Ada hal yang lebih menyedihkan dari kemiskinan: kehilangan logika. Ketika akal sehat dibuang seperti bungkus nasi kucing di pinggir jalan, bangsa ini perlahan-lahan tak lagi membutuhkan musuh eksternal. Ia cukup dihancurkan oleh para pemuja kebodohan yang mendeklarasikan diri sebagai penjaga kebenaran. Kita hidup di republik yang ramai slogan tapi sepi pemikiran. Di mana mayoritas lebih sibuk memikirkan isi amplop daripada isi kepala.
Lihatlah, logika kita kini sudah seperti sandal jepit hilang sebelah. Kadang ditemukan di kolong kasur, kadang dipakai tetangga untuk ke warung. Ia bukan lagi alat berpikir, tapi semacam pajangan dalam pidato-pidato penuh kata-kata manis yang tak pernah dimaksudkan untuk dipahami. Negara ini punya banyak ahli retorika, tapi kekurangan tukang kritik. Sebab di sini, kritik dianggap kriminal, dan pujian adalah tiket karier.
Politik kita seperti sinetron murahan: penuh konflik yang dibuat-buat, air mata palsu, dan janji-janji yang tak pernah lunas. Elite kita bukan negarawan, melainkan selebgram dengan kostum safari, yang lebih peduli jumlah follower daripada jumlah anak putus sekolah. Mereka bicara soal "visi misi", tapi yang diincar hanya komisi. Mereka rajin bicara soal rakyat, padahal yang mereka cintai hanyalah citra. Lucunya, rakyat yang mereka tipu malah menganggap penipuan itu sebagai pengabdian.
Logika bangsa ini sekarat karena dipukul terus-menerus oleh repetisi kebodohan yang dilegalkan. Lihat saja kampanye politik kita: baliho besar, senyum lebay, jargon kosong. Tak ada satu pun ide yang ditawarkan, selain repetisi nostalgia dan janji tentang masa depan yang tak pernah datang. Yang ada hanya pertandingan popularitas, seperti kontes dangdut, tapi dengan kostum kemeja putih dan topi petani. Ketika politik tak lagi soal ide, maka yang diperebutkan hanyalah emosi. Dan emosi paling laris hari ini adalah ketakutan dan kebencian.
Lebih ironis lagi, media yang seharusnya menjadi penjaga logika, malah jadi agen pengaburan. Mereka menyiarkan drama-drama penguasa dengan gairah layaknya infotainment, sementara isu-isu substansial terkubur di kolom bawah, atau malah tak dimuat sama sekali. Logika publik dipermainkan seperti bola bekel, sementara para pemilik modal tertawa sambil menyeruput kopi mahal. Media kehilangan roh intelektualnya dan memilih menjadi kaki tangan kekuasaan.
Di tengah semua absurditas ini, pendidikan yang seharusnya menjadi benteng terakhir justru menjadi korban pertama. Kurikulum diubah seperti mengganti menu warteg: cepat, asal kenyang, tanpa gizi. Siswa diajari untuk patuh, bukan untuk bertanya. Guru diawasi seperti tahanan, dan kampus diatur seperti pabrik. Tak heran bila generasi muda kita tumbuh sebagai pembaca caption, bukan pembaca buku. Mereka mahir membuat konten, tapi gagap membedakan hoaks dan fakta.
Dan akhirnya, rakyat pun diajak untuk “bersatu” dalam kebodohan massal. “Jangan ribut, nanti dipecah belah,” kata para penjaga status quo. Padahal keributan adalah bagian sehat dari demokrasi, selama ia berbasis argumen. Tapi tidak, kita lebih senang sunyi dalam penindasan daripada gaduh dalam berpikir. Di negeri ini, keheningan dianggap bijak, padahal seringkali hanya bentuk lain dari ketakutan.
Menjaga logika bangsa bukan tugas ringan. Ia membutuhkan keberanian melawan arus, mempertanyakan narasi, dan yang paling sulit, mengakui bahwa kita pun pernah ikut membodohi diri sendiri. Tapi itu satu-satunya jalan agar republik ini tak berubah menjadi panggung badut yang disiarkan 24 jam.
Sebab jika logika mati, maka tak ada yang bisa diselamatkan. Bukan hanya demokrasi yang runtuh, tapi juga harga diri kita sebagai manusia. Dan ketika itu terjadi, satu-satunya yang tersisa hanyalah upacara: penuh simbol, tanpa makna. Kita akan tetap berdiri tegap menyanyikan lagu kebangsaan, tapi pikiran kita telah lama tiarap.
Opini