Aku tidak bisa menahan air mata waktu itu. Bagiku, itu bukan sekadar bantuan. Itu kasih seorang ibu bagi anak orang lain.
Dan bukan hanya ia istri dari Tete Winoto pun ikut mengantar kami ke pelabuhan waktu itu, memastikan aku berangkat dengan selamat. Semua orang baik yang pernah hadir dalam hidup kami seperti saling terhubung dalam satu tali kasih yang sama. Dan di antara mereka, sosok Ibu Imel berdiri sebagai simpul yang kuat, pengikat yang membuat semuanya terasa hangat.
Berita yang Menyayat Datang
Dan sekarang, semua itu tinggal kenangan.
Pagi ini, Senin, 6 Oktober 2025, di Mauwa, aku menerima kabar berpulangnya Ibu Imel ke rumah Bapa.
Aku duduk lama di kapela kecil pastoran, di antara cahaya redup lilin misa pagi. Bacaan Injil hari itu adalah tentang Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:25--37). Aku menatap altar, mendengar sabda itu dibacakan, dan tanpa sadar air mata menetes.
 "Siapakah sesamaku manusia?" tanya ahli Taurat kepada Yesus.
Dan Yesus menjawab dengan kisah tentang seseorang yang menolong tanpa pamrih.
Akupun langsung teringat tentang ibu Imel. Dia adalah "Orang Samaria yang Baik" dalam kehidupan kami. Ia tidak menolong karena harus, tapi karena hati. Ia tidak menilai siapa kami, dari mana kami, atau seberapa rumit masalah kami. Ia hanya datang dan berkata, "Saya bantu, De."
Dan bantuan itu bukan hanya dalam bentuk barang atau uang, tapi dalam bentuk kehadiran yang setia, lembut, dan penuh kasih.
Kalau aku merenung sekarang, aku sadar bahwa hidup kami berubah karena orang-orang seperti Ibu Imel. Ia datang dari Timor Leste, menikah dengan pria Biak, dan menetap di Nabire. Dari latar belakang yang berbeda-beda, ia menanam cinta di tanah yang baru. Ia membangun keluarga, membesarkan dua anak Maria dan Ino dengan kasih yang sama seperti yang ia berikan kepada banyak orang di sekitarnya, termasuk Mama saya.