Bahkan, saking dekatnya, nama Imelda tidak hanya berhenti sebagai kenangan di kantor tapi menjadi bagian dari keluarga kami. Mama memberikan nama itu kepada adik perempuanku yang kedua, sama seperti ia memberi nama Rossina (nama tengah Nene Hanna) kepada adik bungsu kami. Nama-nama itu menjadi simbol kasih dan persaudaraan yang terjalin bukan karena darah, tapi karena cinta.
Namun, yang paling membekas di hatiku adalah masa ketika keluarga kami berada di titik terendah. Aku masih kecil waktu itu. Rumah tangga Mama dan Bapa kami tidak lagi berjalan baik. Ada pertengkaran, ada diam panjang, dan akhirnya ada perpisahan. Mama memilih pergi bukan karena benci, tapi karena ingin bertahan.
Ia keluar dari rumah tanpa membawa banyak barang, hanya beberapa pakaian, dokumen penting, dan keberanian. Ia menumpang di sebuah gubuk tua, beratap seng bocor, berdinding papan yang sudah lapuk, dan hanya ada satu lilin kecil yang menjadi penerang di malam hari.
Aku masih ingat wajah Mama waktu itu letih, tapi tegar. Ia tidak meneteskan air mata di depan kami, tapi aku tahu hatinya sedang berperang.
Keesokan harinya, Mama pergi ke kantor dan bercerita apa adanya kepada dua orang yang paling ia percaya: Nene Hanna dan Ibu Imel. Tidak ada rahasia, tidak ada kebohongan. Ia hanya bercerita, dengan suara yang serak dan mata yang merah, tentang rumah tangganya yang retak dan tekadnya untuk memulai hidup baru.
Kata Mama, waktu itu Ibu Imel memeluknya.
 "Kau perempuan kuat, De. Tuhan tidak akan biarkan kau sendirian," katanya.
Dari hari itu, mereka bukan lagi sekadar rekan kerja. Mereka menjadi keluarga. Ibu Imel dan Nene Hanna menolong Mama, bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata. Mereka datang ke rumah, membantu Mama mengurus administrasi, memberi semangat, dan bahkan ikut membantu mencarikan solusi agar Mama bisa membeli sebidang tanah melalui kredit kantor.
Membangun dari Nol
Tanah itu tidak luas, tapi bagi kami waktu itu, tanah itu adalah secercah harapan. Di atasnya berdiri pondasi rumah tua yang hampir roboh. Mama membeli tanah itu dengan dua kali kredit besar keputusan yang sangat berani bagi seorang pegawai biasa dengan gaji terbatas. Tapi Mama berkata,
"Kalau tidak ada rumah, anak-anak tidak punya tempat pulang."