Oleh: Yasmin Ayla Tiara Hasti
Plagiarisme atau penjiplakan karya ilmiah adalah hal yang sering terjadi di dunia perkuliahan. Setiap tahun, selalu ada saja kasus mahasiswa yang kedapatan menyalin karya orang lain tanpa mencantumkan sumber. Pertanyaannya, apakah ini murni kesalahan mahasiswa, atau ada sistem yang turut andil menjalankan praktik ini?
Plagiarisme bukan hanya soal menyalin satu paragraf tanpa kutipan. Ini mencakup berbagai bentuk, mulai dari menjiplak sebagian tulisan, menggunakan hasil karya orang lain sebagai milik sendiri, hingga membeli skripsi dari jasa pembuatan tugas yang kini mudah ditemukan di internet.
Survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 25% mahasiswa mengaku pernah melakukan plagiarisme dalam bentuk ringan hingga berat. Bahkan, sebagian di antaranya tidak menyadari bahwa tindakan mereka tergolong plagiat.
Mahasiswa Salah, Tapi Tidak Sendiri
Secara etis, tentu mahasiswa memikul tanggung jawab atas tindakan plagiarisme. Dunia akademik menjunjung tinggi kejujuran. Namun, menyalahkan mahasiswa saja tidak cukup. Kita harus bertanya lebih dalam, mengapa mereka melakukannya?
Pertama, tekanan akademik yang tinggi sering menjadi alasan utama. Mahasiswa dituntut menyelesaikan tugas dalam jumlah besar, dengan tenggat waktu mepet, sementara kemampuan literasi akademik mereka tidak selalu sebanding. Dalam kondisi terdesak, plagiarisme dianggap sebagai "jalan pintas" yang mudah.
Kedua, rendahnya pemahaman tentang teknik menulis ilmiah. Banyak mahasiswa tidak benar-benar diajarkan cara mengutip, parafrase yang benar, atau mengenali jenis-jenis plagiarisme. Anehnya, ini terjadi bahkan di jenjang akhir seperti penulisan skripsi.
Ketiga, sistem pengawasan yang longgar. Beberapa dosen pembimbing tidak benar-benar memeriksa keaslian karya mahasiswa secara menyeluruh. Sering kali, tugas akhir hanya dicek dari sisi struktur dan isi, bukan keaslian sumber. Ini membuka celah bagi praktik curang untuk lolos tanpa konsekuensi.
Pendidikan Etika Akademik Perlu Diperkuat
Mencegah plagiarisme tidak cukup hanya dengan memberi ancaman sanksi. Perlu pendekatan edukatif yang sistematis. Pendidikan etika akademik seharusnya dimulai sejak awal perkuliahan, bukan menjelang skripsi. Mahasiswa perlu dibekali keterampilan literasi informasi, kemampuan berpikir kritis, dan kebiasaan menulis yang jujur sejak dini.
Beberapa kampus sudah mulai menerapkan kebijakan penggunaan perangkat pendeteksi plagiarisme seperti Turnitin atau Plagiarism Checker X. Namun, penggunaan alat ini seharusnya bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan sebagai sarana pembelajaran agar mahasiswa memahami letak kekeliruan mereka.
Peran Dosen dan Institusi
Dosen bukan hanya pengajar materi, tetapi juga pembimbing moral dan akademik. Pembimbing tugas akhir, misalnya, harus lebih proaktif membangun komunikasi dua arah dan membimbing proses penulisan, bukan sekadar memberi koreksi di akhir.
Institusi pendidikan tinggi juga perlu memiliki kebijakan akademik yang jelas dan transparan. Sistem penilaian harus mendorong orisinalitas, bukan hanya hasil akhir. Selain itu, adanya pusat layanan penulisan ilmiah atau klinik akademik bisa sangat membantu mahasiswa dalam memahami proses menulis yang benar.
Masalah Bersama, Solusi Bersama
Plagiarisme bukan semata-mata kesalahan individu, melainkan cerminan dari sistem pendidikan yang masih memiliki celah. Alih-alih hanya menghukum pelaku, kampus perlu menata ulang pendekatan pendidikan akademik secara menyeluruh.
Jika kita ingin mencetak lulusan yang tidak hanya pintar, tetapi juga jujur dan berintegritas, maka pendidikan tinggi harus menciptakan lingkungan yang mendukung mereka untuk belajar, bukan memaksa mereka untuk curang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI