Mohon tunggu...
Pena Wimagati
Pena Wimagati Mohon Tunggu... Mahasiswa dan Jurnalis

Tulis, Baca, Nyanyi dan Berolahraga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menulis Etnografi Papua: Antara Tradisi, Globalisasi, dan Peran Pemuda

28 September 2025   23:49 Diperbarui: 28 September 2025   23:49 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret budaya gunung Papua 

Selama ini, negara cenderung memandang Papua dari kacamata sempit: keamanan dan ekonomi. Papua dilihat sebagai daerah konflik dan ladang sumber daya. Pandangan semacam ini sering mengabaikan dimensi budaya. Contohnya sederhana: pemerintah membangun jalan tanpa dialog adat. Bagi negara, itu infrastruktur. Bagi masyarakat, itu bisa berarti kehilangan tanah leluhur. Ritual disingkirkan demi efisiensi proyek, padahal yang hilang bukan hanya upacara, tetapi juga sistem pengetahuan yang menjaga ekologi. Etnografi bisa menjadi penyeimbang. Ia mengingatkan bahwa pembangunan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal menanamkan akar pada budaya. Masyarakat adat tidak boleh dipandang sebagai penghalang, melainkan sebagai sumber pengetahuan.

 Menjaga Akar di Tengah Angin

Papua berada di titik penting. Jika globalisasi dijalani tanpa refleksi, identitas bisa hilang. Tetapi jika globalisasi dijalani dengan akar budaya, justru ia akan memperkuat jati diri. Etnografi adalah jembatan. Ia merekam keragaman, menjadi refleksi kritis, dan mengajarkan kita untuk tidak sekadar melihat Papua dari luar. Tradisi dan modernitas tidak harus dipertentangkan. Pemuda adalah kunci pertemuan itu. Dengan kreativitas, mereka bisa menjaga akar budaya sekaligus membuka jalan masa depan. Sebagaimana kata Dr. George Mentansan: menulis etnografi bukan monopoli akademisi, tetapi tugas siapa saja yang berani menyelami kehidupan masyarakat dan menuliskannya dengan jujur. Dalam dunia yang berubah cepat, suara masyarakat adat bukan objek penelitian, tetapi sumber kebijaksanaan. Papua tidak boleh hanya dilihat sebagai tanah kaya, tetapi harus dipahami sebagai tanah pengetahuan. Dan pada akhirnya, Papua adalah cermin: ia mengajarkan kita bahwa hidup tidak hanya soal membangun jalan atau menggali tambang, tetapi juga soal merawat akar, mendengar suara leluhur, dan menjaga hubungan manusia dengan alam.[*]

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura

Sumber inspirasi: Dr. George Mentansan, Dosen Antropologi Universitas Papua (Unipa), Manokwari

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun