Mohon tunggu...
Arif  Mahmudin Zuhri
Arif Mahmudin Zuhri Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Hukum dan Ekonomi

Membangun Peradaban Modern.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pajak Internasional Indonesia

1 Oktober 2020   19:32 Diperbarui: 15 Desember 2020   16:51 2480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sejarah negara Indonesia pun pernah terjadi suatu ’penyimpangan’ terhadap hukum internasional, yaitu tatkala pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan Belanda dan kemudian menasionalisasi. Padahal mengenai perlakuan terhadap orang asing dan hak milik orang asing merupakan salah satu wujud hukum internasional yang harus ditaati dan dihormati.

Uniknya dalam sengketa nasionalisasi perkebunan dan perusahaan lainnya milik Belanda yang kemudian dikenal dengan ”Perkara Tembakau Bremen” pada tahun 1958, Pengadilan Bremen (Landesgericht Bremen) yang dikuatkan Pengadilan Tinggi Bremen (Oberlandesgericht Bremen), secara tidak langsung membenarkan tindakan pengambilalihan perusahaan Belanda dan tindakan melakukan nasionalisasi tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, bagaimana kita menyimpulkan posisi hukum nasional (Indonesia) terhadap hukum internasional? Jawabnya, penulis sangat sependapat dengan Mochtar Kusumaatmadja (1976) yang menyimpulkan bahwa "Hukum nasional itu mau tidak mau harus tunduk pada hukum internasional apabila kita mengakui adanya hukum internasional”. Namun demikian mantan Menlu RI itu pun memberikan catatan, ”Pendirian bahwa pada prinsipnya kita mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional.”

Terkait dengan beberapa konsepsi diatas, penulis perlu juga memberikan catatatan, bahwa tunduknya hukum nasional terhadap hukum internasional harus digugurkan atau dikesampingkan apabila bertentangan dengan kepentingan nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf h Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL INDONESIA

Dalam suatu perkuliahan, pendidikan dan latihan, seminar, simposium, lokakarya, dialog, diskusi bahkan pembahasan peraturan perundang-undangan, seringkali kita menemukan pandangan seseorang termasuk bahkan narasumber yang mengemukakan bahwa hubungan hukum antara perjanjian perpajakan internasional dengan hukum pajak domestik adalah lex specialis derogate legi generali. Hukum pajak internasional sebagai lex specialis, sedangkan hukum pajak domestik sebagai lex generali.

Disamping banyaknya yang punya pandangan bahwa hubungan antara perjanijian pajak internasional dengan hukum pajak domestik adalah lex specialis derogate legi generali, terdapat pula sebagian kalangan yang punya pendapat bahwa hubungan hukum antara perjanjian pajak internasional dengan hukum pajak domestik adalah lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah). Perjanjian pajak internasional bersifat lex superiori, sedangkan hukum pajak domestik sebagai lex inferiori

 Berdasarkan pemikiran atau pandangan hukum di atas, berarti apabila terdapat suatu benturan antara hukum pajak domestik dengan hukum pajak internasional maka yang berlaku adalah hukum pajak internasional. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang sangat fundamental, yang diantaranya adalah lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah) dan  atau lex specialis derogat legi generali (hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum).

Tetapi, haruskah hubungan hukum antara perjanjian pajak internasional dengan hukum pajak domestik diberikan makna bahwa hukum pajak internasional bersifat lex spesialis atau lex superiori jika dibandingkan dengan hukum pajak domestik? Untuk menjawab pertanyaan yang demikian dalam perspektif hukum internasional bukanlah sesuatu yang mudah karena harus bisa menyajikan alasan kuat yang bersifat ilmiah akademis dan argumentatif mengapa kita mempunyai pandangan yang seperti ini.

Ketua Mahakamah Agung periode 2001-2008, yang juga guru besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Prof Dr Bagir Manan, SH mengatakan bahwa ketentuan lex spesialis harus sederajat  dengan ketentuan lex  generalis, jika Undang-Undang ya dengan Undang-Undang. Demikian halnya untuk peraturan perundang-undangan lainnya, jika Peraturan Pemerintah ya disandingkan dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan juga harus disandingkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, dan seterusnya.

Sementara dalam konteks lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah) juga harus dimaknai dalam konteks sesama peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah. Jika terdapat ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah bertentangan dengan Undang-Undang, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun