Aku masih ingat waktu itu, ketika seseorang bercerita dengan mata merah dan suara pelan, "Aku kehilangan dia... tapi justru di situlah aku menemukan diriku."
Kalimat itu terdengar puitis. Tapi juga getir.
Karena jujur saja, dalam hidup ini kita lebih sering mengejar mendapatkan.
Kita diajari untuk punya target, memiliki impian, dan berjuang meraihnya.
Tapi hampir tidak ada yang mengajarkan bahwa kehilangan juga bisa jadi hadiah.
Apa iya?
Bagaimana kalau ternyata yang kita sebut 'mendapatkan' justru membuat kita kehilangan sesuatu yang tak kita sadari?
Dan sebaliknya, saat kita merasa kehilangan... justru itulah saat kita mendapatkan sesuatu yang lebih esensial?
Sepertinya hidup tidak pernah sesederhana dua kolom: untung dan rugi.
Mungkin hidup lebih mirip cermin semakin jernih kita melihat ke dalam, semakin kita sadar bahwa semua hal selalu punya dua sisi.
"Jangan bersedih karena apa yang hilang darimu. Ia akan kembali padamu dalam bentuk lain." - Rumi
Kutipan itu tidak menghibur. Tapi ia seperti mengetuk kepala: kamu tak pernah benar-benar kehilangan.
Dan aku pikir... iya juga sih.
Ketika Mendapatkan Malah Membuat Kehilangan
Seseorang mendapatkan pekerjaan yang ia impikan.
Gaji tinggi, kantor prestisius, posisi keren.
Tapi beberapa bulan kemudian, dia mulai kehilangan banyak hal: waktu bersama keluarga, jam tidur, bahkan dirinya sendiri.
Apakah ia benar-benar mendapat sesuatu? Atau justru kehilangan sesuatu yang lebih penting?
Aku jadi mikir.
Ada saat ketika kita mendapatkan pasangan yang kita cintai, lalu kehilangan kebebasan.
Kita mendapatkan popularitas, lalu kehilangan keheningan.
Kita mendapatkan validasi, lalu kehilangan keaslian.
Dan anehnya, semua itu terasa baik-baik saja di awal.
Kita merasa menang.
Padahal, perlahan-lahan, kita melepas bagian dari diri kita tanpa sadar.
Karena ternyata, mendapatkan juga bisa membuat kita makin jauh dari siapa diri kita sebenarnya.
Apakah semua pencapaian itu salah?
Enggak juga.
Tapi seringnya kita terlalu sibuk merayakan keberhasilan, sampai lupa mengoreksi arah.
Padahal bisa jadi, keberhasilan itu sedang membawa kita ke kehilangan yang lebih besar.
Saat Kehilangan Menjadi Awal dari Segalanya
Aku pernah kehilangan sesuatu yang kupikir sangat penting: pekerjaan pertama.
Aku kecewa, aku menyalahkan diri sendiri.
Tapi justru setelah itu, aku mulai serius menulis.
Sesuatu yang selama ini cuma jadi hobi, berubah jadi jalan hidup.
Ironis ya?
Tuhan menutup satu pintu, tapi Dia diam-diam membuka jendela besar yang menghadap ke cahaya.
Tapi waktu itu aku gak lihat cahaya.
Yang kulihat hanya kegelapan dan tanya.
Lalu satu demi satu, hal baru muncul.
Relasi baru.
Wawasan baru.
Diri yang baru.
Mungkin benar, kehilangan adalah undangan untuk menjadi versi diri yang belum pernah kita kenal.
Tapi... itu hanya bisa terjadi kalau kita gak terlalu lama terjebak di pintu yang tertutup.
Dan itu sulit.
Karena kehilangan, bagaimanapun bentuknya, tetap menyakitkan.
Mengapa Kita Takut Kehilangan?
Aku pernah takut kehilangan orang.
Takut kehilangan peran.
Takut kehilangan momen.
Dan ternyata, akar dari semua ketakutan itu sama: keterikatan.
Kita terikat pada hal-hal yang memberi kita rasa aman, merasa bernilai, atau merasa dicintai.
Begitu kita kehilangannya, kita merasa kosong.
Padahal bisa jadi perasaan 'bernilai' itu seharusnya berasal dari dalam.
Bukan dari benda, jabatan, atau orang lain.
Tapi bagaimana caranya?
Itu juga yang aku masih pelajari.
Mungkin itu kenapa ada istilah 'zuhud'.
Bukan berarti meninggalkan dunia, tapi tidak menjadikan dunia sebagai pusat harapan.
Bukan berarti tak boleh mencintai, tapi tidak meletakkan cinta di atas segala-galanya.
Karena semakin tinggi kita letakkan harapan pada sesuatu yang fana, semakin dalam luka saat kehilangan.
Menerima Tidak Sama Dengan Menyerah
Ada orang bilang, "Ya udah sih, relakan aja."
Dan kadang itu bikin aku pengin jawab, "Gampang ngomongnya!"
Karena menerima itu bukan hal yang bisa terjadi dalam semalam.
Kadang butuh waktu. Kadang butuh jatuh berkali-kali.
Tapi aku percaya, menerima bukan tanda menyerah.
Justru itu bentuk kekuatan.
Kita tetap bergerak, meski luka masih terasa.
Kita tetap bangun, meski kehilangan masih membekas.
Dan entah kenapa, di titik-titik itu justru kita mendapatkan sesuatu yang jauh lebih dalam:
Ketenangan.
Pemahaman.
Kebijaksanaan.
Dan juga keberanian untuk berjalan lebih jujur.
Hidup Adalah Siklus Mendapat dan Kehilangan
Kalau kupikir-pikir, sejak kecil kita sudah akrab dengan siklus ini.
Kita mendapatkan mainan, lalu kehilangan saat rusak.
Kita dapat teman sekolah, lalu kehilangan saat lulus.
Kita dapat pekerjaan, lalu kehilangan waktu luang.
Semuanya berjalan seperti roda.
Tapi sayangnya, kita jarang diajari bagaimana menyikapi kehilangan.
Kita lebih sering diminta "kuat" tanpa diberi ruang untuk rapuh.
Padahal justru dari kerapuhan itu, kita belajar menjadi utuh.
Aku pikir, hidup memang bukan soal seberapa banyak kita kumpulkan.
Tapi seberapa lapang hati kita saat harus melepaskan.
Dan bisa jadi...
justru saat kita kehilangan, Tuhan sedang membersihkan tempat bagi sesuatu yang lebih baik.
Atau mungkin... bukan lebih baik, tapi lebih cocok.
Menjadi Siap Kehilangan, Bukan Berarti Tidak Mau Mendapat
Ini penting, menurutku.
Belajar siap kehilangan bukan berarti tidak boleh punya keinginan.
Kita tetap boleh berharap, tetap boleh bermimpi.
Tapi kita juga belajar untuk tidak menuhankan hasil.
Kita belajar bahwa mencintai itu harus disertai kerelaan.
Dan menggenggam itu sebaiknya tidak terlalu erat.
Aku jadi ingat seorang guru pernah berkata, "Peganglah dunia di tanganmu, jangan di hatimu."
Kalimat itu sederhana. Tapi dalam.
Karena hati kita terlalu sempit untuk menampung segala hal fana.
Lebih baik diisi dengan yang abadi:
Syukur.
Keikhlasan.
Dan percaya.
Percaya bahwa dalam setiap kehilangan, ada hikmah yang sedang menyelinap pelan-pelan.
Kadang lewat tangis. Kadang lewat hening.
Lalu...
jika mendapatkan itu membuatmu kehilangan, dan kehilangan itu membuatmu mendapatkan,
masihkah kamu yakin mana yang benar-benar kamu butuhkan?
Sudahkah kamu siap untuk kehilangan demi menemukan sesuatu yang lebih sejati?
Atau kamu masih bersembunyi di balik ketakutan untuk melepaskan?
Dan yang paling penting:
Apa yang benar-benar kamu miliki, jika semua yang kau genggam bisa hilang sewaktu-waktu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI