"Aku doakan kamu bahagia. Tapi jangan lupa, kamu pernah membakar hatiku dan membiarkannya jadi abu."
Wira membaca pesan itu di dalam mobil, sambil memandangi anak-anak sekolah pulang dengan tas punggung besar. Ia menyesap kopi yang sudah dingin. Lalu menyalakan mesin.
Beberapa tahun kemudian, Wira duduk di ruang tamu, menatap wajah Lestari yang menua dengan tenang. Ia tidak pernah tahu apakah istrinya tahu. Tapi terkadang, seseorang tidak butuh bukti untuk mengerti. Mereka hanya memilih diam, karena mengakui luka akan membuka lebih banyak luka.
Anak-anak mereka tumbuh, kuliah, dan satu per satu keluar dari rumah. Wira pensiun dari pekerjaannya, mulai menanam bunga di halaman, dan menjadi relawan di masjid.
Namun ada hari-hari tertentu, ketika angin berembus dari arah utara dan udara terasa seperti malam yang tujuh tahun lalu, ia mendengar namanya dipanggil dari lorong pikirannya.
Ninna.
Seperti api kecil yang tidak pernah padam. Seperti dosa yang tidak pernah benar-benar hilang meski sudah berkali-kali dipendam dalam doa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI