Mohon tunggu...
Kusumaningtyas
Kusumaningtyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Feature "Kekuatan Doa"

29 Juni 2016   21:39 Diperbarui: 29 Juni 2016   22:14 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Rochmawati, seorang ibu rumah tangga yang berusia 54 tahun pada saat tulisan ini disusun. Mulai dari awal berumah tangga, Bu Wati telah memiliki pandangan untuk memiliki usaha sendiri karena suaminya bekerja swasta dan sebagai persiapan masa depan. “Saya tidak memiliki pensiun, jadi saya harus membuat pensiun saya sendiri,” kata beliau. Bu Wati begitulah sapaannya, adalah seorang ibu yang pekerja keras. Segala usahanya dibangun sendiri. Usaha kos-kosan dan kontrakan adalah tempat beliau mencari rezeki.

Kepada anak-anaknya, Bu Wati hanya menekankan yang terpenting adalah ilmu, sedangkan gaya atau fashion itu nomor sekian. Bagaimana dengan uang? “Itu nomor dua”, tandas beliau. Mendidik ketiga anaknya seorang diri sehingga menjadi orang yang berhasil tidaklah mudah dan diperlukan banyak perjuangan dan pengorbanan.

Cita-cita beliau adalah menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Cita-cita ini ada karena tekad beliau untuk mewujudkan kehidupan anak-anaknya jauh lebih baik dari dirinya. Dalam hati, Bu Wati merasa yakin bisa mewujudkan cita-cita tersebut. Beliau selalu menyisihkan uang beberapa tahun sebelumnya untuk dijadikan tabungan. Tabungan untuk mendaftarkan anaknya mengikuti bimbingan belajar tiap akhir jenjang sekolah tingkat SD, SMP, SMA.

Sejalan dengan apa yang dilakukan di bidang finansial dan perencanaan, Bu Wati memiliki satu kebiasaan yang jarang dipikirkan bahkan dibiasakan oleh ibu-ibu lain. Suatu  pandangan bersumber agama yang diyakini dan menjadi motto kehidupan beliau dalam mendidik anak-anaknya. Bahkan pandangan tersebut semakin kuat tercermin dalam sikap perilaku sehari-hari dan akhirnya juga diyakini oleh ketiga anaknya pada setiap masanya. Kebisaan tersebut adalah bahwa Bu Wati tidak pernah berkata hal-hal yang buruk kepada anak-anaknya seperti apapun sifat dan kebiasaan masing-masing anaknya, baik atau buruk. “Ucapan itu doa, apalagi dari seorang ibu. Jadi kita harus berkata yang baik-baik untuk anak-anak kita,” jelas Bu Wati.

 “Usaha keras tanpa doa itu sia-sia. Kekuatan doa itu penting. Kita harus percaya dengan kekuatan doa,” begitu penjelasan beliau. Setiap malam Bu Wati selalu menyempatkan diri untuk mendoakan keluarganya terutama anak-anaknya ketika melaksanakan ibadah shalat tahajud. Beliau menyebutkan satu-persatu nama anaknya dalam doanya dengan membayangkan segala permintaan, keinginan dan cita-citanya akan terwujud dengan izin-Nya. Beliau percaya dengan hal itu. Ikhtiar dan doa mewarnai hari-hari bu Wati dan tentu disertai berbagai kejadian maupun cerita suka-duka sperti cerita berikut.

Tiga cerita yang menarik dari kisah Bu Wati selama mendidik anak-anaknya tentu saja cerita tentang ketiga anaknya. Yang pertama adalah cerita tentang anak pertama beliau. Bu Wati sering berucap bahwa anaknya ini adalah anak yang “sakti”. Walaupun tidak rajin belajar, nilai ulangan dan ujian sekolahnya tidak pernah mengecewakan sebagaimana orang “sakti”.

Setelah menyelesaikan D3 jurusan Teknik Perkapalan di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya, anak pertamanya ini langsung mendapat pekerjaan di Batam. Bu Wati yang memiliki obsesi anak-anaknya bersekolah tinggi sempat menanyakan kepada anak pertamanya yang sudah memiliki pekerjaan tersebut tentang kuliah S-1. Namun jawaban anaknya bahwa tidak ada biaya membuat bu Wati melakukan tindakan terakhirnya yakni doa. Keinginan Bu Wati yang kuat sekali agar anaknya ini dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi disertai keyakinan beliau bahwa keinginan bisa terwujud juga dengan  kekuatan doa membuat beliau tak henti berdoa. Setiap malam, di dalam shalat tahajudnya bu Wati memohon pada Allah SWT untuk kesuksesan anaknya. Dan siapa sangka kekuatan doa Bu Wati benar-benar terbukti.

Allah SWT mengabulkan apa yang diminta bu Wati dalam doanya dan kesempatan terbuka lebar untuk anaknya. Suatu kebijakan baru diterbitkan di perusahaan tempat anaknya bekerja untuk memberikan beasiswa bagi pegawai berprestasi. Suatu kesempatan sangat menguntungkan dan yang belum pernah ada sebelumnya. Ketika anaknya bersekolah melanjutkan studinya di Surabaya, suami Bu Wati meninggal. Hal ini membuat kondisi keluarga beliau shock dan down. Namun, demikian bu Wati adalah sosok pribadi yang tegar, beliau berusaha bangkit dan menguatkan anak-anaknya untuk tabah menjalani segala cobaan hidup. Kematian adalah hal yang wajar yang pasti dialami oleh semua orang. Kondisi tersebut akhirnya tidak berlangsung lama, keluarga kecil Bu Wati pun “move on” dan dapat melanjutkan kehidupan kembali.

Selanjutnya adalah cerita anak keduanya. Anak yang memiliki kecerdasan superior. Anak yang cerdas dan rajin belajar tanpa perlu diperintah. Mulai dari kelas satu SD anak Bu Wati dapat mempertahankan peringkat pertama di kelasnya. Walaupun berasal dari SD yang biasa-biasa saja, tidak disangka-sangka setelah kelulusan, anaknya dapat diterima di SMP Negeri terfavorit di Surabaya setelah melalui tes. Pada awal bersekolah, anak kedua tersebut tidak begitu bisa menikmati kehidupan sekolahnya di sekolah tersebut terlihat adanya perbedaan status sosial di sekolah tersebut sangat menyolok. Amatlah wajar bila terbersit rasa rendah diri di hati anak beliau dan kondisi ini sangat disadari dan dipahami Bu Wati. 

Dengan hati-hati Bu Wati memberikan penjelasan kepada anaknya bahwa status ekonomi itu tidak penting, yang penting adalah ilmu dan kecerdasan yang dimiliki. “Biarkan saja bagaimana gaya maupun penampilan orang, yang utama adalah ilmu yang kamu miliki. Kekayaan bisa dicuri dan dilihat  tetapi ilmu tidak bisa,” jelas beliau. Penjelasan tersebut bisa diterima anaknya seraya  edikit demi sedikit mulai menghilangkan rasa rendah dirinya dan berhasil. Fokus belajar yang diterapkan hingga lulus dari perguruan tinggi dan bekerja sesuai yang dicita-citakan.

Terakhir adalah cerita anak ketiganya. Anak yang beliau katakan sebagai anak jenius. Anak yang akan menjadi luar biasa jika rajin belajar memang benar-benar istimewa. Suatu ketika, anaknya ini sedang menempuh semester akhir di kelas tiga SMP sebelum ujian. Dalam shalat malamnya ketika kondisi khusuk, Bu Wati selintas melihat anaknya ini berdiri berdampingan dengan seseorang perempuan di panggung. Bu Wati tidak mengerti apa makna gambaran tersebut.  Pada pemahamannya, berdiri di panggung merupakan sebuah pencapaian keinginannya. Beberapa hari kemudian, Bu Wati mendapat kabar dari anaknya bahwa kepala sekolah yang sebelumnya seorang laki-laki digantikan oleh seorang perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun