Mohon tunggu...
Yanti Sriyulianti
Yanti Sriyulianti Mohon Tunggu... Relawan - Berbagilah Maka Kamu Abadi

Ibu dari 3 anak yang sudah beranjak dewasa, aktif menggiatkan kampanye dan advokasi Hak Atas Pendidikan dan Perlindungan Anak bersama Sigap Kerlip Indonesia, Gerakan Indonesia Pintar, Fasilitator Nasional Sekolah Ramah Anak, Kultur Metamorfosa, Sandi KerLiP Institute, Rumah KerLiP, dan Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan di Indonesia sejak 1999. Senang berjejaring di KPB, Planas PRB, Seknas SPAB, Sejajar, dan Semarak Indonesia Maju. Senang mengobrol dan menulis bersama perempuan tangguh di OPEreT.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kala Senja Mengenal Cinta

22 September 2019   08:34 Diperbarui: 22 September 2019   09:04 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mempelai pria sudah siap!"Seruku tertahan. Mataku terbelalak melihat mempelai perempuan duduk di sudut ruangan. Wajahnya tersipu malu. Tak ada make up di wajahnya. Pakaiannya pun sangat sederhana. Tapi, kecantikannya membuatku sulit memalingkan muka.

"Hei, dia masih Senjaningtyas, sahabatmu,"Iwan berbisik menahan geli. 

Tak terasa wajahku menghangat.

"Hei! Kenapa wajahmu memerah? Kamu sakit?" Tanya Iwan sambil memegang keningku. Tangan kanannya memegang kamera erat-erat.

"Ngga,"sahutku pelan. Pikiranku pun melayang.

Rasanya baru kemarin saat aku melihatnya dari balik jendela. Ia duduk di selasar masjid. Sesekali matanya mencuri pandang ke arahku. 

"Ah, dia pasti merasakannya juga,"pikirku sesaat. 

Kepintaran Senja memilih kata, gagasannya yang bernas, serta kesantunannya dalam berbicara pada lomba debat memikat hatiku. Dan aku pun jadi terbiasa menunggunya melintasi lapangan sepakbola di tengah kampus saat ia tak terlihat dari balik jendela gedung kayu.

Aku menerima amanah sebagai Ketua Panitia Pelaksana Program Ramadhan (P3R) saat Senja bergabung di lantai 2 Gedung Kayu. Benih-benih cinta tumbuh seiring dengan waktu.

"Senja!"

"Senja!"

"Senja!"

"Kamu dimana?"

Teriakan Aryani membangunkanku. 

"Ya, Kak. Saya di selasar timur".

Sayup-sayup kudengar mereka berbicara. 

"Tega banget kamu! Aku salah mempercayaimu selama ini"

"A..a..ada apa?"

"Ini lihat sendiri!"

"Wah ini kan surat cinta! Kamu sudah jadian sama Dadi ya?" Teriakan teman Senja membuatku bergegas ke luar. Aku menghampiri mereka

"Hei! Ini kan suratku?!" Ujarku sambil merebut surat bersampul biru dari tangan Aryani.

Senja diam terpaku.

"Ayo kita kesana!" Ujarku sambil memandangnya lekat.

Ia menganggukkan kepala. 

"Maaf ya Senja, Aku benar-benar ngga tahu mengapa surat ini jatuh ke tangan  Aryani, "ujarku dengan nada memelas. Debar jantungku makin tak karuan. Senja terlihat gelisah.

Ah, Senja. Aku tahu kamu memegang teguh prinsip tidak berduaan dengan lawan jenis. Tapi, kita kan tidak melakukan hal apapun.

"Aih, Dadi! Kamu kok malah melamun. Ayo jalan! Masak mempelai pria kamu biarkan sendiri!"kata-kata Iwan menyadarkanku.

----

Pikiranku berkecamuk. Maju. Mundur. Maju. Mundur. Entah sudah berapa lama. Akhirnya kuputuskan untuk mengetuk pintu.

Tok tok tok...

"Assalamu'alaikum,"kuucapkan salam saat pintu terbuka. Kulihat perempuan dengan wajah pucat berdiri sambil menggendong bayi perempuan.

"Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh, "sahutnya perlahan sambil menundukkan kepala. "Oh, Mas Dadi. Ayahnya Azi sedang tak ada di rumah. Maaf ya Mas, saya tidak bisa mempersilakan masuk,"imbuhnya pelan. Nyaris tak terdengar.

Senja, kamu masih kukuh menjaga prinsip. 

"Baik, Senja. Aku tunggu suamimu di mushola sebelah. Kami sudah janji bertemu malam ini,"suaraku terdengar parau. 

Taufik, suami Senja adalah sahabat dekatku. Kami berdua kuliah di jurusan yang sama. Sejak Taufik menikah dengan Senja aku berusaha menghindarinya. Hari ini, aku menerima ajakan Taufik untuk bertemu di rumahnya pukul 8 malam. 

"Maaf ya Dad. Bada magrib tadi mendadak harus mengambil obat Azi, putri kami, "ujar Dadi dengan nafas terengah-engah.

"It's ok, bro!" Sahutku sambil menepuk pundaknya.

Tak ada lagi yang perlu diklarifikasi. Obrolan hangat malam itu menyatukan kembali hati kami. 

---

Assalamu'alaikum, Mas Dadi. Kabarnya sedang dinas di kota Bogor. Bisa ketemu sore ini?

Pesan singkat dari Senja masuk saat aku menyelesaikan makan siang bersama klien di Jakarta Selatan. Kami bertemu dalam kegiatan reuni jurusanku. Ia terlihat menemani ketiga anaknya bermain di pinggir kolam. "Assalamu'alaikum, Senja. Lama tak bertemu. Ini Azi ya? Sudah besar ya. Adik-adiknya juga, "istriku, Nuri menyapanya. Sejenak kami berpandangan. Tubuhnya terlihat ringkih dalam balutan jilbab berwarna biru tua. Anak-anaknya terlihat sehat. Mereka gembira bermain di kolam renang. Ah, Senja. Namamu masih bersemayam di sudut hatiku. 

Wa'alaikum salam. Aku di Cibubur sekarang. Insya Allah pukul 4 sore bisa merapat ke rumahmu. Taufik ada di rumah?

Tak ada jawaban dari Senja. Tak terasa sudah adzan Ashar. Aku memutuskan pulang ke Bandung setelah shalat berjamaah.

"Yah, ada telpon!" Ujar Aning, putri bungsuku.

Senja menelpon.

"Assalamu'alaikum Mas Dadi. Bisa minta waktunya sebentar?"

"Wa'alaikum salam"

"Telpon dari Senja, Mas?"Tanya istriku. Kulihat senyum manis tersungging di wajahnya. "Sini, Bu!"seruku sambil melambaikan tangan.

"Alhamdulillah, senang sekali mendengar kehangatan keluarga Mas Dadi. Salam takzim untuk Mbak Nuri, ya, "ujar Senja di ujung telpon.

"Ada apa, Senja? Sebulan yang lalu kamu mengirim pesan tapi tak ada kelanjutannya"

"Iya, Mas. Saya benar-benar minta maaf karena selepas mengirim pesan tersebut saya dilarikan ke rumah sakit".

Deg.

Hatiku tergerak. Kurengkuh bahu istriku dengan lembut. "Ibu bawa Aning main di taman belakang ya, "ujarnya sambil beringsut meninggalkanku.

"Maaf ya Mas, seharusnya saya tidak menelpon Mas Dadi. Tolong sampaikan pernohonan maaf saya kepada Mbak Nuri,"ujar Senja.

Klik.

Aku pun termangu.

---

Diam-diam aku selalu memantau perkembangannya. Aku tahu ia berusaha mengambil jalan baru setelah mengetahui bahwa suaminya sahabat dekatku. Entah mengaoa aku merasa sangat bangga saat membaca artikel pertamanya di harian umum Kompas pada 15 Januari 2005. 

Tema yang diangkat Senja menunjukkan kepiawaiannya dalam mengawal perubahan kebijakan di tingkat nasional. Senja memilih bergiat di pendidikan anak. Pilihan diksi dalam artikelnya berjalin kelindan dengan praktik-praktik baiknya selama 7 tahun mengembangkan model-model pendidikan berprogram khas. Senja sangat pandai mengangkat keseharian menjadi artikel yang inspiratif. Tebakanku benar! Kumpulan tulisannya di Kompas bersama artikel lainnya dibukukan pada Juni 2005 dan menjadi rujukan para pegiat pendidikan alternatif di Indonesia. 

Senja, ada apa denganmu?

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun