anak tidak punya tempat pulang."

Dan di balik keputusan itu, ada tangan lembut Ibu Imel yang membantu memudahkan urusan administrasi. Ia tahu kondisi Mama. Ia tahu betapa berat beban yang dipikulnya. Tapi ia tidak pernah menilai. Ia justru membuka jalan agar proses itu lancar, bahkan ketika banyak orang lain ragu.

Beberapa hari setelah tanah itu dibeli, Mama tinggal sendirian di gubuk tua itu. Hanya sesekali kami datang membantu. Di depan rumah itu, ada seorang tetangga yang kami panggil Tete Winoto seorang pensiunan tentara asal Buton yang pernah bertugas di Timor Timur. Tete Winoto melihat Mama bekerja sendirian, dan tanpa diminta, ia menawarkan diri membantu membangun rumah kecil.

Tanpa upah, tanpa pamrih. Hanya ketulusan.

Rumah pertama itu berukuran kecil, hanya 2x3 meter, dengan empat ruangan sederhana: ruang tamu, ruang makan, dan dua kamar tidur sempit. Tapi bagi kami, rumah itu seperti istana. Kami tinggal di sana bertahun-tahun, berdesakan tapi bahagia, sampai Mama akhirnya berani mengambil kredit kedua untuk membangun rumah permanen di atas pondasi lama itu.

Dan lagi-lagi, di balik keberanian itu, ada Ibu Imel.

Ia yang mendorong, menyemangati, dan membantu memastikan administrasi berjalan lancar.

 "Kalau ini untuk masa depan anak-anakmu, jangan takut berutang, De. Rumah bisa jadi warisan, dan doa mereka akan jadi kekayaanmu," katanya suatu kali kepada Mama.

Kata-kata itu seperti suluh dalam kegelapan. Mama berjuang keras, menanggung dua kali potongan kredit, tapi tidak menyerah. Ia tetap bekerja dengan disiplin, tetap menyiapkan makan kami, tetap tersenyum di tengah letih. Dan di setiap langkahnya, aku tahu ada kekuatan yang datang dari dukungan dua sosok perempuan hebat: Nene Hanna dan Ibu Imel.

Ada satu kenangan yang tidak pernah hilang. Hari ketika aku hendak berangkat ke seminari menengah di Waena. Saat itu keluarga kami tidak punya banyak. Mama sudah sibuk mengurus banyak hal, tapi masih bingung bagaimana memenuhi perlengkapan sekolahku.

Lalu datanglah Ibu Imel. Ia datang membawa kantong plastik besar berisi sepatu, payung, beberapa pasang pakaian, dan perlengkapan sekolah lainnya. Ia hanya tersenyum, tanpa banyak bicara.

"Ini sedikit saja, Degei. Pakailah baik-baik di seminari. Belajarlah sungguh, bantu doakan mama-mu supaya tetap kuat."

Aku tidak bisa menahan air mata waktu itu. Bagiku, itu bukan sekadar bantuan. Itu kasih seorang ibu bagi anak orang lain.

Dan bukan hanya ia istri dari Tete Winoto pun ikut mengantar kami ke pelabuhan waktu itu, memastikan aku berangkat dengan selamat. Semua orang baik yang pernah hadir dalam hidup kami seperti saling terhubung dalam satu tali kasih yang sama. Dan di antara mereka, sosok Ibu Imel berdiri sebagai simpul yang kuat, pengikat yang membuat semuanya terasa hangat.

Berita yang Menyayat Datang

Dan sekarang, semua itu tinggal kenangan.

Pagi ini, Senin, 6 Oktober 2025, di Mauwa, aku menerima kabar berpulangnya Ibu Imel ke rumah Bapa.

Aku duduk lama di kapela kecil pastoran, di antara cahaya redup lilin misa pagi. Bacaan Injil hari itu adalah tentang Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:25--37). Aku menatap altar, mendengar sabda itu dibacakan, dan tanpa sadar air mata menetes.

 "Siapakah sesamaku manusia?" tanya ahli Taurat kepada Yesus.

Dan Yesus menjawab dengan kisah tentang seseorang yang menolong tanpa pamrih.

Akupun langsung teringat tentang ibu Imel. Dia adalah "Orang Samaria yang Baik" dalam kehidupan kami. Ia tidak menolong karena harus, tapi karena hati. Ia tidak menilai siapa kami, dari mana kami, atau seberapa rumit masalah kami. Ia hanya datang dan berkata, "Saya bantu, De."

Dan bantuan itu bukan hanya dalam bentuk barang atau uang, tapi dalam bentuk kehadiran yang setia, lembut, dan penuh kasih.

Kalau aku merenung sekarang, aku sadar bahwa hidup kami berubah karena orang-orang seperti Ibu Imel. Ia datang dari Timor Leste, menikah dengan pria Biak, dan menetap di Nabire. Dari latar belakang yang berbeda-beda, ia menanam cinta di tanah yang baru. Ia membangun keluarga, membesarkan dua anak Maria dan Ino dengan kasih yang sama seperti yang ia berikan kepada banyak orang di sekitarnya, termasuk Mama saya.

Ia tidak hidup dalam kemewahan, tapi ia kaya dalam kebaikan. Ia tidak berteriak tentang iman, tapi hidupnya sendiri menjadi doa.

Orang seperti Ibu Imel mengajarkan padaku bahwa kasih tidak harus besar, tapi nyata. Ia hadir di antara kita seperti cahaya kecil yang cukup untuk menerangi ruang gelap di hati.

Kepergian dan Doa yang Tersisa

Saya sedih karena belum sempat membalas kebaikannya. Sering kali saya membayangkan suatu hari nanti, ketika sudah selesai menempuh jalan panggilan ini, saya akan datang ke rumahnya, mempersembahkan misa syukur untuknya dan keluarganya sebagai tanda terima kasih atas semua yang telah ia berikan. Tapi rencana itu takkan terjadi lagi.

Tuhan lebih dulu memanggilnya pulang. Namun, saya percaya, setiap kebaikan tidak pernah mati. Setiap doa yang ia ucapkan, setiap bantuan kecil yang ia berikan, setiap senyum yang ia tebarkan semuanya akan tetap hidup di hati orang-orang yang pernah disentuhnya.

Dalam setiap misa, saya akan selalu menyebut namanya. Dalam setiap doa untuk arwah, saya akan menambahkan: "Tuhan, terimalah Mama Imel di pangkuan-Mu yang damai."

Ketika menulis ini, kenangan datang silih berganti. Saya bisa melihat kembali wajah Mama ketika bercerita tentang Ibu Imel mata yang berbinar, suara yang lembut, tapi sarat rasa hormat dan rindu. Saya tahu, Mama sangat kehilangan. Bagi Mama, Ibu Imel bukan hanya rekan kerja, tapi saudari, pelindung, dan tempat bersandar.

Dan bagi kami, anak-anaknya, Ibu Imel adalah bagian dari kisah hidup kami. Ia bukan darah, tapi sudah menjadi keluarga.

Kini, ketika ia telah pergi, yang tersisa hanyalah doa dan kenangan. Tapi mungkin, itu sudah cukup. Karena orang-orang baik tidak pernah benar-benar pergi. Mereka tinggal di dalam cerita, di dalam cara kita mencintai, dan di dalam nilai-nilai yang kita teruskan.

Terima kasih sudah menjadi "sesama yang baik" bagi Mama saya.

Terima kasih sudah menolong tanpa pamrih, mencintai tanpa batas, dan mengajarkan kami bahwa kasih selalu menemukan jalannya.

Kami akan terus mengenangmu, bukan dalam tangis yang panjang, tapi dalam syukur yang tenang. Karena kami tahu, engkau sudah sampai di rumah yang benar rumah yang penuh cahaya dan damai.

Beristirahatlah dalam pelukan Tuhan, Mama orang baik.

Kami akan melanjutkan hidup dengan kenangan dan doa yang kau tinggalkan.[*]

Catatan: Tulisan ini penulis tuliskan sebagai ungkapan turut berdukacita yang mendalam atas kepergian sahabat dari mama penulis, yang juga penulis anggap sebagai guru dan kakak, Mama Imel. Mauwa, 6 Oktober 2025.

*)Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura (Frater) yang tengah tugas di Paroki St. Petrus Mauwa, Dekenat Kamapi, Keuskupan Timika. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun