Mohon tunggu...
Yanuar Z. Arief
Yanuar Z. Arief Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kalbar, bagian dari Komunitas Masyarakat Energi Terbarukan (KOMMET)

Warga Kalbar, bagian dari Komunitas Masyarakat Energi Terbarukan (KOMMET)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

PLTN, Limbah dan Masalahnya

22 Februari 2020   13:29 Diperbarui: 22 Februari 2020   21:14 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun 2002, Presiden A.S. George W. Bush menyetujui pengembangan fasilitas tersebut, tetapi sejak itu, proyek tersebut ditentang oleh banyak pihak. Pada 2010, Presiden Obama mengindikasikan akan mencoba menghentikan proyek tersebut, dengan alasan kekhawatiran akan stabilitas jangka panjang lokasi tersebut. 

Para penentang mengatakan gempa bumi dan aliran air tanah bisa menembus lemari besi dan menyebabkan limbah radioaktif keluar. Sehingga kini lokasi pembuangan limbah nuklir berat tersebut masih dalam status-quo.

Meskipun pada prinsipnya hampir setiap negara nuklir memiliki rencana untuk penguburan limbah radioaktif, hanya segelintir yang telah membuat kemajuan dan tidak ada tempat di dunia ini yang mengoperasikan lokasi resmi untuk pembuangan geologis dalam dari limbah radioaktif berat/HLW. Saat ini tidak ada opsi yang dapat menunjukkan bahwa limbah berat tersebut akan tetap terisolasi dari lingkungan selama puluhan hingga ratusan ribu tahun. Tidak ada metode yang dapat diandalkan untuk memperingatkan generasi mendatang tentang keberadaan tempat pembuangan limbah nuklir (The Guardians, 1 Agustus 2019).

AS mengeluarkan sedikitnya USD 6 miliar (sekitar Rp 8,2 trilyun) setiap tahun untuk mengatasi masalah limbah nuklir berat/HLW di negaranya, suatu jumlah cukup besar yang mesti dibayar oleh para pembayar pajak di sana selama beberapa dekade ke depan.

Satu-satunya negara yang berhasil membangun tempat pembuangan limbah nuklir permanen adalah Finlandia. Negara di Skandinavia tersebut menghabiskan dana sekitar USD 3,9 juta (sekitar Rp. 5,3 trilyun) untuk membangun fasilitas limbah nuklir tersebut (CNN Indonesia, 3 Desember 2019). Sementara Jerman, mengeluarkan dana sekitar 4,2 milyar euro (sekitar Rp. 65 trilyun rupiah) untuk membangun fasilitas pembuangan limbah nuklir permanen di negaranya.

Jadi, dengan memasukkan ongkos pengelolaan limbah nuklir dalam estimasi pembangunan PLTN, bukan hanya ongkos produksi listrik saja, sehingga membuat biaya keseluruhan operasional PLTN menjadi tidak ekonomis dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya.

Penanganan limbah PLTN yang bersifat radioaktif ini akan lebih sulit dan berbahaya jika PLTN mengalami kebocoran. Hal ini dapat kita saksikan pada kasus kebocoran PLTN di Fukushima, Jepang.

Hampir sembilan tahun setelah krisis kebocoran reaktor nuklir tahun 2011 di Fukushima Dai-ichi, tiga kali lipat air radioaktif masih menumpuk karena air diperlukan untuk menjaga inti reaktor tetap dingin dan meminimalkan kebocoran dari reaktor yang rusak (Time, 23 Des 2019).

Beberapa tahun lalu, air radioaktif meningkat 400 ton per hari, namun kenaikan per hari kini telah turun menjadi sekitar 100 ton per hari. Ada lebih dari 1.000 drum air yang terkontaminasi di lokasi PLTN Fukushima dan pihak pemerintah Jepang masih belum memutuskan apa yang harus dilakukan dengan air-air tercemar bahan radioaktif tersebut (Detik, 2 Maret 2018).

Tokyo Electric Power Company (Tepco), perusahaan yang mengelola PLTN Fukushima berencana membuang air yang mengandung limbah radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Fukushima ke Samudera Pasifik. Mereka beralasan hal itu dilakukan karena pembangkit itu tidak mampu lagi menampung air yang digunakan untuk pendingin reaktor yang mengalamai kebocoran tersebut. 

Jika rencana ini disepakati, setiap pembuangan limbah radioaktif ke laut bisa memicu protes nelayan dan petani, juga negara-negara tetangga Jepang seperti Korea Selatan dan Taiwan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun