"Jangan Kak. Jangan lakukan itu. Hidup sangat berharga," katanya.
"Kau tau apa, bocah? Kau tak tau kehidupan sangat keras. Kau akan menyadarinya ketika sudah dewasa nanti."
"Kak, jangan akhiri hidup Kakak. Pikirkan orang tua dan keluarga kakak di rumah. Mereka akan kecewa jika melihat kakak pergi begitu saja seperti ini," imbuh si bocah.
"Ah, mereka tak akan sedih melihatku mati. Aku lebih baik mati daripada jalani hidup yang tak pasti."
"Jangan, Kak. Jangan berkata seperti itu. Kumohon, bertahanlah menjalani kehidupan. Banyak orang di luar sana yang sakit-sakitan ingin sembuh dari sakitnya dan memiliki hidup yang panjang dengan diberikan kesehatan. Entah serumit apapun hubungan kita dengan orang tua, mereka tetaplah orang-orang yang menyayangi kita. Kakak tahu, meski usiaku masih muda, setiap harinya aku juga menjalani keras dan pahitnya hidup. Setelah fajar tiba, aku membantu ibuku membuat kue untuk dijual di pasar. Ayahku sakit-sakitan dan tak bisa bekerja untuk mencari nafkah keluarga. Sepulang sekolah pun aku masih harus kerja di toko kelontong untuk dapatkan uang tambahan. Tapi, sekarang aku sangat sedih karena tak lagi bisa bantu ibu mencari uang," kata bocah tadi menjelaskan.
Mendengar kisah si bocah, si gadis itu akhirnya menerawang jauh dalam pikirannya mengenang kembali masa-masa muda yang pernah dilewatinya dulu, di masa lalu. Kalau dipikir-dipikir, masa mudanya dulu tak sepahit masa muda yang dilalui bocah itu. Mulai dari kanak-kanak hingga remaja, hidupnya serba kecukupan. Makan pun selalu tersedia. Uang jajan pun juga selalu didapatkannya. Biaya sekolah pun orang tuanya mampu memberikan. Hanya saja setelah dewasa, dia tidak bisa meembuat cita-citanya menjadi nyata. Atau, lebih tepatnya kata "tidak bisa" diganti menjadi "belum bisa". Jika dipikirkan kembali, mungkin usaha yang dikerahkannya belum maksimal. Dan dia terlalu mendramatisir kehidupannya. Bahkan salah seorang kawan lamanya pernah berkata, "Kamu kurang bersyukur. Cobalah bersyukur. Syukuri nikmat sekecil apapun yang diberikan-Nya. Niscaya hatimu akan terasa luas."
Lambat laun tanpa disadarinya, kedua kakiknya beranjak turun dari pohon yang dipanjatnya. Dia merasa malu pada bocah remaja tadi. Dia adalah orang dewasa yang harusnya bisa berpikir proaktif, bukannya reaktif. Dia harusnya berpikir rasional, bukannya malah tanpa berpikir panjang mengakhiri hidup dengan cara tak normal. Ya Tuhan, mengapa begitu sempit pemikirannya?Â
Setelah tersadarkan bahwa apa yang dilakukannya saat itu adalah salah, akhirnya dia ingin menanyakan banyak hal kepada si bocah tadi. Dia ingin bertanya siapa namanya, darimana asalnya, mengapa tiba-tiba dia bisa berada di taman itu, dan mengapa pula sempat si bocah berkata bahwa dia tak lagi bisa bantu ibunya bekerja. Namun sebelum sempat dia utarakan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dari pikirannya, si bocah telah menghilang.
Ditengoknya arah kanan dan kirinya. Tak ada siapa-siapa di sana. Kemanakah perginya si bocah? Taman itu cukup luas. Harusnya dia bisa tahu jika si bocah tadi pergi. Ah, entahlah. Mungkin dia memang ingin segera pergi. Pikirnya kala itu. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke rumahnya bertemu orang tuanya dan meminta maaf sebesar-besarnya karena hampir saja dia akhiri hidupnya. Dan dia akhirnya sadar bahwa dia tak boleh mudah berputus asa. Kehidupan memang keras, namun harus tetap diperjuangkan.
Sambil berjalan lunglai menyesali perbuatannya yang tak rasional, dia menyusuri jalanan berlubang menuju rumahnya. Dilihatnya mobil polisi yang sempat ia jumpai masih berada di tempat yang sama. Namun yang membuat dia penasaran adalah ada kerumunan banyak orang di sana. Karena keingintahuannya atas apa gerangan yang sedang terjadi, akhirnya dia hampiri mobil polisi itu. Dan ada banyak orang yang saling berkasak-kusuk.
"Ya Tuhan, kasihan sekali dia. Naas nasibnya," kata salah seorang di sana.