Beberapa kampus sudah mulai menerapkan kebijakan penggunaan perangkat pendeteksi plagiarisme seperti Turnitin atau Plagiarism Checker X. Namun, penggunaan alat ini seharusnya bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan sebagai sarana pembelajaran agar mahasiswa memahami letak kekeliruan mereka.
Peran Dosen dan Institusi
Dosen bukan hanya pengajar materi, tetapi juga pembimbing moral dan akademik. Pembimbing tugas akhir, misalnya, harus lebih proaktif membangun komunikasi dua arah dan membimbing proses penulisan, bukan sekadar memberi koreksi di akhir.
Institusi pendidikan tinggi juga perlu memiliki kebijakan akademik yang jelas dan transparan. Sistem penilaian harus mendorong orisinalitas, bukan hanya hasil akhir. Selain itu, adanya pusat layanan penulisan ilmiah atau klinik akademik bisa sangat membantu mahasiswa dalam memahami proses menulis yang benar.
Masalah Bersama, Solusi Bersama
Plagiarisme bukan semata-mata kesalahan individu, melainkan cerminan dari sistem pendidikan yang masih memiliki celah. Alih-alih hanya menghukum pelaku, kampus perlu menata ulang pendekatan pendidikan akademik secara menyeluruh.
Jika kita ingin mencetak lulusan yang tidak hanya pintar, tetapi juga jujur dan berintegritas, maka pendidikan tinggi harus menciptakan lingkungan yang mendukung mereka untuk belajar, bukan memaksa mereka untuk curang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI